TIDAK dapat dipungkiri, pandemi Covid-19 merupakan krisis kesehatan dunia yang berdampak pula bagi adanya resesi di berbagai negara. Hingga per 25 September 2020, lebih dari 32 juta manusia terjangkit virus ini. Amerika Serikat, India, Brazil, dan Rusia merupakan empat negara terbanyak dengan kasus ini, masing-masing sebesar 6,8 juta, 5,8 juta, 4,6 juta, dan 1,1 juta jiwa.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar juga termasuk dalam 25 negara dengan kasus terbanyak. Kasus Covid-19 di Indonesia dimulai pada awal Maret 2020 dengan dua kasus, kini meningkat drastis hingga 266.845 kasus (25 September 2020).
Sejak Maret, IMF bahkan memprediksi datangnya resesi ekonomi global yang bisa lebih parah dari krisis keuangan global 2008 (IMF, 2020). Akan tetapi, prediksi ekonomi yang dirilis pada awal tahun tersebut kemudian terus direvisi seiring dengan kian seriusnya penanggulangan kesehatan serta adanya pembatasan sosial yang diberlakukan di berbagai negara.
Istilah krisis ‘The Great Lockdown’ diprediksi IMF akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi global di 2020 ini terkontraksi di angka -4,9%. World Bank punya prediksi yang lebih pesimis yaitu sebesar -5,2%. Proyeksi OECD bahkan lebih suram dan mencapai angka -7,6%. Gelombang pernyataan resmi dari setiap negara bahwa mereka masuk dalam fase technical recession (pertumbuhan ekonomi minus dua kuartal berturut-turut) bahkan semakin meningkat.
Oleh ketiga lembaga internasional tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi masih tetap jauh lebih baik daripada tren global maupun ASEAN. Ketiganya meramalkan ekonomi Indonesia 2020 bertumbuh antara -3,3% (OECD), 0% (World Bank), dan IMF (-0,3%).
Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Keuangan, punya hitungan sendiri yang terentang antara -1,7% hingga -0,6% (23 September 2020). Satu hal yang pasti, prediksi dan ramalan ekonomi di saat krisis seperti saat ini bukanlah sesuatu yang mudah karena volatilitas dan pergerakan asumsi yang dinamis.
Pertanyaannya, bagaimana mengelola kerangka fiskal terkait dengan dampak Covid-19 ini?
Pandemi, Resesi, dan Pajak
Sebelum membahas pertanyaan di atas secara lebih detail, hal yang perlu kita ingat ialah bahwa tidak ada satupun pihak yang mengetahui seberapa lama pandemi ini akan berlangsung dan juga seberapa dalam dampak yang ditimbulkannya bagi aspek sosial-ekonomi-kesehatan masyarakat. Kedua pertanyaan tersebut jelas akan menentukan prospek ekonomi tahun ini dan tahun yang akan datang.
Durasi dan kedalaman dampak pandemi Covid-19 ini juga akan menentukan jenis dan besaran instrumen fiskal pemerintah di banyak negara. Masalahnya, bagaimana daya tahan anggaran pemerintah?
Saat ini kita semua menyaksikan bagaimana kebijakan fiskal yang ekspansif jadi opsi yang diambil oleh berbagai negara. Belanja yang besar dan relaksasi pemungutan pajak adalah jurus utamanya. Tujuannya, menyelamatkan ekonomi. Penerimaan pajak umumnya bakal terkena dua pukulan telak. Perlambatan ekonomi secara natural mengurangi basis pajak. Sementara, tax expenditure akan banyak digelontorkan. Baru nanti setelahnya, pemerintah akan secara gradual menerapkan konsolidasi fiskal seiring berjalannya waktu.
Satu hal yang pasti, di tengah situasi seperti saat ini peran sentral pemerintah dalam mendorong perekonomian jelas sangat penting. Pasalnya, kegiatan konsumsi (C), investasi (I), dan perdagangan internasional (X-M) praktis terganggu dan cenderung menurun. Oleh karena itu, pemerintah melalui berbagai kebijakan, khususnya fiskal, akan sangat menentukan.
Menurut Blanchard (2020), kebijakan fiskal pemerintah di saat pandemi Covid-19 harus fokus pada tiga hal. Pertama, fokus pada upaya menanggulangi aspek kesehatan masyarakat. Instrumen fiskal bagi sektor kesehatan harus jadi perhatian dalam rangka mencegah penularan, memonitor, perawatan, ketersediaan fasilitas, hingga riset pengobatan.
