PROF. JEFFREY OWENS:

'Pemajakan Era Digital Butuh Reaksi Cepat'

Awwaliatul Mukarromah
Rabu, 16 Agustus 2017 | 09.01 WIB
'Pemajakan Era Digital Butuh Reaksi Cepat'

Dua profesional DDTC Niken dan Tami bersama Prof. Jeffrey Owens saat berlangsung Simposium di Singapura. (Foto: DDTCNews)

SINGAPURA, DDTCNews – Pada tanggal 15-16 Agustus 2017, New Economy Taxation (NET) dan Global Tax Policy Center of the WU (Vienna University of Economics and Business) menyelenggarakan Digital Economy Symposium 2017 dengan mengambil judul  “Reimagining Taxation in The Age of Disruption”. Bertempat di Singapore Marriot Tang Plaza Hotel.

Simposium ini mengundang beberapa pihak baik dari Akademisi seperti Prof. Jeffrey Owens (Vienna University of Economics and Business) dan Jan de Goede (IBFD), pihak Pembuat Kebijakan diantaranya Michael Lennard (United Nations) dan Prof. John Hutagaol (Direktorat Jendral Pajak Indonesia), serta pelaku bisnis dari beberapa perusahaan ternama seperti IBM, Huawei, dan DBS, untuk berdiskusi mengenai peluang dan tantangan transformasi teknologi dalam ranah perpajakan. Simposium ini dihadiri oleh lebih dari 120 peserta yang berasal dari berbagai negara, termasuk 3 professional DDTC.

Di hari pertama, acara terbagi ke dalam 3 sesi. Sesi pertama diisi dengan penjelasan mengenai digitalisasi dan model bisnis di Asia. Selanjutnya mengenai tantangan terhadap norma pajak internasional, dan pada sesi ketiga membahas mengenai respon terhadap tantangan dunia digital baik dari sisi administrasi pajak dan dari sisi pelaku bisnis. Pada hari kedua dibahas mengenai implikasi pajak atas aktivitas ekonomi digital terkait masalah transfer pricing, indirect tax pada jasa digital dan penggunaan teknologi dalam administrasi pajak. 

Dalam sambutannya, Prof. Jeffrey Owens yang merupakan Director of the Global Tax Policy Center of the WU, menyatakan bahwa dunia bisnis sedang mengalami perubahan yang begitu cepat, namun sayangnya otoritas pajak belum dapat mengimbangi perubahan cara berbisnis tersebut. Pelaku bisnis tidak lagi membutuhkan keberadaan fisik di suatu negara untuk menjalankan aktivitas bisnis di negara tersebut. Otoritas pajak menganggap bahwa perkembangan teknologi dapat memberikan ancaman dalam hal penggerusan basis pajak, padahal perkembangan teknologi juga dapat menciptakan peluang baru.

Sehubungan dengan peluang dan tantangan yang dihadapi oleh pelaku bisnis dan otoritas pajak, Kami berkesempatan untuk melakukan wawancara ekslusif dengan Prof. Jeffrey Owens terkait pandangannya mengenai aktivitas ekonomi digital, khususnya pada negara berkembang. Berikut petikannya:

Anda merupakan salah satu aktor yang menginisiasi adanya BEPS Action Plan, namun Anda menyatakan bahwa BEPS juga menimbulkan banyak sengketa. Apabila Anda masih aktif di OECD apa yang akan Anda ubah pada BEPS Action Plan?

Menurut saya, apabila Anda merupakan pemimpin dari negara-negara G-20, Anda harus bekerja dengan cepat. Waktu dua tahun merupakan tantangan yang amat berat. Negara-negara OECD mampu mengatasi tantangan tersebut dan berhasil untuk mengeluarkan peraturan-peraturan. Namun, masalah yang tidak terelakkan ada pada implementasi peraturan tersebut.

Dengan demikian, apabila Anda ingin berfokus pada masalah yang terletak pada implementasi daripada isu bagaimana seharusnya peraturan disusun, hal ini merupakan hal yang sangat sulit. Masing-masing negara ini mulai pada titik-titik yang berbeda. Beberapa negara juga memiliki cara bermainnya sendiri dengan fokus yang berbeda-beda. Khususnya untuk negara-negara berkembang, saya pikir mereka harus memperhatikan bagaimana mereka mendapatkan akses informasi untuk keperluan country by country reporting dan bagaimana mereka menggunakan informasi tersebut. Memiliki data yang diperlukan hanyalah langkah awal. Bagaimana pemerintah  menggunakan data tersebut merupakan hal yang lebih penting untuk menjadi fokus. jadi, menurut saya masalah ada pada implementasi BEPS Action Plan.

