MERESPONS isu polusi kendaraan yang meningkat, Indonesia kini mulai memasuki era mobil listrik. Era ini ditandai dengan ditekennya payung hukum soal mobil listrik oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Agustus 2019. Aturan itu termaktub dalam Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.
Belakangan ini, kondisi udara di beberapa kota di Indonesia cukup memprihatinkan, khususnya di Ibu Kota Jakarta. AirVisual mencatat polusi udara Jakarta pada 10 Agustus 2019 menjadi yang terburuk di dunia. Senada, situs resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat kualitas udara di Jakarta pada hari yang sama berada dalam kategori tidak sehat.
Tak ayal, situasi kritis ini mendorong pemerintah mengakselerasi industri mobil listrik. Namun, harga mobil listrik di tanah air masih terbilang mahal karena mayoritas komponennya masih bergantung dari luar negeri. Faktor harga yang tinggi ini menjadi hambatan utama mobil listrik dalam bersaing dengan mobil konvensional (National Academy of Science, 2015).
Selain biaya komponen yang tinggi, ada pula masalah pajak yang dianggap menghambat penetrasi mobil listrik di suatu negara (Lieven, 2015). Untuk itu, dari sisi fiskal, Perpres 55/2019 ini mencoba menghadirkan rezim pajak yang lebih ‘ramah’ guna mempercepat penetrasi tersebut.
Insentif Fiskal
PEMBERIAN insentif fiskal untuk percepatan program kendaraan berbasis listrik (KBL) berbasis baterai dalam perpres ini cukup banyak. Ada 14 insentif yang ditawarkan. Pertama, insentif bea masuk atas importasi KBL berbasis baterai dalam keadaan terurai lengkap (Completely Knock Down/CKD), KBL berbasis baterai dalam keadaan terurai tidak lengkap (Incompletely Knock Down/IKD), atau komponen utama untuk jumlah dan jangka waktu tertentu.
Kedua, insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Ketiga, insentif pembebasan atau pengurangan pajak pusat dan daerah. Keempat, insentif bea masuk atas importasi mesin, barang, dan bahan dalam rangka penanaman modal. Kelima, penangguhan bea masuk dalam rangka ekspor.
Keenam, insentif bea masuk ditanggung pemerintah atas importasi bahan baku dan/atau bahan penolong yang digunakan dalam rangka proses produksi. Ketujuh, insentif pembuatan peralatan SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum). Kedelapan, insentif pembiayaan ekspor.
Kesembilan, insentif fiskal untuk kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi teknologi serta vokasi industri komponen KBL berbasis baterai. Kesepuluh, tarif parkir di lokasi-lokasi yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Kesebelas, keringanan biaya pengisian listrik di SPKLU.
Kedua belas, dukungan pembiayaan pembangunan infrastruktur SPKLU. Ketiga belas, sertifikasi kompetensi profesi bagi sumber daya manusia industri KBL berbasis baterai. Terakhir, sertifikasi produk dan/atau standar teknis bagi perusahaan industri KBL berbasis baterai dan industri komponen KBL berbasis baterai.
Insentif fiskal itu diberikan sesuai dengan ketentuan. Pemberian insentif pembebasan atau pengurangan pajak daerah berupa pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Selain insentif yang disebutkan, pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal tambahan.
Kendati demikian, perpres ini tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai mekanisme pemberian dari masing-masing insentif tersebut. Aturan lebih teknisnya didelegasikan pada kementerian terkait yang tergabung dalam tim koordinasi pelaksanaan percepatan program KBL berbasis baterai.
Desain Insentif
DENGAN berbagai insentif tersebut, harga kendaraan listrik diprediksi menjadi lebih murah dan diharapkan semakin banyak masyarakat yang menggunakan moda transportasi tersebut. Namun, apakah langkah pemerintah ini akan cukup efektif menarik minat masyarakat secara luas?
Apabila dicermati, meskipun tidak seluruhnya, insentif dalam Perpres 55/2019 lebih mengarah pada pengadaan impor kendaraan listrik beserta komponennya. Di negara lain, seperti Norwegia, Amerika Serikat (AS), dan Jerman, insentif fiskal juga ditujukan untuk konsumen kendaraan listrik (Yang et.al, 2016).
Dari berbagai literatur, setidaknya ada empat jenis insentif yang biasanya diberikan untuk konsumen mobil listrik. Pertama, kredit pajak penghasilan (income tax credit), seperti diterapkan di AS. Kredit pajak ini dihitung pada akhir tahun pajak dengan besaran yang ditentukan sesuai jenis kendaraan.
Kedua, potongan harga pembelian (vehicle purchase rebate). Contoh negara yang memberi insentif ini adalah Prancis. Ketiga, pengurangan pajak satu kali (one-time tax reduction) sebagaimana yang diterapkan di Norwegia. Pengurangan pajak ini cukup beragam, mulai dari 5% hingga 80% dari harga asli kendaraan atau pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN), dan PPnBM.
Berdasarkan survei yang dilakukan Bjerkan et. al (2016) mengenai insentif yang diberikan Norwegia untuk mempromosikan KBL berbasis baterai, pembebasan PPN dan pajak-pajak terkait dengan pembelian (purchase tax) memainkan peranan krusial bagi para konsumen.
Keempat, pengurangan pajak tahunan (annual vehicle tax reduction). Insentif ini diberikan dalam bentuk pengurangan pajak satu kali setahun dengan besaran sekitar US$100-US$500 per kendaraan. Jerman adalah salah satu negara yang menerapkan insentif ini.
Secara historis, insentif fiskal memiliki peran penting dalam membantu pemerintah di suatu negara untuk mengenalkan alternatif kendaraan bermotor, seperti KBL berbasis baterai (Bandhold et al, 2009).
Apabila dibandingkan dengan kendaraan konvensional, kendaraan listrik lebih berisiko, mahal, dan tidak lazim digunakan sehingga insentif fiskal dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelaku industri maupun konsumen.
Meskipun insentif berupa keringanan pajak memiliki korelasi positif terhadap pangsa pasar kendaraan listrik, keberadaannya tidak akan kuat dalam mempromosikan kendaraan listrik apabila tidak didukung faktor-faktor nonfiskal (Wang et al, 2019). Insentif nonfiskal tersebut di antaranya perluasan skala infrastruktur pengisian baterai, pembebasan biaya tol dan parkir, hingga penyediaan jalan prioritas untuk kendaraan listrik (Ming, 2012).
Sebetulnya, dalam Perpres 55/2019 pemerintah juga memberikan insentif nonfiskal. Salah satunya berupa pengecualian dari pembatasan penggunaan jalan tertentu. Namun, instrumen itu nampaknya belum cukup menarik. Untuk mengakselerasi percepatan program KBL berbasis baterai di Indonesia, desain insentif yang komprehensif sangat dibutuhkan.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.