LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

PMK 68/2022 Terbit, Siapkah Indonesia dengan Pajak Crypto Mining?

Redaksi DDTCNews | Senin, 12 September 2022 | 10:00 WIB
PMK 68/2022 Terbit, Siapkah Indonesia dengan Pajak Crypto Mining?

Daffa Abyan,
Kota Bekasi, Jawa Barat

DIGITALISASI ekonomi telah menjadi pusat perhatian di beberapa negara, termasuk Indonesia. Pemanfaatan sistem blockchain sebagai basis distributed ledger technology (DLT) untuk transaksi mata uang kripto menjadi terus mengalami peningkatan.

Mengutip Singapore Fintech Association (2022), mata uang kripto telah dimiliki 12 juta orang di Indonesia atau 4,5% dari total populasi. Berdasarkan pada data Kementerian Perdagangan, nilai transaksi mata kripto pada 2 bulan pertama tahun ini senilai Rp83,8 triliun.

Tingginya frekuensi transaksi mata uang kripto menjadi potensi penerimaan negara dari sisi perpajakan di Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 68/2022 menjadi langkah pemerintah untuk mewujudkan potensi tersebut.

Peraturan tersebut dirumuskan untuk mengenakan pajak penghasilan (PPh) serta pajak pertambahan nilai (PPN) tidak hanya terhadap transaksi perdagangan mata uang kripto, tetapi juga jasa verifikasi transaksi atau yang biasa dikenal sebagai crypto mining.

Secara proses bisnis, kegiatan mining mengambil peran vital dalam transaksi mata uang kripto. Hal ini ditunjukkan dengan peran miners atau pihak yang melakukan jasa mining. Miners sebagai pihak ketiga yang berperan sebagai validator untuk merealisasikan transaksi yang terjadi.

Oleh karena itu, sebenarnya, terdapat hubungan positif antara frekuensi transaksi mata uang kripto dan keberlangsungan jasa mining. Pertanyaannya, apakah PMK 68/2022 telah siap digunakan pemerintah untuk melakukan pemajakan?

Tantangan utama dalam pelaksanaan PMK 68/2022 terletak pada identitas miners sebagai subjek pajak. Seperti diketahui, salah satu fitur unggulan dari sistem blockchain adalah anonimitas.

Oleh karena itu, tidak ada cara bagi pemerintah untuk menempatkan miners sebagai wajib pajak. Situasinya bergantung pada kepatuhan sukarela dari miners itu sendiri. Sampai dengan saat ini pun, tidak ada suatu metode untuk menembus sistem blockchain yang pada dasarnya bersifat rahasia.

Administrasi perpajakan di Indonesia juga belum dapat menjaring data untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan mining. Padahal, administrasi pajak seharusnya terus diperbarui, sehingga dapat menjaring dan mengakomodasi peraturan perpajakan (Végh dan Gribnau, 2018).

Jika pemerintah menemukan celah secara administratif untuk mengetahui identitas miners, hal ini tentu akan bertentangan dengan sifat dasar sistem blockchain, yakni desentralisasi. Tidak diatur dan tidak dikendalikan oleh pemerintah.

Timbulnya pertentangan tersebut pemerintah seolah-olah turut serta dalam sistem peer to peer yang seharusnya hanya diketahui dua pihak pelaku transaksi.

Dari sudut pandang peraturan berlaku, jasa mining memang telah dikenakan PPh pasal 22. Namun demikian, PPh pasal 22 tersebut cenderung berpusat kepada pemungutan yang bergantung pada kepatuhan dari wajib pajak.

Sementara dari sisi miners sebagai wajib pajak, muncul pemikiran apakah dengan mengungkapkan identitas diri kepada pemerintah akan timbul hubungan timbal-balik yang menguntungkan? Jawabannya adalah tidak.

Alasannya adalah hingga saat ini pun belum ada suatu dukungan pemerintah pada perkembangan sektor ini. Dukungan yang dimaksud baik berbentuk insentif, fasilitas, maupun lain sebagainya yang menguntungkan bagi miners.