Kedua, instrumen fiskal haruslah berperan sebagai aid atau membantu pihak-pihak yang terdampak pelemahan ekonomi. Setiap sektor atau kelompok masyarakat kegiatan ekonominya terpengaruh pandemi harus segera ‘diselamatkan’. Ketiga, perlunya untuk mendorong permintaan total (aggregate demand). Ketersediaan permintaan dalam masyarakat akan tetap menjamin berputarnya roda perekonomian.
Ancaman resesi menjadi pertimbangan pemerintah di banyak negara menerbitkan berbagai kebijakan relaksasi pajak. Tujuannya, mencegah pengangguran, kestabilan investasi, menjaga arus kas sektor usaha, mendorong konsumsi, dan sebagainya (OECD, 2020). Tidak terkecuali dengan Indonesia. Respons cepat melalui berbagai relaksasi pajak hadir melalui tujuh belas produk hukum, sebagaimana dirangkum dalam tabel berikut.
Terdapat berbagai tujuan yang ingin dicapai melalui relaksasi pajak tersebut, yakni (i) mempertahankan daya beli masyarakat, (ii) memberikan ruang cash flow perusahaan, (iii) sebagai kompensasi switching cost (biaya sehubungan perubahan negara asal impor dan negara tujuan ekspor), (iv) relaksasi administrasi pajak, serta (v) mendukung sektor kesehatan.
Anggaran yang disediakan untuk berbagai insentif tersebut sebanyak kurang lebih Rp130 triliun yang terdiri atas insentif pajak bagi kegiatan usaha sebesar Rp120.6 triliun serta insentif pajak untuk bidang kesehatan sebesar Rp9,05 triliun.
Lantas, apa yang bisa kita maknai dari relaksasi pajak di Indonesia?
Memaknai Peran Pajak
Peran pajak di era pandemi saat ini agaknya perlu kita maknai ulang secara mendalam. Ada beberapa hal penting yang dapat kita jadikan refleksi dan pelajaran berharga.
Pertama dan yang terpenting, adanya perubahan paradigma. Pemerintah bereaksi cepat melakukan pergeseran paradigma pajak, dari fungsi penerimaan (budgeter) menjadi fungsi mengatur (regulerend). Ada suatu kerelaan untuk mengorbankan penerimaan pajak dalam rangka menstabilkan kondisi ekonomi.
Pajak, dengan fungsi regulerend, hadir untuk bahu membahu bersama semua pihak dan masyarakat Indonesia menghadapi kondisi ekonomi yang tidak mudah akibat Covid-19. Sekali lagi, pajak kembali menegaskan jati dirinya sebagai urat nadi Indonesia.
Kedua, mengutip profesor hukum pajak dari Polandia Bogumil Brzezinski (2015) bahwa desain hukum pajak pada dasarnya harus tunduk terhadap apa yang menjadi sasaran ekonomi. Artinya, hukum pajak harus menyelaraskan dan mendukung kerangka kebijakan dan tujuan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, hal ini telah ditunjukkan melalui prinsip ‘relaksasi dahulu, mobilisasi kemudian’. Prinsip ini secara jelas terlihat dari perubahan postur fiskal maupun kebijakan pajak secara umum.
Ketiga, menurut Wakil Direktur Centre for Tax Policy and Administration OECD Grace Perez-Navarro seperti dikutip oleh Tax Notes, adanya pandemi justru harus dijadikan momentum dan waktu yang terbaik untuk strategi kebijakan fiskal baru, terutama pajak.
Menurutnya, belajar dari pengalaman masa lalu, banyak negara justru lebih mudah mengenalkan jenis pajak baru pada reformasi pajak. Ia memberikan beberapa opsi seperti ketentuan pajak atas modal serta capital gain. Di Indonesia, momentum ini juga ditunjukkan dengan adanya pengenaan pajak digital khususnya PPN atas impor produk digital.
Sebagai informasi, pandemi ini juga turut mendorong diskusi di berbagai negara mengenai tiga jenis pajak baru. Urgensi pemajakan sektor digital yang didorong oleh meningkatnya aktivitas ekonomi melalui elektronik, pengenaan pajak karbon untuk mengantisipasi perubahan iklim dan perbaikan lingkungan, serta optimalisasi penerimaan pajak dari kelompok high net worth individuals.
Keempat, pemberian insentif pajak di kala pandemi rentan terjadi penyalahgunaan dan tidak tepat sasaran. Pasalnya, penyusunan kebijakan umumnya dilakukan dalam waktu relatif singkat serta keterbatasan otoritas pajak dalam melakukan pengawasan di saat pandemi (OECD, 2020).
Oleh karena itu, prinsip good governance harus tetap diimplementasikan. Dalam konteks Indonesia, prinsip good governance menjadi salah satu rujukan desain insentif pajak untuk mengantisipasi dampak Covid-19. Ini dapat ditelusuri dari adanya tata cara pelaporan dan pengawasan insentif pajak.
