Yusuf Alaidrus Hidayatullah,
INDONESIA menjadi episentrum baru pandemi Covid-19 setelah mencatatkan angka kasus harian tertinggi di dunia sebanyak 56.757 kasus pada 15 Juli 2021. Fakta ini memaksa pemerintah untuk mengalokasikan tambahan dana penanganan Covid-19.
Dalam ketidakpastian ekonomi pada masa pandemi Covid-19, pertemuan ketiga G-20 Finance Ministers and Central Bank Governors pada 9-10 Juli 2021 menghasilkan kesepakatan skema pajak untuk mengatasi tantangan base erosion and profit shifting (BEPS).
Salah satunya adalah kesepakatan untuk mendukung penerapan Pilar 2 dengan fokus untuk mengatasi tantangan BEPS yang tersisa dan memastikan perusahaan multinasional membayar pajak sesuai dengan tarif pajak minimum global.
Kesepakatan tarif pajak minimum global merupakan hasil pertemuan Inclusive Framework on BEPS OECD (IF) pada 1 Juli 2021 yang tertuang dalam Statement on a Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy.
Selain tarif pajak minimum global, terdapat beberapa aturan pendukung yang disepakati. Aturan itu mengenai cakupan Pilar 2 yang meliputi perusahaan multinasional dengan ambang batas €750 juta dan aturan carve-out sebesar 5% yang memberi ruang insentif pajak bagi negara-negara anggota IF.
Meskipun telah bersepakat atas beberapa elemen utama Pilar 2, negara-negara anggota IF masih akan mendiskusikan detail elemen Pilar 2 yang akan diputuskan pada Oktober 2021.
Tujuan utama Pilar 2 dalam mengurangi kompetisi global melalui pemberian tarif pajak rendah atau insentif pajak yang berlebihan. Oleh karena itu, perumusan ketentuan domestik pemberlakuan Pilar 2 dirasa perlu mempertimbangkan aspek-aspek yang akan menjadi tantangan Indonesia.
Ketentuan domestik Indonesia diharapkan memuat aturan yang tegas dan jelas. Dengan demikian, penerapan ketentuan Pilar 2 tetap dapat menjaga efektivitas insentif pajak dalam menarik investasi luar negeri ke Indonesia.
Pertama, restrukturisasi skema insentif pajak yang memberikan manfaat pengurangan pajak penghasilan. Skema insentif menyebabkan wajib pajak membayar pajak dibawah tarif pajak minimum global yang disepakati.
Restrukturisasi skema insentif pajak diharapkan mampu meminimalisasi munculnya pembayaran pajak tambahan di tingkat induk perusahaan multinasional atas entitas konstituen yang ada di Indonesia tanpa harus memberikan tambahan biaya kepatuhan kepada wajib pajak.
Kedua, ketentuan domestik juga diharapkan memuat aturan mengenai keberlanjutan insentif pajak yang telah dimanfaatkan oleh wajib pajak selama periode tertentu. Hal ini dirasa akan menjadi tantangan terberat dalam penerapan Pilar 2 mengingat beberapa skema insentif pajak memberikan manfaat dalam jangka panjang, misalnya tax holiday yang memberikan manfaat insentif pajak sampai dengan 20 tahun.
Ketiga, ketentuan Pilar 2 akan membatasi ruang insentif pajak. Dengan demikian, ketentuan domestik diharapkan dapat menentukan arah kebijakan non-insentif pajak untuk meningkatkan daya saing investasi.
Kebijakan yang dimaksud seperti perbaikan indikator aspek perpajakan, yakni faktor kemudahan pembayaran pajak dan tingkat kontribusi perusahaan dalam mematuhi peraturan pajak. Dengan demikian, peringkat ease of doing business (EoDB) Indonesia dapat meningkat.
Berdasarkan pada Tax Challenges Arising from Digitalisation – Economic Impact Assessments yang diterbitkan OECD, estimasi tambahan penerimaan pajak atas penerapan Pilar 2 yang akan diterima negara berkembang seperti Indonesia lebih sedikit dibandingkan dengan negara maju tempat induk perusahaan multinasional.
Akan tetapi, masih terdapat potensi penerimaan pajak lainnya yang berasal dari pengurangan belanja perpajakan. Pengurangan ini akibat dari restrukturisasi insentif pajak yang akan dilakukan sebagai antisipasi pengenaan kekurangan pembayaran pajak di tingkat induk perusahaan multinasional.
Restrukturisasi insentif pajak yang dimaksud dapat dilakukan melalui pengurangan manfaat skema instentif pajak seperti tax holiday. Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) PMK 130/2020, pengurangan pajak penghasilan badan sebesar 100% diberikan untuk penanaman modal baru dengan nilai paling sedikit Rp 500 miliar dan sebesar 50% untuk penanaman modal baru senilai Rp 100 miliar—Rp 500 miliar.
Penerapan ketentuan Pilar 2 terindikasi akan mempengaruhi efektivitas pemberian tax holiday. Hal ini dikarenakan ketentuan Pilar 2 membatasi ruang insentif pajak Indonesia menjadi hanya sebesar selisih antara tarif pajak efektif. Selisih yang dimaksud adalah tarif PPh badan dengan memperhitungkan fasilitas carve-out dengan tarif pajak minimum global sebesar 15%.
Terkait dengan hal tersebut, berdasarkan analisis permulaan, Indonesia masih memiliki ruang pemberian insentif pajak berupa pengurangan pajak penghasilan badan sebesar sekitar 25% dari tarif PPh yang berlaku.
Sebagai ilustrasi, jika Indonesia merestrukturisasi tax holiday, terdapat potensi penerimaan pajak dari pengurangan estimasi belanja PPh senilai Rp1,7 triliun. Estimasi itu berdasarkan laporan belanja perpajakan 2019. Jumlah potensi pajak akan sangat tergantung pada skema restrukturisasi manfaat insentif pajak.
Bagi Indonesia, partisipasi dalam konsensus global Pilar 2 merupakan upaya untuk mendukung arsitektur perpajakan internasional yang lebih adil untuk negara sumber.
Pengejawantahan ketentuan Pilar 2 ke dalam aturan domestik diharapkan dapat memberikan manfaat lebih bagi penerimaan pajak. Dengan demikian, kebijakan itu dapat berkontribusi dalam membantu pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi Covid-19. Apalagi, Pilar 2 ditargetkan akan berlaku efektif pada 2023.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.