PERMASALAHAN dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang timbul karena aturannya tidak mengikuti perkembangan zaman adalah persyaratan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang diperbolehkan menerbitkan faktur pajak yang digunggung. Faktur pajak yang digunggung adalah faktur pajak yang hanya bisa dibuat oleh PKP Pedagang Eceran, yang tidak diisi dengan identitas pembeli serta nama dan tandatangan penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2 UU KUP. Faktur pajak yang digunggung ini dilaporkan dalam Formulir 1111 AB (Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan pada butir I huruf B angka 2) SPT Masa PPN.
PKP yang diperkenankan untuk membuat faktur pajak yang digunggung hanyalah PKP Pedagang Eceran yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) PP 1/2012 juncto Pasal 5 ayat (2) PMK-151/PMK.03/2013 juncto Pasal 1 ayat (1) PER-58/PJ/2010. Menurut aturan tersebut, PKP Pedangan Eceran adalah PKP yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan cara sebagai berikut:
PKP yang tidak memenuhi kriteria di atas wajib memungut PPN dengan faktur pajak yang tidak digunggung atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean sesuai ketentuan yang berlaku mengenai faktur pajak. Apabila PKP yang tidak memenuhi kriteria sebagai PKP Pedagang Eceran menerbitkan faktur pajak yang digunggung maka PKP tersebut dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf e UU KUP juncto Pasal 14 ayat (4) UU KUP atas penerbitan faktur pajak yang tidak lengkap, dengan besaran sanksi sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN.
Tabel 1 Perbandingan Faktur Pajak yang Tidak Digunggung dan Faktur Pajak yang Digunggung
Berdasarkan Penjelasan Pasal 20 PP 1/2012 juncto bagian konsiderans PER-58/PJ/2010, faktur pajak yang digunggung secara administratif lebih sederhana, mudah, dan murah karena ditujukan bagi penyerahan kepada konsumen akhir (penyerahan secara eceran) yang jumlah penyerahannya relatif banyak dengan nilai yang relatif kecil. Oleh karena itu, penerbitan faktur pajak yang digunggung lebih efisien secara administratif bagi wajib pajak.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah PKP penjual BKP dan/atau JKP kepada konsumen akhir yang dijual secara daring (online) memenuhi kriteria PKP Pedagang Eceran dan, oleh karenanya, diizinkan untuk memungut PPN menggunakan faktur pajak yang digunggung?
Seringkali di dalam kasus penyerahan secara online, fiskus berpedoman pada pendapat dari Kepala Seksi Peraturan PPN Jasa, Direktorat Peraturan Perpajakan I, Ditjen Pajak, yang dapat dilihat di laman http://www.pajak.go.id/content/tidak-ada-dobbel-taxation-di-bidang-e-commerce, sebagai berikut
“Jadi untuk sementara untuk penjualan melalui elektronik (secara online) ini sampai sekarang belum bisa dikategorikan sebagai Pedagang Eceran. Oleh karena itu dia tidak bisa menyelenggarakan pembuatan faktur pajak yang secara khusus tadi. Dia harus mengikuti penerbitan faktur pajak yang diatur dalam UU PPN yang penomorannya harus minta kepada Ditjen Pajak dan dibuat pada saat penyerahan”.
Berdasarkan pendapat tersebut maka PKP yang menjual BKP dan/atau JKP secara online tidak diperbolehkan memungut PPN menggunakan faktur pajak yang digunggung, termasuk bagi Penyelenggara Online Retail (SE-62/PJ/2013). Hal ini tentu dapat menimbulkan ketidakadilan, mengingat dalam Huruf A Lampiran SE-62/PJ/2013 menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan perlakuan perpajakan antara transaksi e-commerce dan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa lainnya. Sepanjang perusahaan e-commerce dan perusahaan perdagangan biasa lainnya melakukan penjualan eceran, sudah seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan bagi kedua perusahaan tersebut mengingat perbedaan hanya terjadi pada media transaksi dan kegiatan usaha (secara daring atau secara luring).
Mengutip pada definisi dalam Pasal 2 ayat (1) PP 28/1988 yang mengartikan pedagang eceran sebagai setiap pengusaha di bidang perdagangan yang kegiatan usahanya dan pekerjaannya menyerahkan BKP dan/atau JKP kepada konsumen akhir. Adapun cara penyerahan, cara pembelian, atau cara pembayaran, bukan faktor yang relevan dalam menentukan status PKP sebagai Pedagang Eceran, apalagi berbagai media transaksi dapat dipergunakan untuk membeli barang pada era teknologi informasi sekarang ini.
