JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pemerintah terus berupaya untuk menyelesaikan berbagai kendala pada Coretax DJP. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Rabu (12/2/2025).
Sri Mulyani mengatakan coretax merupakan sistem yang kompleks sehingga masih membutuhkan banyak perbaikan. Dia pun memahami wajib pajak yang masih mengeluhkan kendala pada coretax system ini.
"Saya tahu sebagian dari Anda mengeluhkan soal coretax. Kami akan terus berbenah. Membangun sistem serumit coretax dengan lebih dari 8 miliar transaksi tidaklah mudah, tetapi ini bukan alasan," katanya dalam Mandiri Investment Forum 2025.
Sri Mulyani menuturkan pemerintah menerapkan coretax untuk memperbaiki sistem pajak Indonesia. Penguatan sistem tersebut diharapkan meningkatkan kualitas pelayanan Ditjen Pajak (DJP) kepada seluruh wajib pajak.
Dia menjelaskan penerapan coretax system akan membuat pelayanan pajak menjadi lebih terintegrasi sehingga tidak ada lagi duplikasi data. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan biaya wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya (cost of compliance).
"Kami terus berbenah sehingga Indonesia memiliki sistem pemungutan pajak yang tidak hanya terdigitalisasi, tetapi juga lebih andal dalam pencatatan dan memberikan kemudahan bagi wajib pajak untuk mematuhi ketentuan," ujarnya.
Selain meningkatkan pelayanan, lanjut Sri Mulyani, Presiden Prabowo Subianto juga berpesan untuk fokus mengatasi masalah kebocoran dan penghindaran pajak. Dengan upaya tersebut, penerimaan negara diharapkan lebih optimal.
Di internal Kemenkeu, upaya menutup kebocoran penerimaan antara lain dilaksanakan melalui joint program di antara DJP, Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), dan Ditjen Anggaran. Sejauh ini, kegiatan tersebut mampu mengerek penerimaan pajak, bea, cukai, dan PNBP.
Sebelumnya, Komisi XI DPR mengundang DJP untuk membahas berbagai kendala dalam penerapan coretax system. Dalam rapat tersebut disepakati DJP masih tetap memakai sistem yang lama (legacy) untuk mengantisipasi kendala dalam penerapan coretax.
Selain coretax system, ada pula ulasan mengenai rencana pemerintah untuk menerapkan omnibus law dalam memenuhi standar-standar OECD. Ada juga bahasan terkait dengan tarif efektif PPN atas penyerahan mobil bekas dan jasa freight forwarding berdasarkan PMK 11/2025.
Ketua Komisi XI Mukhamad Misbakhun mengatakan penerapan coretax system masih membutuhkan berbagai penyempurnaan. Pada prosesnya, dia meminta pemerintah tetap harus mengamankan target penerimaan pada tahun ini.
"Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menjamin bahwa sistem IT apapun yang digunakan tidak akan memengaruhi upaya kolektivitas penerimaan pajak di APBN tahun 2025," katanya.
Misbakhun menegaskan Komisi XI mendukung upaya pemerintah memperbaiki sistem perpajakan melalui penerapan coretax. Namun, lanjutnya, penerapan coretax system tersebut tidak boleh sampai mengganggu penerimaan negara. (DDTCNews/Kompas)
DJP mengeklaim muatan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 11/2025 sudah sejalan arahan Presiden Prabowo Subianto.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan dengan ditetapkannya PMK 11/2025, PPN sebesar 12% hanya diberlakukan atas barang mewah. Adapun barang kena pajak dan jasa kena pajak (BKP/JKP) nonmewah dikenai PPN dengan tarif efektif sebesar 11%.
"Hal ini sesuai dengan arahan presiden bahwa tarif PPN 12% yang berlaku mulai 1 Januari 2025 hanya dikenakan pada BKP yang tergolong mewah," ujarnya. (DDTCNews)
Pemerintah membuka peluang untuk merancang regulasi yang bersifat omnibus guna memuluskan proses aksesi Indonesia menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan omnibus law diperlukan untuk menyesuaikan regulasi yang berlaku di Indonesia dengan 239 standar yang ditetapkan oleh OECD. Tanpa omnibus law, proses aksesi bisa memakan waktu yang lama.
"Kami punya jurus yang kemarin sudah pernah dilakukan yaitu omnibus law. Jadi, ada 2 cara. Pertama, ratifikasi. Kedua, kami melakukan omnibus law terhadap hal-hal yang dirasa penting," katanya. (DDTCNews)
Tarif PPN besaran tertentu yang berlaku atas penyerahan kendaraan bermotor bekas tetap sebesar 1,1%, tidak naik menjadi sebesar 1,2%.
PPN besaran tertentu sebesar 1,1% tetap berlaku seiring dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 11/2025 yang turut merevisi PMK 65/2022 tentang PPN atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas.
"Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar ... 1,1% dari harga jual," bunyi Pasal 2 ayat (5) PMK 65/2022 yang diubah dengan PMK 11/2025. (DDTCNews)
Tarif efektif PPN atas jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) kini menjadi 1,1%. Hal ini lantaran formula besaran tertentu yang digunakan untuk menghitung PPN atas jasa freight forwarding turut diubah dalam PMK 11/2025.
Merujuk Pasal 3 huruf c PMK 71/2022 s.t.d.d PMK 11/2025, besaran tertentu atas jasa freight forwarding adalah 10% dikali 11/12 dari tarif PPN 12%. Dengan skema tersebut berarti tarif efektif PPN atas jasa freight forwarding menjadi 1,1% seperti saat tarif PPN masih 11%.
“... yaitu sebesar 10% dikali 11/12 dari tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN dikalikan dengan jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih,” bunyi Pasal 3 PMK 71/2022 s.t.d.d PMK 11/2025. (DDTCNews)
Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 9/2025, pemerintah memperpanjang pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) terhadap impor baja hot rolled plate (HRP) dari China, Singapura, dan Ukraina.
Perpanjangan pengenaan BMAD tersebut didasarkan pada hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan. Berdasarkan penelitian KADI, ditemukan masih adanya praktik dumping atas produk baja HRP dari China, Singapura, dan Ukraina.
"Alhasil, pengenaan bea masuk antidumping perlu dilakukan," bunyi kutipan salah satu pertimbangan PMK 9/2025. (DDTCNews)