ANALISIS PAJAK

Membandingkan Insentif Mobil Listrik Indonesia

Redaksi DDTCNews
Selasa, 01 Oktober 2019 | 14.30 WIB
ddtc-loaderMembandingkan Insentif Mobil Listrik Indonesia

M. Basyuni Rizqi Q.,

DDTC Consulting

KEADAAN lingkungan yang kian memburuk mendorong perkembangan teknologi menjadi kian ramah lingkungan, salah satunya pengembangan mobil listrik. Sambodo (2019) memaparkan konsumsi energi berbasis fosil penghasil emisi karbon pada 2007 di sektor transportasi mencapai 25,9% dan meningkat menjadi 39% pada 2017.

Insentif pajak memainkan peran penting dalam pesat atau lambatnya pengembangan mobil listrik. Insentif sendiri merupakan ketentuan dalam sistem perpajakan yang memberikan perlakuan istimewa atas keadaan atau kegiatan tertentu, yang bertujuan untuk mendorong keberhasilan tujuan tertentu (Shah, 1995).

Negara-negara maju menerapkan berbagai insentif, seperti bagi kendaraan dengan emisi rendah dan nol, penegasan instrumen ekonomi guna menjembatani kesenjangan antara kendaraan konvensional dan listrik, serta berbagai dukungan untuk pengembangan infrastruktur (International Energy Agency, 2019). Bahkan, Uni Eropa juga memiliki strategi tersendiri agar energi yang lebih ramah lingkungan dapat diakses dengan lebih mudah (Pistone dan Ezcurra, 2016).

Kebijakan Negara Lain
SUDAH banyak negara yang menerapkan berbagai kebijakan untuk mendukung pengembangan mobil listrik. Jerman mulai mengambil langkah serius sebagai pemimpin pasar dalam industri mobil listrik melalui pembentukan National Electric Mobility Platform (NEMP) pada 2010.

Awalnya, Pemerintah Jerman menegaskan hanya menyediakan anggaran terkait dengan penelitian dan pengembangan kendaraan listrik serta pembebasan pajak tahunan selama 5 tahun pertama bagi kendaraan listrik (Blau, 2010).

Kemudian, kebijakan pemberian insentif pajak tersebut mendapatkan pembaruan dengan adanya pembebasan selama 10 tahun untuk kendaraan yang diregistrasi pada 2016 sampai 2020 serta penurunan taxable amount bagi kendaraan listrik bertenaga baterai (The European Automobile Manufacturers' Association, 2019).

Selain itu, Pemerintah Jerman juga telah menyetujui skema insentif untuk mempromosikan adopsi kendaraan listrik berbasis plug-in telah pada bulan April 2016, meskipun dengan adanya berbagai pro dan kontra (Cremer, 2016).

Sementara itu, Amerika Serikat telah mengatur pemberian kredit pajak berdasarkan ukuran kendaraan dan kapasitas baterai. Selain itu, semua mobil listrik berbasis hybrid dan plug-in yang dibeli pada atau setelah 2010 dapat memenuhi syarat untuk kredit pajak penghasilan.

Namun, pemerintah Amerika Serikat cukup ketat meregulasi penggunaan kendaraan listrik dengan adanya pengecualian bagi kendaraan listrik untuk lingkungan kecil, meskipun masih dimungkinkan adanya insentif lainnya. (US Department of Energy, 2009)

Jepang menginisiasi insentif kendaraan listrik pada 1996. Kebijakan ini diintegrasikan dengan proyek pengenalan kendaraan ramah lingkungan yang dimulai dengan pemberian subsidi dan pengurangan pajak sebesar 50% atas pembelian kendaraan ramah lingkungan (Electric Vehicle Association of Asia Pacific, 2003).

Kondisi Indonesia
BAGAIMANA dengan Indonesia? Indonesia pada dasarnya sudah berusaha ikut serta dalam pengembangan kendaraan yang lebih ramah lingkungan dengan adanya program LCGC (Low Cost Green Car).

Program LCGC mendapatkan keistimewaan melalui penerbitan PP No. 41 tahun 2003, tepatnya Pasal 3 ayat (1) huruf c yang menetapkan pengenaan DPP 0% dalam penghitungan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah). Di lain pihak, mobil yang mengusung konsep hybrid dan mobil listrik belum mendapatkan perhatian.

Mobil dengan konsep hybrid dikenakan pajak lebih besar karena dianggap memiliki dua mesin berbeda, bensin dan motor listrik. Keadaan ini baru diperbaiki melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 33/PMK.010/2017 dengan penegasan berupa penambahan frasa ‘baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak’.

Berbeda dengan LCGC dan mobil hybrid, mobil bertenaga listrik justru belum dapat dikatakan benar-benar dipasarkan. Hal ini disebabkan infrastruktur dan kebijakan yang ada belum dapat sepenuhnya menunjang pengembangan kendaraan bertenaga listrik.

Beberapa mobil bertenaga listrik yang dipasarkan pun masih berupa mobil impor melalui mekanisme CBU (Completely Built Up). Keadaan ini juga membuat harga jual menjadi sangat tinggi karena adanya berbagai pajak yang harus disetorkan, misal pajak impor, PPnBM, dan pajak jenis lainnya.

Kondisi ini menyebabkan perlu adanya pengaturan yang secara khusus mendukung percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) untuk transportasi jalan.

Sebagai perwujudannya, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.

Perpres ini memaparkan adanya upaya percepatan program Kendaraan Berbasis Listrik (KBL) Berbasis Baterai untuk transportasi jalan. Percepatan ini salah satunya dijalankan melalui pemberian insentif berupa insentif fiskal maupun nonfiskal.

Insentif fiskal diberikan melalui 14 cara yang dijelaskan dalam Pasal 19 Perpres No. 55 Tahun 2019. Sebagai perwujudan keseriusan pemerintah, insentif tersebut disusun dengan cukup komprehensif.

Pengembangan mobil listrik di Indonesia dalam jangka pendek diharapkan dapat tercapai dengan adanya pemberian insentif dalam bentuk kemudahan impor dan pemberian keringanan pajak atau biaya lain yang tercantum dalam Pasal 19 Perpres No. 55 Tahun 2019 huruf a sampai f.

Sementara untuk jangka panjang, Pemerintah Indonesia mendukung berbagai usaha keberlanjutan dan pengembangan mobil listrik melalui Pasal 19 Perpres No. 55 Tahun 2019 huruf g sampai n. Perpres itu juga menyertakan adanya pemberian insentif nonfiskal melalui Pasal 20.

Insentif nonfiskal tersebut diberikan agar mobil listrik memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat dan para produsen. Bahkan, sebelum adanya perpres ini, pemerintah daerah DKI Jakarta pun memberikan pengecualian dari peraturan ganjil genap bagi mobil listrik.

Jika dilihat dari beberapa negara pembanding di atas, Indonesia sudah berada pada jalan yang benar meski dapat dikatakan cukup terlambat. Kebijakan yang dipilih secara umum mengacu pada kebijakan negara pembanding yang tergolong sebagai pemimpin industri otomotif.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.