Audreyda F. Anandivi,
HARTA tak berwujud menjadi salah satu faktor utama pembentukan nilai atau value creation pada perusahaan multinasional (multinational enterprise/MNE) suatu grup usaha. Dalam kaitannya dengan transfer pricing, atas pemanfaatan harta tak berwujud dilakukan analisis fungsi development, enhancement, maintenance, protection, and exploitation (DEMPE).
Analisis tersebut untuk menentukan remunerasi wajar bagi kontributor pembentuk harta tak berwujud yang terkait. Adapun konsep analisis fungsi DEMPE telah diadopsi pada regulasi transfer pricing domestik di berbagai negara dalam beberapa tahun terakhir setelah publikasi OECD TP Guidelines 2017.
Dalam praktik penerapannya, permasalahan muncul. Berdasarkan pada hasil penelitian Dziwiński (2023), Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dianggap masih kurang dalam pemberian detail tentang interpretasi dan praktik dari konsep DEMPE itu sendiri.
Kurangnya pemaparan informasi tersebut memunculkan permasalahan yang sering terjadi pada saat penerapan analisis fungsi DEMPE. Permasalahan itu seperti isu tentang definisi dan penentuan dari masing-masing fungsi DEMPE. Kemudian, ada permasalahan interpretasi variatif dari berbagai negara yang menerapkannya.
Karena tidak ada penjelasan detail tentang definisi dan kategori fungsi DEMPE dalam OECD TP Guidelines 2017 dan 2022, wajib pajak menginterpretasikannya secara mandiri. Ketiadaan pedoman yang komprehensif ini dianggap menyulitkan pengelompokan aktivitas, terutama ketika aktivitas sulit diklasifikasikan ke dalam satu atau beberapa fungsi DEMPE.
Alhasil, banyak negara melakukan penyesuaian kembali terhadap kondisi pasar wilayahnya. Penyesuaian dilakukan pada peraturan domestik. China menjadi salah satunya, yakni dengan menambahkan fungsi promotion (DEMPEP). Hal ini pertama kali dipublikasikan melalui Public Notice No. 6 pada 2017, tepat setelah konsep DEMPE diperkenalkan OECD.
Fungsi promotion yang ditambahkan China pada dasarnya dapat tercakup dalam fungsi DEMPE yang telah ada, yaitu enhancement atau exploitation. Akan tetapi, adanya modifikasi tersebut menunjukkan bahwa China memiliki fokus yang cukup besar pada aktivitas pemasaran (Fan, Janice dan Curt B. Kinsky, 2018).
Aktivitas pemasaran yang menjadi fokus di China tersebut, salah satunya dipengaruhi pandangan otoritas pajak. Otoritas melihat kegiatan promosi yang dilakukan suatu entitas berkontribusi signifikan terhadap pembentukan nilai dari suatu harta tak berwujud. Oleh karena itu, pihak yang melakukan fungsi tersebut berhak menerima bagian keuntungan yang diperoleh dari harta tak berwujud (Yuan, Shanwu dan Abe Zhao, 2017).
Implementasi konsep DEMPE yang dilakukan China memperlihatkan adanya suatu lapisan tambahan dari analisis transfer pricing berkenaan dengan pembentukan nilai dalam MNE (Dziwiński, 2022). Hal ini juga mendukung uji penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) atas transaksi harta tak berwujud yang terjadi.
BAGAIMANA pengaturan di Indonesia? Hingga saat ini belum ada ketentuan detail mengenai penerapan konsep DEMPE di Indonesia. Pengaturan yang mencakup konsep tersebut pada saat ini hanya termuat dalam PMK 172/2023, terutama menyangkut pengujian PKKU dari transaksi harta tak berwujud
PMK 172/2023 memuat ketentuan tahapan pendahuluan sebagai bentuk pembuktian atas pihak-pihak yang berkontribusi dalam pelaksanaan fungsi DEMPE atas harta tak berwujud. Namun, dalam poin tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut tentang pelaksanaan dan aspek-aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam klasifikasi aktivitas terhadap fungsi-fungsi DEMPE.
Ketentuan lain yang berlaku di Indonesia, masih berkaitan dengan analisis fungsi DEMPE, juga tercakup dalam PER-32/PJ/2011 dan SE-50/PJ/2013. Namun, dalam regulasi tersebut juga tidak menjelaskan lebih detail mengenai analisis fungsi DEMPE secara komprehensif.
Berkaca pada kondisi tersebut, Indonesia pada dasarnya perlu melakukan penyesuaian regulasi transfer pricing, terutama menyangkut konsep analisis fungsi DEMPE. Penyesuaian dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek.
Salah satu aspek yang dimaksud adalah pembuatan ketentuan detail mencakup batasan yang perlu diperhatikan dalam kategorisasi setiap fungsi. Kemudian, penggolongan aktivitas yang dapat termasuk pada suatu fungsi DEMPE.
Selain itu, perlu juga penambahan ketentuan dimungkinkan atau tidaknya suatu aktivitas dapat tercakup ke beberapa fungsi DEMPE. Dalam konteks ini, perlu juga diatur tentang penentuan pihak yang dapat memperoleh remunerasi atas pemanfaatan harta tak berwujud dari hasil analisis fungsi DEMPE.
Dengan adanya pengaturan tersebut, wajib pajak bisa lebih mudah melakukan analisis fungsi DEMPE. Harapannya, pembagian remunerasi atas keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan harta tak berwujud dalam suatu grup usaha dapat ditentukan dengan tepat. Pembagian itu sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak terhadap pembentukan nilai dari harta tak berwujud yang terkait.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)