Benny Gunawan Ardiansyah,
PANDEMI Covid-19 telah mengganggu perekonomian secara global. Resesi ekonomi pada 2020 menjadi kinerja terburuk sejak Great Depression pada 1930-an. Teori Keyness yang dapat menjawabnya adalah intervensi pemerintah untuk menstabilkan perekonomian.
Karena sumber penerimaan pajak relatif tidak bisa diandalkan saat pandemi, seluruh negara mengandalkan utang sebagai satu-satunya solusi pembiayaan. Alhasil, utang meningkat signifikan pada tahun lalu senilai US$19,5 triliun berdasarkan pada prediksi Institute of International Finance.
Menurut International Monetary Fund (IMF), kondisi utang negara-negara seluruh dunia pada saat ini sama seperti keadaan pascaterjadinya Perang Dunia (PD) II. Utang negara-negara maju sebesar 124% terhadap produk domestik bruto (PDB), naik dari kinerja pada kondisi Pasca-PD II dan 2020.
Sementara, emerging countries rata-rata memiliki ratio utang sebesar 47% PDB Pasca-PD II dan 62,5% pada 2020. Indonesia sendiri mengalami peningkatan dari 29% menjadi kisaran 40% PDB. Sebagai perbandingan, India mengalami peningkatan dari 74% menjadi kisaran 90% PDB.
Saat ini, semua berharap pandemi Covid-19 akan berakhir. McKinsey memproyeksi pandemi akan mencapai puncak pada kuartal IV/2021 dengan pembentukan herd immunity mulai awal 2022. Pandemi ini diperkirakan memporak-porandakan perekonomian selama 2020-2021.
Salah satu yang mengemuka kemudian adalah bagaimana Indonesia akan bangkit setelah pandemi? Mengikuti model pertumbuhan ekonomi Solow, untuk mengubah tingkat output dalam suatu perekonomian dari waktu ke waktu, dibutuhkan faktor endogen.
Faktor tersebut antara lain perubahan tingkat pertumbuhan penduduk, tingkat tabungan, dan tingkat kemajuan teknologi. Seperti negara berkembang lain, Indonesia menghadapi permasalahan utama tentang peningkatan tingkat tabungan dan tingkat kemajuan teknologi.
Peranan Pajak
SELAIN berfungsi untuk membiayai APBN, pajak juga berfungsi sebagai regulator. Salah satu peran tersebut adalah untuk meningkatkan minat menabung dari masyarakat.
Sejak reformasi perpajakan dimulai pada 1983, skema yang digunakan untuk meningkatkan tabungan masyarakat adalah mengenakan PPh final terhadap penghasilan yang diterima dari pembentukan modal, baik dalam bentuk tabungan maupun obligasi. Â
Rezim tersebut terus digunakan pemerintah. Selama hampir 4 dekade, tabungan masyarakat terus meningkat. Namun, sejak krisis keuangan melanda perbankan pada 1998, prioritas utama sekarang adalah stabilitas sistem perbankan Indonesia.
Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat membantu, bahkan kondisi pada saat krisis sistem keuangan 2021 lebih baik dibandingkan dengan situasi pertengahan 2020.
Kondisi tersebut menarik jika dilihat dengan teori Schumpeter tentang inovasi dalam pembangunan dan ekonomi. Schumpeter memperkenalkan ex-post saving dengan melakukan akumulasi modal sambil menggunakannya dalam pembangunan.
Selama ini, pemerintah menganut ex-ante saving, yaitu mengumpulkan tabungan. Kemudian, tabungan itu dijadikan sebagai modal membangun. Di sini, pajak dapat berperan dengan memberikan insentif, misalnya pembebasan pajak selama penghasilan dari modal terus dilakukan akumulasi.
Salah satu permasalahan dalam pembentukan akumulasi modal adalah tingginya tingkat inflasi Indonesia (terutama sebelum 2016) dan tingkat depresiasi nilai rupiah. Tingginya hasil ekspor pengusaha Indonesia yang parkir di luar negeri membuat neraca pembayaran Indonesia terus tertekan.
Kebijakan terakhir dengan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 123/2015 tentang Perubahan Atas PP No. 131/2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia masih belum terlihat efektif.
Investor masih tetap berhati-hati dan menaruh dana secara bertahap. Tidak ada nasabah yang menggunakan fasilitas ini juga menjadi indikator tidak efektifnya beleid tersebut. Hal ini yang melatarbelakangi penerbitan PP No. 1/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
Sungguh mengherankan. Penjualan ekspor kekayaan SDA Indonesia ternyata juga parkir di luar negeri sehingga harus dipaksa untuk pulang. Jika ini terlaksana, tentu saja kita tidak perlu melakukan program pengampunan pajak demi melakukan repatriasi uang tersebut ke Indonesia.
Program pengampunan pajak yang gagal mencapai tujuan utama pada 2016-2017 tersebut sepertinya akan diulang lagi sesuai dengan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang saat ini sedang dibahas pemerintah bersama dengan DPR.
Selain itu, pemerintah juga perlu menyusun langkah untuk melaksanakan program financial deepening. Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, hanya pasar modal yang menjanjikan perkembangan menarik.
Sementara itu, kondisi pasar uang masih belum berkembang jauh. Selama ini, skema yang diberikan otoritas perpajakan Indonesia hanya mengenakan PPh final. Untuk menyukseskan program financial deepening, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif, tidak hanya memainkan tarif pajak.
Diperlukan kebijakan yang menyeluruh sekaligus untuk meningkatkan pasar reksadana di Indonesia, termasuk atas transaksi instrumen keuangan derivatif yang diperdagangkan. Sebuah tugas yang besar bagi otoritas pajak Indonesia untuk membantu pembentukan modal bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.Â
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.