PERSPEKTIF

Memahami Isu Transfer Pricing

Redaksi DDTCNews
Jumat, 27 Januari 2017 | 17.01 WIB
ddtc-loaderMemahami Isu Transfer Pricing
Managing Partner DDTC

ISU transfer pricing bukanlah sesuatu hal yang baru secara global. Pada 1961, Presiden John F. Kennedy menyatakan: “Recently more and more enterprises organised abroad by American firms have arranged their corporate structures aided by artificial arrangements between parent and subsidiary regarding intercompany pricing, the transfer of patent licensing rights, the shifting of management fees, and similar practices [...] in order to reduce sharply or eliminate completely their tax liabilities both at home and abroad.”

Isu transfer pricing oleh perusahaan multinasional juga menjadi agenda pajak dari Presiden Bill Clinton. Pilihan ini merupakan sesuatu yang rasional, karena efektivitasnya dalam meningkatkan penerimaan tanpa ‘melukai’ konstituen.

Maraknya isu mengenai transfer pricing sendiri tidak dapat dilepaskan dari konteks investasi dan perdagangan internasional. Dewasa ini, terdapat peningkatan volume perdagangan global yang dipengaruhi oleh adanya kerja sama global maupun regional, perkembangan teknologi, dan sebagainya. Menariknya, 60-70% dari perdagangan global tersebut ternyata dilakukan antarafiliasi atau di dalam perusahaan multinasional itu sendiri.

Dari informasi tersebut, transfer pricing atau penetapan harga/ nilai transaksi afiliasi dapat dikatakan sebagai konsekuensi logis dari bisnis perusahaan multinasional yang semakin mengglobal dan terintegrasi. Dengan kata lain, transfer pricing pada dasarnya adalah sesuatu yang bersifat netral.

Di sisi lain, transaksi afiliasi kerap digunakan sebagai alat untuk menghindari pajak. Cara-cara yang biasa dilakukan adalah melalui pembentukan harga, transaksi ataupun struktur bisnis yang bersifat artifisial. Hal ini biasa disebut sebagai manipulasi transfer pricing.

Bagi pemerintah di berbagai negara, manipulasi transfer pricing-lah yang menjadi persoalan. Bagaimana tidak, aktivitas tersebut pada dasarnya menggerus basis penerimaan pajak melalui pengalihan laba ke entitas lain dalam grup perusahaan yang sama. Bagaimana dampaknya?

Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development/ OECD (2013), praktik pengerusan basis pajak dan pengalihan laba (base erosion and profit shifting/ BEPS) memberikan dampak menguapnya 4%-10% PPh Badan global setiap tahunnya.

Padahal, manipulasi transfer pricing merupakan skema BEPS yang paling dominan atau kerap dilakukan (Heckemeyer dan Overesch, 2013). Dari sisi dampaknya, negara berkembanglah yang paling dirugikan karena 20%-30% penerimaan pajak mereka disumbangkan oleh PPh Badan (UNCTAD, 2015).

Mencermati hal ini, banyak negara akhirnya membuat regulasi transfer pricing guna mencegah kebocoran pajak yang semakin besar. Regulasi ini berdiri di atas prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle/ALP), yang mengacu pada Pasal 9 OECD Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Secara sederhana, prinsip ini mengharuskan transaksi afiliasi harus sebanding (comparable) dengan transaksi yang dilakukan oleh pihak independen dalam kondisi yang sebanding juga. Jika tidak wajar, otoritas pajak memiliki kewenangan untuk melakukan koreksi atas transaksi afiliasi tersebut.

Penerapan ALP sendiri dibuktikan dengan apa yang disebut sebagai dokumentasi transfer pricing. Artinya, wajib pajak harus menyelenggarakan suatu dokumentasi yang memperlihatkan bahwa transaksi afiliasi yang dilakukannya telah memenuhi prinsip kewajaran.

Jika pada akhir dekade 90-an, hanya terdapat 10 negara yang memiliki kewajiban dokumentasi, jumlahnya telah meningkat hampir delapan kali lipat di tahun 2014 (World Bank, 2016). Pertanyaannya, apakah ketentuan dokumentasi transfer pricing tersebut efektif dan berguna dalam mencegah manipulasi transferpricing?

Jawabannya, belum. Tidak adanya standar global terkait dokumentasi transfer pricing serta tidak adanya kewajiban untuk menyertakan informasi grup perusahaan multinasional secara komprehensif ditengarai menjadi penyebabnya. Otoritas pajak akhirnya sulit untuk meneliti lebih jauh tentang adil atau tidaknya alokasi pembagian laba ataupun substansi usaha masing-masing entitas dari suatu grup perusahaan multinasional.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika manipulasi transfer pricing dan praktik tax avoidance dirasa masih marak. Berangkat dari kondisi ini, pada tahun 2013 OECD dan G20 memulai Proyek Anti-BEPS. Pada Oktober 2015, terdapat laporan resmi mengenai 15 rekomendasi untuk merestorasi sistem pajak internasional dan sekaligus menutup celah yang kerap dimanfaatkan untuk penghindaran pajak.

Kelima belas aksi tersebut mencakup 3 elemen, yaitu koherensi, substansi dan transparansi. Dalam konteks transparansi dan transfer pricing, terdapat Aksi-13 terkait dengan format baru dokumentasi transfer pricing yang menjadi standar minimum yang harus diimplementasikan oleh anggota OECD dan G20.

Berbeda dengan rezim sebelumnya, format ini juga dijadikan suatu acuan global bentuk dan isi dokumentasi transfer pricing. Dokumentasi transfer pricing akan terdiri atas tiga jenis. Pertama, dokumen induk (master file) yang pada dasarnya terinspirasi dari penerapan di Uni Eropa; kedua, local file yang sejatinya seperti dokumentasi TP yang biasa diwajibkan; serta ketiga, CbCR yang justru terinspirasi dari penerapan transparansi di industri ekstraktif yang digagas oleh LSM.

Adanya PMK 213/2016 sejatinya telah menunjukkan komitmen Indonesia dalam implementasi BEPS, karena Aksi 13 merupakan salah satu standar minimum yang wajib diimplementasikan oleh negara-negara anggota G20 dan OECD. Ini juga bagian dari komitmen transparansi di sektor pajak secara global.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.