Terlebih lagi, PMK 68/2022 tidak memandang tingginya tingkat volatilitas pada mata uang kripto. Penetapan secara konsisten yang dimaksud dalam peraturan tersebut tidak memandang laba atau rugi yang dihasilkan wajib pajak.

Misalnya, ketika nilai reward berupa mata uang kripto yang dihasilkan dari jasa mining secara mendadak turun drastis, wajib pajak tetap berkewajiban untuk memungut pajak. Hal ini yang membuat peraturan tersebut sangat merugikan bagi pihak miners.

Kondisi tersebut membuat miners akan berpikir ulang untuk menjalankan kewajiban pajak yang sudah seharusnya ditanggungnya. Apalagi, ketika pemerintah tidak memiliki tools untuk melacak identitas, miners seolah-olah berada pada posisi ‘untouchable’. Alhasil, pelaksanaan PMK 68/2022 secara praktik tampak belum siap.

Alternatif Penerapan Pajak atas Jasa Mining

GAMBARAN situasi tersebut menunjukkan PMK 68/2022 menjadi tidak applicable untuk saat ini. Hambatan secara administratif ini seharusnya tidak perlu dihadapi pemerintah jika metode pajak yang digunakan adalah pemungutan dari pihak ketiga.

Perbedaan mendasar yang terlihat secara administratif terletak pada pihak yang menanggung beban kepatuhan pajak. Ketika kepatuhan pajak dibebankan kepada penyedia jasa platform trading, pelaksanaan peraturan tersebut tidak lagi bergantung kepada kepatuhan miners.

Pemungutan pajak dapat dipersamakan dengan transaksi perdagangan mata uang kripto yang diatur dalam PMK 68/2022. Dengan demikian, pengawasan hanya perlu dilakukan kepada platform yang terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Komoditas (Bappebti).

Pada dasarnya, penghasilan yang diterima, baik dari trading maupun mining, telah memiliki kesamaan. Adapun kesamaan yang dimaksud adalah pada saat penggunanya memutuskan untuk melakukan cash out pada platform crypto trading.

Dengan demikian, pelaksanaan peraturan hanya akan memandang penghasilan yang diterima penggunanaya saat mata uang kripto tersebut dikonversikan ke mata uang rupiah. Sayangnya, alternatif ini masih belum menjawab permasalahan ketika terjadi fenomena khusus.

Fenomena tersebut berkaitan dengan kemungkinan miners yang berada di Indonesia memutuskan untuk melakukan cash out pada platform yang berada di luar Indonesia atau pada kondisi sebaliknya. Ketika hal ini terjadi, akan timbul isu yurisdiksi mengenai negara mana yang berhak melakukan pemajakan agar terhindar dari adanya double taxation.

Terlalu kompleksnya proses transaksi yang terjadi pada kegiatan mining ini yang perlu dipahami terlebih dahulu oleh pemerintah sebelum membuat suatu peraturan pajak. Saat ini, PMK 68/2022 dinilai hanya memberikan kepastian hukum bahwa jasa mining di Indonesia sudah dikenakan pajak tanpa memperhatikan bagaimana pelaksanaannya pada level playing field.

Oleh karena itu, pemerintah perlu untuk membuat suatu pertimbangan pelaksanaan administratif sebelum membuat suatu kebijakan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 20 April 2024 | 16:45 WIB KEPATUHAN PAJAK

Periode SPT Badan Sisa Sepekan, Perusahaan Belum Operasi Tetap Lapor?

Sabtu, 20 April 2024 | 16:30 WIB KEANGGOTAAN FATF

Di FATF, Sri Mulyani Tegaskan Komitmen RI Perangi Kejahatan Keuangan

Sabtu, 20 April 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN BEA CUKAI

Apa Beda Segel dan Tanda Pengaman Bea Cukai? Simak Penjelasannya

Sabtu, 20 April 2024 | 12:00 WIB KEPATUHAN PAJAK

Minta Perpanjangan Lapor SPT Tahunan? Ingat Ini Agar Tak Kena Sanksi

BERITA PILIHAN