ANALISIS PAJAK

Rekomendasi Kebijakan untuk Optimalkan Penerapan Pilar 2 di Indonesia

Redaksi DDTCNews
Senin, 26 Agustus 2024 | 14.43 WIB
ddtc-loaderRekomendasi Kebijakan untuk Optimalkan Penerapan Pilar 2 di Indonesia
Manager of DDTC Consulting

INDONESIA merupakan salah satu yurisdiksi yang akan mengadopsi Pilar 2. Fakta ini terungkap dalam International Tax Forum (ITF) 2023. Pemerintah tengah menyusun rancangan peraturan menteri keuangan (RPMK) sebagai landasan penerapan pajak minimum global.

Secara umum, PMK terkait dengan penerapan pajak minimum global akan mengatur hal-hal yang tentunya konsisten dan tidak berbeda dengan yang telah termuat di dalam Global Anti-Base Erosion (GloBE) Model Rules.

Namun demikian, adanya regulasi yang menjadi landasan hukum dari penerapan Pilar 2 ternyata tidak cukup. Terdapat instrumen kebijakan lain yang perlu menjadi perhatian agar penerapan Pilar 2 bisa optimal tanpa mengorbankan daya saing negara dalam kancah persaingan ekonomi global.

Tentunya, hal tersebut tak terkecuali juga berlaku bagi Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia diharapkan turut memerhatikan beberapa kebijakan berikut, baik sebelum maupun selama masa transisi dari penerapan Pilar 2.

Kebijakan Baru untuk Menarik Investasi Asing

PASCAKONSENSUS Pilar 2, pemberian insentif pajak penghasilan badan tidak lagi bisa menjadi strategi utama yang digunakan untuk menarik investasi asing masuk ke negara berkembang (Kuźniacki dan Visser, 2024).

Hal tersebut dikarenakan insentif pajak penghasilan (PPh), seperti tax holiday, akan mengakibatkan tarif pajak efektif suatu grup perusahaan multinasional di yurisdiksi sumber penghasilan bisa berada di bawah 15%. Situasi ini memunculkan kewajiban top-up tax yang dikenakan terhadap grup perusahaan multinasional tersebut (OECD, 2022).

Sebagai negara berkembang yang masih sangat membutuhkan dana investasi asing, Indonesia tentu harus kreatif dan berani menawarkan opsi kebijakan lain dalam rangka menarik masuk investasi asing. Opsi kebijakan yang dipilih untuk tujuan tersebut bisa dalam bentuk insentif pajak ataupun insentif-insentif nonpajak (Chen dan Chow, 2023).

Ada beberapa bentuk insentif pajak yang dapat ditawarkan dan tidak berpengaruh terhadap perhitungan Pilar 2. Pertama, insentif pajak untuk subjek pajak dan kegiatan usaha yang tidak tercakup Pilar 2, seperti insentif pajak bagi UMKM dan perusahaan pelayaran internasional.

Kedua, insentif terhadap pajak dan biaya yang tidak didasarkan pada penghasilan perusahaan, seperti pajak pertambahan nilai (PPN), PPh orang pribadi, kepabeanan, cukai, dan lainnya.

Ketiga, insentif PPh badan, seperti tax holiday, bagi perusahaan multinasional yang tercakup Pilar 2 dengan syarat tambahan berupa pengujian substansi ekonomi berdasarkan pada ketentuan substance-based income exclusion (SBIE) dalam GloBE Model Rules.

Kemudian, insentif-insentif nonpajak merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan iklim berusaha dan investasi yang berkualitas bagi para pelaku bisnis (Parada, 2024).

Dalam konteks Pilar 2, diskusi tentang insentif nonpajak banyak berkutat terhadap rekomendasi bagi suatu yurisdiksi untuk mengadopsi qualified refundable tax credit (QRTC), marketable transferable tax credit (MTTC), dan subsidi langsung (non-tax subsidies).

Selain itu, Indonesia juga dapat menawarkan keunggulan dari luasnya wilayah Tanah Air dan lebih lengkapnya sistem industri dibandingkan dengan negara-negara tujuan investasi lain. Oleh karena itu, grup perusahaan multinasional dapat memanfaatkan fitur jurisdictional blending dalam Pilar 2.

