PERDAGANGAN konvensional merupakan kegiatan transaksi jual—beli dengan kondisi penjual dan pembeli bertemu secara fisik. Sahabuddin (2017) menyatakan seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi, transaksi jual—beli tidak hanya terbatas pada skema konvensional. Kini transaksi bisa dilakukan menggunakan media internet (online) atau yang lebih kenal dengan e-commerce.
E-commerce lahir atas tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang serba cepat, mudah, dan praktis. Dua bentuk perdagangan tersebut tentu memiliki beberapa perbedaan. Salah satunya terletak pada media yang digunakan. Jika transaksi konvensional menggunakan media kertas, transaksi e-commerce justru menggunakan dokumen digital.
Perbedaan lainnya yaitu proses terjadinya transaksi. Transaksi konvensional lebih banyak mempertemukan penjual dan pembeli di suatu tempat sehingga memiliki badan hukum yang jelas. Sementara, transaksi e-commerce tidak mempertemukan penjual dan pembeli semua dilakukan secara online di suatu situs web atau platform.
Banyaknya perbedaan ini menimbulkan ketidaksetaraan kewajiban perpajakan antara pedagang konvensional dengan pedagang e-commerce. Pemerintah sempat mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210/PMK.010/2018 tentang pemajakan terhadap pelaku e-commerce. Namun, beleid tersebut akhirnya dicabut.
Otoritas fiskal beralasan harus melakukan koordinasi dan sinkronisasi yang lebih komprehensif mengenai PMK tersebut. Koordinasi dengan kementerian/lembaga lain yang bersangkutan dilakukan untuk memastikan pengaturan pemajakan dalam transaksi e-commerce tepat pada sasaran, berkeadilan, dan efisien.
Munculnya transaksi e-commerce memunculkan kewajiban bagi pedagang sesuai dengan kriteria pajak penghasilan (PPh) dalam Peraturan Pemerintah No. 23/2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Selain itu, PPh pasal 23 dikenakan kepada penyedia platform.
Di sisi lain, Ditjen Pajak (DJP), Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), dan Ditjen Anggaran (DJA) mengadakan sebuah kerjasama yang dinamakan Joint Analysis Program untuk melakukan penelitian pemenuhan kewajiban wajib pajak (WP) orang pribadi dan WP badan. Joint Analysis Program jelas sebagai bentuk pengawasan dari otiritas terhadap para pelaku usaha e-commerce.
Pengawasan tersebut, salah satunya dilakukan dengan menggunakan data yang dimiliki oleh WP yaitu data pedagang dari platform e-Commerce. Data tersebut berupa bukti – bukti transaksi antara penjual dan pembeli serta data yang dimiliki pemerintah mengenai kewajiban perpajakan yang akan dikenakan. Ini merupakan pengumpulan suatu data yang dapat dilacak melalui NPWP.
Setelah melakukan pengumpulan data, data tersebut akan disimpan didalam sebuah file. Nantinya, data tersebut akan dianalisis sebelum dilanjutkan dengan pemeriksaan kepada WP. Penggabungan data tersebut dapat disebut dengan ‘Big Data’. Berikut ini adalah prosedur pelaksaan audit secara konvensional dan elektronik audit dengan menggunakan ‘Big Data’.
Jenis Audit | Audit Preparation | Audit Procedures and Step for Data Gathering | Audit Report |
Audit Konvensional |
Pengumpulan data dan dokumen perusahaan atau pedagang yang dianggap perlu oleh auditor. Dokumen yang diperlukan: (1) Catatan primer akun – akun (2) Ringkasan dan laporan rekonsiliasi |
Setelah data terkumpul auditor melakukan field work ditempat pedagang konvensional berjualan atau kantor perusahaan. Selanjutnya, dalam proses pemeriksaan, kewajiban WP adalah mengizinkan pihak auditor untuk melakukan pemeriksaan di kantor atau di tempat Pedagang konvensional berjualan. | Setelah pihak DJP melakukan proses audit maka diterbitka Surat Hasil Pemeriksaan. |
E-audit (sesuai gagasan) |
Formulir e-audit diisi ketika pedagang e-commerce akan mendaftarkan diri untuk berjualan di platform e-commerce. Data dari formulir e-audit berupa data pribadi WP, kegiatan usahanya, dan lokasi usaha. Setelah itu, ada pengumpulan ‘Big Data’ pedagang e-commerce yang sudah terdaftar di platform e-commerce. Ini didapat dari formulir e-audit. Kemudian, data tersebut diserahkan ke sistem informasi milik DJP. |
Dari ‘Big Data’ kemudian diolah di sistem informasi milik DJP yang sudah terhubung dengan jaringan satelit. Sistem informasi ini berasal dari ‘Big Data’. Selanjutnya, dilakukan desk evaluasi. Data mengenai transaksi WP dikaji terlebih dahulu sebelum auditor ke lokasi WP bertransaksi. Namun, jika diperlukan untuk melakukan audit secara langsung ke lokasi WP, hal itu dapat dilakukan. |
Auditor dengan cepat dapat melihat dan mengklarifikasi data ekonomi berupa surat berharga di perbankan, kepemilikan aset, tersebarnya utang—piutang, bahkan legalitas setiap perizinan yang dimiliki WP. E-audit akan menyambungkan seluruh data pemeriksaan WP yang dimasukkan oleh petugas langsung ke sistem informasi milik DJP. Dengan demikian, petugas hanya perlu membuat satu laporan saja untuk membuktikan kewajiban membayar kurang bayar atau lebih bayar. |
Setelah melalui ‘Big Data’, DJP mampu untuk mengakses data keuangan WP. Hal tersebut akan mempermudah proses pemeriksaan. Konsep e-audit pajak memanfaatkan server sebagai lokasi penyimpanan data WP maupun sebagai tempat persinggahan sementara. Jalur serat optik dan pemancaran sinyal data oleh satelit menjadi penghubung virtual audit ini.
Dengan adanya e-audit, akan ada kesetaraan antara pedagang konvensional dan pelaku usaha e-commerce. Selain itu, proses pemeriksaan perpajakan menjadi lebih cepat dan lancar. Kesetaraan yang dimaksud meliputi persamaan antara hak dan kewajiban yang dimiliki pedagang konvensional dan pelaku e-commerce.
Persamaan kewajiban dalam hal pelaksanaan 3M yaitu menghitung sendiri jumlah pajak terutangnya, menyetor atau membayar jumlah pajak terutang ke bank presepsi yang telah ditunjuk oleh DJP, dan melaporkan penghitungan dan pembayaran kepada DJP dalam bentuk surat pemberitahuan (SPT) tahunan atau SPT masa.
Sementara, hak yang dimiliki WP orang pribadi maupun WP badan yaitu kerahasiaan data. Selain itu, WP juga memiliki hak atas kelebihan pembayaran pajak. WP juga diperbolehkan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya. WP juga dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan atau pemungutan PPh. Saran ini dapat digunakan jika ada Joint Analysis Program antara DJP dan pemilik platform e-commerce.*
*Esai ini merupakan salah satu dari 12 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2019 bertajuk ‘Tax Challenges in the Digital Era: It's Time for Youth to Speak Up!’.