Pandangan konvensional tentang PKP Pedagang Eceran dalam peraturan PPN kurang sesuai dengan lanskap perpajakan dunia yang telah berubah mengikuti perkembangan zaman, yaitu dari transaksi yang bersifat konvensional (tatap muka) menuju digitalisasi (dunia maya). Keberadaan fisik (physical presence) di dunia usaha saat ini sudah tidak lagi relevan. Dunia usaha sekarang sudah berubah dari yang semula hanya bergantung pada kriteria physical presence kepada keberadaan yang bersifat digital (digital presence). Kriteria physical presence sudah tidak lagi relevan untuk menjadi acuan, apalagi jika berbicara mengenai skema usaha yang melibatkan cara-cara moderen seperti kegiatan usaha e-commerce.
Maksud dari ketentuan mengenai faktur pajak yang digunggung adalah untuk memenuhi asas kesederhanaan dalam pemungutan pajak serta memberikan kepastian hukum bagi PKP dengan karakteristik Pedagang Eceran. Adapun karakteristik pedagang eceran ini telah diatur di dalam PP 1 Tahun 2012, yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dengan cara eceran yang pada umumnya dilakukan kepada konsumen akhir.
Pada dasarnya, kriteria PKP Pedagang Eceran dimaksudkan untuk membuktikan apakah penyerahan dilakukan secara eceran, yaitu aktivitas perdagangan kepada/untuk konsumen akhir. Pengertian penyerahan secara eceran ini pun pada faktanya sejalan dengan praktik di dunia (best practice). Sebagai contoh, di Singapura diatur ketentuan atas penjualan kepada konsumen akhir di mana penjual cukup menerbitkan serially printed receipt tanpa perlu menerbitkan faktur pajak kepada konsumen akhir tersebut (IRAS e-Tax Guide). Berdasarkan hal tersebut maka seharusnya yang perlu dibuktikan untuk memenuhi kriteria sebagai PKP Pedagang Eceran adalah apakah Wajib Pajak melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada konsumen akhir atau tidak.
Di era ekonomi digital ini, kriteria PKP Pedagang Eceran yang mengacu kepada kriteria dalam Pasal 20 ayat (2) PP 1/2012 juncto Pasal 1 ayat (1) PER-58/PJ/2010 sebaiknya direvisi karena sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Kriteria PKP pedagang eceran seharusnya tidak dibatasi berdasarkan tempat penjualan yang bersifat tempat tetap atau cara penawaran barang yang tidak tertulis sebagaimana kriteria PKP Pedagang Eceran dalam Pasal 20 ayat (2) PP 1/2012 juncto Pasal 1 ayat (1) PER-58/PJ/2010. Kriteria PKP Pedagang Eceran sebaiknya mengacu pada kriteria substantif dalam aktivitas usaha PKP tersebut, yaitu PKP Penjual menjual barang kepada konsumen akhir.
Tujuan dari ketentuan faktur pajak yang digunggung ialah untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi PKP Pedagang Eceran dalam membuat faktur pajak dan menatausahakan faktur pajak. Penyerahan BKP secara eceran yang umumnya berjumlah banyak dengan nilai per transaksi yang relatif tidak besar dapat mengakibatkan tingginya beban kepatuhan (compliance cost) yang ditanggung oleh Wajib Pajak.
Salah satu asas pemungutan pajak ialah asas kemudahan administrasi (ease of administration) sehingga dalam hal ini aturan pajak harus dibuat secara sederhana dan mudah dimengerti, baik oleh fiskus maupun Wajib Pajak. Asas ease of administration dalam pemungutan pajak semestinya dipahami bahwa beban kepatuhan bagi wajib pajak untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan harus rendah (low cost of compliance). Pemungutan pajak dengan faktur pajak yang digunggung oleh PKP Pedagang Eceran memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi PKP yang melakukan aktivitas usaha penjualan kepada konsumen akhir dengan jumlah transaksi penyerahan barang yang relatif banyak dan dengan nilai yang relatif kecil.
Berdasarkan uraian di atas maka sebaiknya kriteria PKP Pedagang Eceran yang diperbolehkan menerbitkan faktur pajak yang digunggung juga harus mengakomodir PKP yang melakukan kegiatan usaha berjualan secara eceran melalui media internet (daring). Oleh karena itu, Pasal 20 ayat (2) PP 1/2012 juncto Pasal 5 ayat (2) PMK-151/PMK.03/2013juncto Pasal 1 ayat (1) PER-58/PJ/2010 seharusnya direvisi sesuai perkembangan zaman di era ekonomi digital, yaitu cukup mengacu kepada kriteria bahwa PKP yang bersangkutan melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada konsumen akhir tanpa perlu memedulikan cara penyerahan, cara pembelian, atau cara pembayaran.