Standar Akuntansi, XBRL, dan Teknologi

PENERAPAN Pilar 2 sangat bergantung pada aturan dan standar akuntansi keuangan atas laporan konsolidasi grup usaha dari perusahaan multinasional (Eberhartinger dan Winkler, 2023). Secara umum, pengenaan pajak berdasarkan pada laporan keuangan konsolidasi merupakan hal yang baru bagi grup perusahaan multinasional (Bendlinger, 2023).

Banyak diskusi, konsultasi publik, bahkan pembaruan standar akuntansi keuangan untuk kompatibilitas penerapan Pilar 2. Oleh karena itu, Indonesia juga perlu mengevaluasi kembali standar akuntansi keuangan saat ini, sebagaimana yang baru saja dilakukan oleh India (Soong, 2024).

Selain itu, Indonesia juga perlu mempertimbangkan akselerasi penerapan laporan keuangan berbasis extensible business reporting language (XBRL). Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan, baik bagi entitas konstituen yang ada di Tanah Air maupun otoritas pajak Indonesia itu sendiri, dalam penerapan kewajiban perhitungan Pilar 2.

Surat Pemberitahuan (SPT) Pilar 2 – yang secara formal disebut oleh OECD dengan istilah GloBE Information Return (GIR)—merupakan salah satu kewajiban utama dari penerapan ketentuan Pilar 2. Perlu dicatat, SPT Pilar Dua berbeda dengan SPT Tahunan PPh badan (Berg, Kriek, dan Than, 2022).

Penyampaian SPT Pilar 2 dilakukan oleh setiap entitas konstituen (constituent entity). Namun, entitas konstituen hanya perlu menyampaikan notifikasi selayaknya mekanisme laporan per negara (country-by-country report) jika yurisdiksi entitas konstituen tersebut telah memiliki perjanjian pertukaran informasi dengan ultimate parent entity (UPE) atau entitas yang ditunjuk (designated filing entity) (Oguttu, 2022).

Berdasarkan pada fakta tersebut, Indonesia sebagai yurisdiksi yang dalam waktu dekat akan menerapkan Pilar 2, tentu perlu mempersiapkan sumber daya dan tools yang memadai agar kewajiban administratif dapat terlaksana secara efektif dan efisien.

Saat ini, otoritas pajak Indonesia sudah memiliki sumber daya dan sistem teknologi informasi yang bisa dikatakan cukup maju. Apalagi, akan ada coretax administration system yang rencananya go live pada akhir 2024 ini (Parlementaria, 2024).

Coretax administration system dapat menjadi nilai tambah bagi administrasi pajak Indonesia. Nilai tambah itu berupa kemudahan dan optimalisasi pemenuhan kewajiban penyampaian SPT ataupun notifikasi Pilar 2.

Fitur atau menu baru dapat ditambahkan sehingga wajib pajak baik sebagai entitas konstituen, UPE, ataupun entitas yang ditunjuk dapat menekan biaya kepatuhannya dalam menerapkan ketentuan Pilar 2.

Hal tersebut juga akan memberikan kemudahan dan menekan biaya administrasi bagi otoritas pajak di Indonesia. Tidak hanya itu, otoritas pajak di Indonesia juga bisa mempertimbangkan penerapan tax control framework untuk makin mempermudah pengawasan terhadap wajib pajak.

Tax control framework nyatanya juga diterapkan dalam Pilar 1: Amount A, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Konvensi Multilateral. Hal-hal tersebut tentu saja juga bisa dikatakan sebagai bentuk dari insentif nonpajak.

Tantangan suatu yurisdiksi dalam mengadopsi ketentuan Pilar 2 bukan hanya berkaitan dengan ketentuan Pilar 2 itu sendiri yang memang sudah sangat kompleks. Tantangan juga berkaitan dengan kebijakan dan lanskap perpajakan secara umum dari suatu yurisdiksi.

Indonesia tentunya perlu menyusun regulasi Pilar 2 yang mumpuni sekaligus mempersiapkan berbagai kebijakan lain yang bersinggungan, baik langsung maupun tidak langsung. Bentuk-bentuk kebijakan, sebagaimana gagasan besarnya telah penulis tuangkan dalam artikel ini, sangatlah esensial dalam rangka optimalisasi penerapan Pilar 2.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.