Bambang Subianto,
BERITA mengenai faktur pajak fiktif seolah tidak ada habisnya. Wajib pajak membuat faktur pajak fiktif dengan cara memanipulasi angka transaksi jual beli. Manipulasi tersebut dilakukan agar muncul selisih pajak keluaran dan pajak masukan yang bisa diajukan restitusi dari negara.
Di samping itu, ada modus lain yang lebih serius, yaitu transaksi sama sekali tidak terjadi atau transaksi fiktif. Berbagai tindakan terkait dengan faktur pajak fiktif itu memunculkan adanya potensi kerugian negara.
Sejak 2015, Ditjen Pajak (DJP) telah memberlakukan e-faktur untuk meminimalisasi kasus faktur pajak fiktif tersebut. Manfaat lainnya adalah wajib pajak tidak perlu lagi menerbitkan faktur pajak secara manual.
Pada pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) juga tertera sertifikat elektronik yang terjamin keamanannya. Pengusaha kena pajak (PKP) juga harus memiliki nomor seri faktur pajak (NSFP) yang pengajuannya bisa melalui aplikasi e-nofa.
Aplikasi e-faktur sendiri terdiri atas 3 sistem operasi Ketiga sistem operasi tersebut antara lain e-faktur client desktop, e-faktur web based, serta e-faktur host-to-host (H2H). Ada juga penyedia jasa aplikasi perpajakan yang menawarkan e-faktur berbasis application programming interface (API).
Pertanyaannya, apakah sistem operasi tersebut sudah memadai dalam upaya penanganan faktur pajak fiktif?
SEBENARNYA, e-faktur diciptakan untuk membantu DJP dalam upaya pendeteksian faktur pajak fiktif secara cepat dan akurat. Namun, di sisi lain, jaringan penerbit faktur pajak fiktif ternyata terus beroperasi hingga kini.
Penerbit faktur pajak fiktif itu bekerja secara sindikat dan melibatkan banyak pihak yang memainkan peran masing-masing sehingga sulit untuk diungkap. Oleh karena itu, penguatan sistem e-faktur PPN perlu segera dilakukan.
Teknologi blockchain bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk penguatan sistem e-faktur. Blockhain memiliki kelebihan pada distributed ledger technology (DLT). Teknologi ini bisa menjadi solusi efektif atas permasalahan pada pajak elektronik (Niu dan Li, 2022).
Miao (2018) menegaskan pengadopsian blockchain secara jangka panjang dapat mengatasi kasus pajak fiktif. Hal ini dikarenakan otoritas pajak dapat memverifikasi dan melacak e-faktur secara komprehensif.
China telah membuktikannya. Shenzen Daily (2021) menyebut total 117 industri dan lebih dari 25ribu perusahaan multinasional di China telah menggunakan e-faktur Shenzen yang telah mengadopsi teknologi blockchain.
Administrasi pajak federal Brasil pun juga sudah menerapkannya. Di negara tersebut dikenal dengan istilah blockchain tax file number (bCPF). Namun, saat ini masih terbatas untuk G2G dalam rangka pertukaran data perpajakan.
Seperti apa mekanisme kerja blockchain dalam administrasi pemungutan PPN? Selain itu, bagaimana teknologi blokchain bisa meminimalkan pembuatan faktur pajak fiktif? Â
SISTEM sentralisasi pengolahan data memiliki kelemahan apabila diakses secara serentak. Server bisa down atau tidak merespons. Beberapa kasus eror dapat terjadi pada e-faktur, misalnya error ETAX 40001 terjadi karena sulit terhubung ke e-tax invoice server DJP. ETAX 20008 error terjadi pada saat validasi.
Wirawan dan Amomintarso (2021) menyampaikan pada blockchain, terdapat smart contract yang mempermudah proses validasi. Smart contract bisa menggantikan aplikasi pelaporan PPN saat ini, yaitu e-faktur dan e-nofa.
Tidak hanya itu, smart contract pada blockchain juga dapat meminimalisasi kemungkinan pemalsuan data atau pembuatan faktur pajak fiktif seperti yang telah dialami otoritas pajak China (Yayman, 2020; Kinanti dkk 2022).
Blockchain juga memenuhi syarat transparansi dan keamanan data (Cho dkk, 2021). Pembeli akhir bisa melihat histori transaksi atas PPN yang telah mereka bayarkan. Pembeli akhir juga memiliki dua kunci sekaligus.
Adapun kedua kunci itu adalah kunci publik (puclic key) untuk membuat faktur keluaran dan kunci privat (private key) untuk membubuhkan tanda tangan digital ke faktur keluaran tadi. Selanjutnya, transaksi ini langsung ditambahkan ke blok dalam jaringan blockchain.
PKP tidak bisa melakukan manipulasi data transaksi. Hal ini dikarenakan data yang dicatat pada blok telah terkunci dengan fungsi hash pada jaringan blockchain. Skema ini mempersempit ruang gerak PKP yang berniat membuat faktur pajak fiktif.
Sebagai regulator, DJP juga bisa mengendalikan ‘smart contract’ untuk mengecek histori transaksi, memvalidasi, dan mengawasi transaksi PPN secara menyeluruh.
Dalam hal ini, DJP memegang peranan strategis untuk mengatur accessibility, permissions, dan administrator dari serangkaian proses bisnis dalam e-faktur PPN. Semua bekerja dalam jaringan node yang saling terhubung dan saling mem-back up bila ada eror pada sebuah node.
Namun, blockchain adalah teknologi baru dan rumit dalam hal adopsi dan pengembangan (Kim dan Rho, 2022). Implementasi blockchain memerlukan tata kelola yang kuat karena karakteristiknya berupa consensus protocol dan immutability of the records (Kinanti dkk, 2022).
Pengadopsian teknologi blockchain untuk sistem pajak di Indonesia harus memperhatikan tiga aspek, yaitu technology, organization, and environment (TOE).
Pada intinya, pemerintah harus memahami teknologi blockhain secara mendalam, menyiapkan model bisnis organisasi yang adaptif dan agile, menyiapkan aturan yang memadai, memperhatikan kondisi pasar dan industri, serta menyiapkan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM).
Penguatan sistem e-faktur PPN menjadi penting dan mendesak. Bukan hanya karena maraknya pembuatan faktur pajak fiktif, melainkan juga karena kontribusi PPN yang terus naik terhadap penerimaan negara.
Mooij dan Sistak (2022) menyebutkan kontribusi VAT/PPN di dunia terus mengalami kenaikan. International Monetary Fund (IMF) bahkan menyampaikan kontribusi VAT/PPN di 160 negara rata-rata mencapai 30% terhadap total pendapatan negaranya (2022).
Akhirnya, penguatan sistem e-faktur PPN dengan teknologi blockchain sangat patut untuk dipertimbangkan. Bila berhasil, tidak menutup kemungkinan teknologi blockhain juga bisa dijadikan alternatif untuk penguatan coretax system. Isu ini layak menjadi perhatian calon presiden dan calon wakil presiden selanjutnya.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.