Kelima, pemberian insentif pajak, walau berpotensi meningkatkan tax expenditure, bukan berarti tidak rasional. Adanya insentif pajak pada dasarnya mencegah adanya PHK, penutupan usaha, maupun meningkatnya sektor informal dalam perekonomian. Hal-hal tersebut dapat diartikan dengan hilangnya basis pajak pemerintah secara permanen.
Oleh karena itu, akan masih lebih baik jika di saat pandemi ini pemerintah kehilangan penerimaan secara temporer daripada harus kehilangan basis pajak yang akan berakibat bagi sulitnya pemulihan penerimaan pajak pascaresesi.
Keenam, dari studi komparasi yang dilakukan DDTC Fiscal Research (per Agustus 2020), langkah pemerintah sudah sejalan dengan tren global. Sebagai informasi, lebih dari 120 negara di dunia turut menggunakan instrumen pajak untuk mengantisipasi dampak Covid-19.
Dari data yang dikumpulkan melalui OECD, IMF, IBFD, dan sebagainya, terdapat 1.033 instrumen pajak baru secara global yang dirilis oleh berbagai pemerintah. Dari 122 negara yang diobservasi, tiap negara merilis setidaknya 8 instrumen pajak yang bersifat merelaksasi, entah melalui kebijakan ataupun administrasi (prosedur).
Mayoritas instrumen pajak bertujuan untuk menjaga likuiditas perusahaan (57%), termasuk dengan memberikan penangguhan kewajiban pembayaran dan pelaporan pajak. Dua tujuan dominan lainnya ialah dukungan bagi sektor kesehatan (11%) serta untuk menjaga arus kas dan daya beli rumah tangga (10%).
Ditinjau dari sisi jenis pajak yang dipergunakan sebagai sarana relaksasi, mayoritas menggunakan relaksasi prosedur. Di banyak negara, umumnya diberikan melalui penundaan kewajiban administrasi perpajakan yang diperpanjang antara 1 hingga 6 bulan setelah tenggat waktu. Selain itu, kebijakan di bidang PPh Badan seperti kompensasi kerugian serta pengurangan angsuran, PPh Orang Pribadi, dan PPN juga menjadi andalan berbagai negara. Berbagai relaksasi pajak tersebut agaknya terus berubah seiring dengan dinamika perkembangan ekonomi tiap negara.
Mencermati international practices tersebut, dapat disimpulkan bahwa langkah Indonesia selaras dengan tren global. Beberapa kebijakan justru relatif progresif semisal penurunan tarif PPh Badan, PPh final ditanggung pemerintah (DTP) untuk UMKM, serta pengenaan PPN digital. Satu hal yang pasti, sama dengan negara lain, perlambatan ekonomi serta pelebaran tax expenditure juga mengakibatkan terkontraksinya pertumbuhan penerimaan pajak 2020.
Estimasi dampak pandemi Covid-19 masih beragam, tetapi analisis awal menunjukkan dampak kontraksi PDB terhadap penerimaan pajak akan sangat signifikan (OECD Tax Policy Reform 2020). Hal ini juga diperkuat dengan pengalaman krisis sebelumnnya (2008) yang menunjukkan adanya penurunan tax ratio di saat krisis dan tidak langsung pulih bahkan di saat ekonomi mulai pulih.
Terakhir, pandemi harus dilihat sebagai momentum solidaritas pajak. Menurut Vanistendael (2020), dengan adanya pandemi yang memberikan tekanan bagi seluruh sendi perekonomian, diperlukan suatu pendalaman mengenai sejauh mana setiap pihak telah berkontribusi secara adil. Lebih lanjut lagi, Vanistendael juga menekankan adanya momentum untuk meninjau ulang ketimpangan sosial-ekonomi di tengah masyarakat melalui sistem pajak.
Selain itu, adanya pandemi telah mendorong adanya pertanyaan mendasar tentang pentingnya kegotong royongan (kontribusi) oleh warga negara. Adanya pandemi yang membuat setiap negara berupaya memberikan pelayanan dan barang publik yang ‘terbaik’ bagi warga harusnya juga menjadi sinyal upaya merestorasi kontrak fiskal antara negara dan masyarakat. Hubungan timbal balik yang saat ini telah ditunjukkan dari pengorbanan negara seyogyanya perlu dibalas oleh warga negara melalui kepatuhan membayar pajak.
Pada dasarnya, tanpa pajak yang kuat, mustahil negara ini dapat menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakatnya (Darussalam, 2020). Hal ini juga seperti dikutip dari Raja Prusia abad ke-18 Frederick the Great, yang menyatakan bahwa “tidak ada pemerintah yang dapat eksis tanpa pajak.”
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.