Anda menyatakan bahwa PPN merupakan masa depan, apakah Anda dapat lebih menjelaskan pernyataan tersebut?

Baik, apabila Anda melihat sumber terbesar pendapatan negara-negara OECD, maka negara-negara dengan PPN sebagai sumber pendapatan terbesar hanya mencakup 20% sedangkan 80% lainnya bergantung pada PPh Badan sebagai sumber pendapatan terbesar. Untuk negara-negara non OECD, persentase PPh Badan sebagai sumber pendapatan terbesar tersebut lebih tinggi lagi. Negara-negara berkembang memiliki ketergantungan yang lebih tinggi terhadap PPh Badan.

Menurut saya, negara-negara tersebut membutuhkan proporsi pendapatan dari PPN dan PPh Badan yang lebih seimbang. Saya mengetahui bahwa terdapat kekhawatiran bahwa PPN bersifat regresif. Namun hal-hal tersebut dapat diatasi. Di sisi lain, PPh Badan sangat sulit untuk diprediksi karena PPh Badan berfluktuasi seiring fluktuasi ekonomi. Apabila ekonomi sedang baik maka penerimaan PPh akan membaik namun apabila ekonomi sedang buruk maka penerimaan PPh akan memburuk. Selain itu, Anda harus bertanya kepada diri Anda sendiri apabila negara Anda memiliki ketergantungan yang tinggi pada PPh Badan, efek apa yang akan ditimbulkan ketergantungan tersebut terhadap foreign direct investment.

Apa peluang dan tantangan bagi negara-negara berkembang dalam era digital ini?

Saya pikir teknologi-teknologi baru yang muncul, khususnya Blockchain, akan memberikan peluang-peluang baru yang seharusnya disambut dengan baik. Blockchain dapat membantu negara-negara dalam mengatasi masalah korupsi karena Blockchain dapat meningkatkan kepercayaan dan transparansi. Kurangnya kepercayaan juga merupakan masalah utama bagi negara berkembang. Kita berada di suatu periode di mana Amerika Serikat yang keluar dari Transpacific Partnership dan US-EU  Partnership, sentimen anti-globalisasi yang meningkat di sana, dan tingginya reaksi negatif terhadap perusahaan multinasional. Padahal perusahaan-perusahaan multinasional tersebut menciptakan teknologi-teknologi baru, menghasilkan keuntungan dan juga menciptakan lapangan kerja. Kurangnya kepercayaan ini menimbulkan banyak ketidakpasatian. 

Selanjutnya, dengan adanya transparansi yang lebih tinggi, korupsi akan lebih sulit untuk dilakukan sehingga teknologi ini merupakan peluang yang amat besar bagi otoritas pajak dan pembuat kebijakan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun demikian, perubahan membutuhkan waktu yang lama karena perubahan tersebut harus dilakukan dari level paling tinggi hingga paling bawah. Perubahan ini akan membutuhkan waktu hingga satu generasi. 

Menurut Anda, sistem seperti apa yang dibutuhkan negara berkembang untuk menghadapi era ekonomi digital ini? 

Isu terbesar ada pada dua hal, yaitu kebijakan pajak dan administrasi pajak. Untuk sisi kebijakan pajak, Anda harus memikirkan apa peluang yang dapat diambil dari adanya teknologi-teknologi baru ini. Peluang tersebut dapat berupa basis pajak baru, data baru untuk database, cara baru untuk mengenakan pajak lingkungan, dan definisi beneficial owner baru. Untuk sisi administrasi pajak, teknologi dapat merubah sistem PPN, transfer pricing, PBB, dan mungkin pajak atas penghasilan karyawan. Namun yang perlu diperhatikan adalah hal-hal ini membutuhkan waktu dan investasi yang cukup besar. Kami pun sadar bahwa waktu yang panjang dibutuhkan untuk mengimplementasikan teknologi Blockchain secara luas.

Menurut Anda, apa tantangan terbesar yang akan datang?

Menurut saya, tantangan terbesar adalah bagaimana pemerintah dan bisnis bekerja sama lebih erat. Selain itu, bagaimana kerangka pajak dapat mendukung digitalisasi karena digitalisasi ini yang akan mendorong pertumbuhan untuk kedepannya. Kita juga harus dapat menghubungkan antara pajak dengan area lain dalam pemerintahan. Contohnya yaitu pada cara penanganan korupsi, kolusi, dan pencucian uang. Di luar dari langkah Amerika Serikat yang keluar dari Paris Agreement, pajak juga harus menjadi pertimbangan dalam perdebatan isu lingkungan.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.