ACHMAD HAFISZ TOHIR:

'Pemerintah Tidak Siap Merevisi UU KUP'

Redaksi DDTCNews | Rabu, 07 Desember 2016 | 15:15 WIB
'Pemerintah Tidak Siap Merevisi UU KUP'

Wakil Ketua Komisi XI DPR Achmad Hafizs Tohir (Fraksi PAN). (Foto: DPR)

JAKARTA, DDTCNews – Rencana pemerintah merevisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) seolah kian jauh dari titik kepastian. Sampai sekarang masih tidak jelas, kapan pemerintah akan menyelesaikan review ulang terhadap draf RUU tersebut dan melanjutkan pembahasannya di DPR.

Dengan sikap pemerintah seperti itu, DPR pun akhirnya tidak memasukkan RUU KUP ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2017, seperti yang dilakukan pada 2015-2016. Untuk mengetahui lebih jauh persoalan ini, baru-baru ini DDTCNews mewawancarai Wakil Ketua Komisi XI DPR Achmad Hafisz Tohir (Fraksi PAN). Petikannya:

Bagaimana situasi terakhir proses legislasi RUU KUP?

Draf RUU KUP kan ditunda pembahasannya sampai pemerintah selesai melakukan kajian ulang. Kami ya dalam posisi menunggu, karena memang RUU KUP ini inisiatif pemerintah. Tapi penarikan RUU itu memang tandanya pemerintah ini tidak siap merevisi UU KUP. Ya makanya, pemerintah harus siap dulu.

Menurut  Anda, apa permasalahan terbesar perpajakan di Indonesia?

Penerimaan perpajakan Indonesia, itu masalah terbesarnya. Basis pajak kita masih sangat sedikit. Data juga lemah. Hal ini diindikasikan jumlah pembayar pajak yang masih sangat sedikit. Jumlah wajib pajak (WP) orang pribadi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) baru sekitar 19,9 juta.

Jumlah ini masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 61 juta rumah tangga, sesuai dengan data sensus BPS 2010. Begitu pula untuk WP Badan, tercatat hanya 1,9 juta NPWP Badan dari sekitar 23 juta badan usaha yang ada di Indonesia.

Bahkan, WP yang aktif menjadi pembayar pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPt) pun hanya sekitar separuh dari pemilik NPWP. Maka tidak heran, tax ratio kita mentok 12%, lebih rendah dari negara tetangga seperti Malaysia yang 16,1%, Thailand 16,5%, atau Singapura 14,5%.

Apabila dilihat dari sisi kinerja pemungutan pajak, dari sisi pencapaiannya terhadap target APBN, maka akan segera terlihat bahwa dalam 10 tahun terakhir target penerimaan pajak hanya tercapai pada 2008, selebihnya gagal. Apalagi 3 tahun terakhir ini yang memang targetnya ketinggian.

Itulah sebabnya, beban utang kita juga semakin bertambah, karena penambahan belanja negara pada saat yang sama tidak diiringi oleh kenaikan penerimaan. Tax ratio kita hanya 12%, sementara rasio belanja terhadap PDB di antara 16,2%-19,9%, selisihnya itu kan ditanggung antara lain oleh utang.

Apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini?

Pemerintah harus segera menuntaskan agenda untuk memperbesar basis pajak. Datanya harus diperbaiki. Upaya ini harus dilakukan secara sistematis dan efektif. Ini sebetulnya agenda lama, namun masih memerlukan kerja keras untuk mengeskalasi daya ungkitnya, karena memang tidak bisa seketika.

Wacana perubahan Ditjen Pajak (DJP) menjadi lembaga tersendiri di luar Kementerian Keuangan atau dalam format yang lain dalam bentuk lembaga otonom melalui RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), sebetulnya menemukan konteks justifikasinya dalam kerangka ini.

Namun, apabila opsi ini dipilih maka masyarakat harus dijelaskan secara lebih detail mengenai rencana kelembagaan termasuk target, strategi, dan tahapan perluasan basis pajaknya. Dari detail penjelasan ini baru kita bisa mengerti apa yang sebetulnya hendak disasar, apa targetnya dan seterusnya. 

Kita akan melihat misalnya, bagaimana nanti urusan-urusan DJP yang bersifat ke dalam seperti bentuk dan kewenangan kelembagaannya, transformasi perubahan kelembagan yang dirancang, termasuk regulasi perpajakannya, baik dari tingkat undang-undang sampai dengan peraturan.

Apabila wacana ini secara gegabah digulirkan, bukan tidak mungkin risiko yang dihadapi akan lebih besar, bahkan mungkin malah menjauhkan dari pencapaian perluasan basis pajak yang menjadi target utamanya. Jadi harus hati-hati. Niat yang baik juga harus bisa diukur dan dijelaskan.

Tapi saya kira, sebaiknya DJP memang menjadi lembaga semi-otonom, setelah DJP melakukan restrukturisasi organisasi dan memastikan aparat DJP sudah bekerja sesuai dengan etika. Karena dengan demikian, DJP dapat merekruit tenaga lebih banyak dengan kewenangan yang lebih kuat.

Draf RUU KUP juga memperkuat kewenangan fiskus. Ini juga dalam konteks memperkuat basis itu?

Perubahan UU KUP pasti tujuannya ke arah pencapaian target penerimaan dan juga kepastian hukum kepada WP. Jadi memang arahnya juga pada penguatan basis pajak. Kalau tidak salah, ada 6 pokok perubahan di RUU KUP yang di antaranya memberikan kewenangan yang lebih kuat kepada DJP.

Dalam konteks ini saya kira, memperkuat kewenangan fiskus dan DJP secara umum itu harus dan wajib, kalau tidak DJP tidak akan dapat memiliki kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghimpun penerimaan negara. Di sisi lain, keandalan sumber daya manusia di DJP juga harus lebih ditingkatkan.

Akan tetapi, masalah integritas dasn profesionalitas juga harus tetap dijaga. Apalagi dengan adanya kasus tangkap tangan pegawai DJP beberapa waktu lalu. Ini perlu menjadi perhatian bersama. Harus disiapkan terlebih dahulu, agar penguatan kewenangan yang nanti diberikan tidak kontraproduktif.

Draf RUU KUP mengembalikan aturan keberatan dan banding ke UU KUP lama. Komentar Anda?

Aturan keberatan dan banding yang sekarang di satu sisi memang memberikan asas keadilan kepada wajib pajak. Jadi wajib pajak cukup membayar yang disetujuinya saja jika mau mengajukan keberatan dan banding. Tetapi kalau keberatan atau bandingnya tidak diterima, dia kena denda.

Namun, di sisi lain aturan ini diduga digunakan juga oleh WP dan fiskus untuk melakukan ‘under-table agreement’. Ini yang perlu dievaluasi. Jika kembali ke aturan lama, itu kan prosesnya lebih sederhana. WP membayar, uangnya masuk ke kas negara. Saya sendiri lebih setuju kembali ke aturan lama. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 27 Maret 2024 | 10:37 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Bertemu S&P, Sri Mulyani Sebut Konsolidasi Fiskal RI Cepat dan Kuat

Selasa, 26 Maret 2024 | 12:15 WIB KINERJA FISKAL

Pasar Keuangan Tak Stabil, Penarikan Utang APBN Masih Minim

Senin, 25 Maret 2024 | 16:00 WIB PENERIMAAN PAJAK

Turun 27 Persen, Setoran Pajak dari Sektor Tambang Hanya Rp 19 Triliun

Senin, 25 Maret 2024 | 14:00 WIB PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak dari PPN Dalam Negeri Turun 26 Persen, Ada Apa?

BERITA PILIHAN