SURAT Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) sering diperbincangkan mengingat penerbitannya untuk banyak wajib pajak. Tak jarang pula wajib pajak panik ketika menerima ‘surat cinta’ dari otoritas tersebut.
Sesuai dengan SE-39/PJ/2021, SP2DK adalah surat yang diterbitkan oleh otoritas untuk meminta penjelasan kepada wajib pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Adanya SP2DK merupakan mekanisme kontrol sekaligus tindak lanjut self-assessment system dalam penyelenggaraan administrasi pajak di Indonesia. Objektif dari penerbitan SP2DK adalah pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk menjelaskan atau mengklarifikasi potensi masalah perpajakan yang telah diidentifikasi otoritas.
Wajib pajak diharapkan memberikan tanggapan yang memadai serta mematuhi regulasi perpajakan yang berlaku. Tujuannya tidak lain adalah untuk memastikan kejelasan atas kewajiban perpajakan wajib pajak.
Nantinya, SP2DK akan menghasilkan produk hukum berupa Laporan Hasil Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (LHP2DK), yakni laporan yang memuat simpulan dan rekomendasi dari SP2DK yang telah dilakukan.
Sayangnya, SP2DK sering kali dianggap menciptakan nuansa yang meresahkan. Padahal, SP2DK menjadi alat check and balances dalam implementasi compliance risk management (CRM) beberapa fungsi, seperti pemeriksaan, pengawasan, penagihan, dan transfer pricing.
Seperti diketahui, CRM diadopsi di Indonesia sebagai suatu rangkaian proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak yang dilakukan secara terstruktur, terukur, objektif dan berulang dalam rangka mendukung pengambilan keputusan terbaik otoritas.
Tahapannya meliputi kegiatan persiapan, penetapan konteks, analisis risiko, strategi mitigasi risiko dengan menentukan pilihan perlakuan (treatment), serta monitoring dan evaluasi atas risiko kepatuhan.
CRM diharapkan turut memunculkan kepatuhan kooperatif (cooperative compliance) dari wajib pajak. Lantas, bagaimana penerapan penilaian yang ideal lewat CRM agar rekomendasi dalam SP2DK kepada wajib pajak dapat mencerminkan upaya peningkatan kepatuhan kooperatif?
PARADIGMA kepatuhan kooperatif perlu digunakan dalam memandang tanggapan serta klarifikasi wajib pajak atas temuan otoritas dalam SP2DK. Paradigma ini merupakan salah satu kerangka baru kepatuhan wajib pajak yang berbasis enhanced relationship.
Kepatuhan kooperatif berbasis transparansi dan partisipasi. Artinya, interaksi dan hubungan antara wajib pajak dan otoritas pajak didorong oleh keinginan untuk saling transparan, saling terbuka, dan partisipatif (Darussalam et al., 2019).
Dalam pelaksanaannya, otoritas perlu meningkatkan kapasitas berdasarkan pada lima pilar (OECD, 2008). Pertama, pemahaman terhadap commercial awareness. Bisnis bersifat dinamis sehingga berimplikasi terhadap lingkungan hukum lain terkait bisnis tersebut.
Setiap bisnis memiliki badan regulasi yang mengaturnya. Oleh karena itu, otoritas perlu memahami wajib pajak tidak hanya melalui profil perusahaan dan tren industri serupa, tetapi juga ragam aktivitas yang terjadi pada bisnis tersebut.
Kedua, tindakan imparsial. Tindakan ini artinya ketidakberpihakan atau bebas dari bias personal (free of prejudice). Tindakan imparsial ini didasarkan pada objektivitas dan keterbukaan pikiran.
Dalam konteks tersebut, otoritas harus bertindak konsisten dalam melihat suatu sengketa. Apabila tindakan wajib pajak memiliki dasar atau basis hukum yang kuat, seharusnya tidak perlu ada sengketa lebih jauh lagi.
Ketiga, sikap proporsional, wajar, dan seimbang dalam menilai keterangan yang disampaikan wajib pajak. Otoritas harus mempertimbangkan siginifikansi risiko yang mungkin timbul dan memperhatikan kaidah hukum ultimum remedium.
Keempat, tindakan berdasarkan pada keterbukaan. Otoritas perlu transparan semaksimal mungkin dan memberikan strategi operasional. Tujuannya adalah menciptakan sistem pajak yang bebas dari bias interpretatif dan ketidakpastian dalam implementasi. Dengan kata lain, temuan dalam SP2DK harus berlandaskan kepastian hukum dan konsistensi.
Kelima, responsif dalam proses pengambilan keputusan secara adil dan efisien. Hal ini termasuk dalam upaya mengidentifikasi kelemahan sistem integrasi data dan kualitas data yang dapat memengaruhi penanganan SP2DK.
Wajib pajak juga berhak mendapatkan klarifikasi, edukasi, dan penyuluhan, baik untuk transaksi yang sedang berjalan maupun yang akan datang. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi penerbitan SP2DK berulang pada kemudian hari serta memberikan cara menanggapi SP2DK secara tepat dan cepat.
Berlandaskan pada lima pilar tersebut, penciptaan hubungan saling percaya antara wajib pajak dan otoritas dilakukan melalui dialog yang konstan serta preemptive mengenai masalah-masalah faktual. Hal ini dilakukan untuk menghindari risiko pajak semaksimal mungkin (Baglioni dan Panteghini, 2024).
Hal tersebut menegaskan pentingnya kepatuhan kooperatif. Berbagai aspek tersebut juga menunjukkan komitmen otoritas, melalui mekanisme SP2DK, untuk memastikan semua wajib pajak memenuhi kewajiban mereka secara adil sesuai dengan profil bisnis dan risikonya.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)