PERKENALKAN, saya Marni. Saya merupakan staf keuangan suatu perusahaan penyedia jasa dekorasi. Secara umum, penghasilan yang kami terima dari klien atas jasa yang kami berikan selalu dipotong pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 sebesar 2%.
Pertanyaan saya, apabila terdapat kesalahan pemotongan PPh Pasal 23 oleh klien kami yang mengakibatkan pemotongan PPh lebih besar daripada semestinya, apakah saya bisa meminta pengembalian kelebihan tersebut? Jika bisa, bagaimana caranya? Mohon penjelasannya. Terima kasih.
Marni, Tangerang.
TERIMA kasih atas pertanyaannya, Ibu Marni. Untuk menjawab pertanyaan Ibu, kita perlu merujuk Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU KUP s.t.d.t.d. UU HPP).
Sesuai dengan Pasal 17 ayat (2) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, wajib pajak (WP) dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak untuk diterbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar (SKPLB).
Lantas, apakah SKPLB tersebut merupakan sarana pengembalian atas kelebihan pemotongan pajak (restitusi) sesuai konteks pertanyaan Ibu? Terkait itu, butuh penilikan lebih lanjut terhadap peraturan teknisnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang (PMK 187/2015).
Berdasarkan Pasal 2 PMK 187/2015, terdapat 5 kondisi yang membuat restitusi dapat diajukan. Berikut kutipan Pasal tersebut:
“Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dapat diajukan dalam hal:
Dalam hal ini, kondisi yang paling relevan dengan pertanyaan Ibu dapat mengacu pada Pasal 2 huruf c PMK 187/2015. Beleid tersebut salah satunya merujuk pada konteks kesalahan pemotongan pajak berupa PPh berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a PMK 187/2015.
Mengingat uraian pertanyaan Ibu berkenaan dengan kesalahan pemotongan PPh, perusahaan Ibu dapat mengajukan permohonan restitusi sesuai dengan Pasal di atas. Selanjutnya, krusial untuk diperhatikan mengenai mekanisme pengajuan restitusi.
Dalam Pasal 13 ayat (1) PMK 187/2015, diatur bahwa dalam hal terjadi kesalahan berupa kelebihan pemotongan PPh, restitusi dapat diajukan oleh 'WP yang dipotong' dengan mengajukan permohonan. Adapun permohonan pengembalian tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sesuai amanat Pasal 14 ayat (1) PMK 187/2015. Pembuatan dokumen permohonan pengembalian menggunakan format sesuai contoh yang tercantum dalam Lampiran PMK 187/2015.
Selanjutnya, penting untuk diperhatikan bahwa permohonan pengembalian harus ditandatangani oleh 'WP yang dipotong' sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) PMK 187/2015. Meskipun begitu, permohonan dapat ditandatangani oleh pihak lain dengan melampirkan surat kuasa khusus sesuai Pasal 14 ayat (3) PMK 187/2015.
Kemudian, khusus dalam kaitannya dengan pertanyaan Ibu Marni, terdapat 3 dokumen yang wajib dilampirkan bersamaan dengan dokumen permohonan pengembalian sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) PMK 187/2015.
Pertama, asli bukti pemotongan pajak, atau faktur pajak, atau dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak. Kedua, penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang. Ketiga, alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
Lalu, dokumen permohonan pengembalian beserta lampirannya disampaikan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat 'WP yang dipotong' terdaftar sesuai Pasal 14 ayat (10) PMK 187/2015. Adapun atas penyampaian tersebut pemohon akan diberikan bukti penerimaan surat.
Sebagai informasi tambahan, Pasal 15 ayat (1) PMK 187/2015 mengatur bahwa Dirjen Pajak akan meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian yang disampaikan. Perlu diingat bahwa Dirjen Pajak dapat meminta dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon dalam rangka meneliti kebenaran pembayaran pajak sesuai Pasal 15 ayat (2) PMK 187/2015.
Berkenaan dengan penelitian tersebut, hasil penelitian berupa pengembalian atas kesalahan pemotongan PPh diberikan jika memenuhi 4 hal yang disebutkan Pasal 15 ayat (3) PMK 187/2015 berikut:
Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam sebuah laporan sesuai Pasal 15 ayat (8) PMK 187/2015 yang menyatakan terdapat kelebihan pembayaran pajak. Dalam hal tersebut, Dirjen Pajak menerbitkan SKPLB. Namun, apabila laporan hasil penelitian tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak, Dirjen Pajak menyampaikan surat pemberitahuan penolakan kepada pemohon.
Nantinya, berdasarkan amanat Pasal 17 ayat (1) PMK 187/2015, restitusi atas SKPLB dilakukan melalui penerbitan surat perintah membayar kelebihan pajak (SPMKP). Surat tersebut merupakan surat perintah dari Kepala KPP kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk menerbitkan surat perintah pencairan dana sebagai dasar restitusi kelebihan pembayaran pajak kepada WP. Simak ‘Glosarium DDTC: SPMKP.’
Terakhir, perlu menjadi perhatian bahwa ketentuan terkait tata cara pengembalian PPh yang tidak seharusnya dipotong akan mengalami beberapa perubahan per 1 Januari 2025 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PMK 81/2024). Simak lebih lengkap ‘Coretax Ubah Tata Cara Pengembalian PPh yang Seharusnya Tak Dipotong’ dan kanal ‘Coretax’ di news.ddtc.co.id/coretax.
Demikian jawaban yang dapat disampaikan. Semoga membantu.
Sebagai informasi, artikel Konsultasi Pajak hadir setiap pekan untuk menjawab pertanyaan terpilih dari pembaca setia DDTCNews. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan mengirimkannya ke alamat surat elektronik [email protected]. (sap)