Pradana Chandra Kusuma,
PANDEMI Covid-19 memaksa berbagai negara di belahan dunia berpikir dua kali dalam membuat suatu kebijakan. Upaya untuk mengatasi pandemi sering kali berdampak buruk pada perekonomian jangka pendek. Kebijakan pemungutan pajak juga diupayakan tidak memperburuk perekonomian.
Pada masa pandemi ini, negara-negara G-7 dan G-20 menyepakati kebijakan pajak minimum global bagi perusahaan multinasional dengan tarif 15%. Lebih dari 130 negara telah anggota OECD/G-20 Inclusive Framework on BEPS juga telah menyetujui cetak biru (blueprint) proposal Pilar 1 dan Pilar 2.
Pengenaan tarif pajak minimum global ini disambut baik Indonesia meskipun sedikit bertentangan dengan kebijakan insentif untuk menarik investasi. Dengan adanya skema multilateral tersebut, sistem perpajakan digital di Indonesia diharapkan memperoleh alternatif jawaban.
Penerapan global minimum tax yang akan dituangkan dalam konsensus internasional memberikan payung hukum dan kejelasan bagi negara-negara di dunia dalam membuat kebijakan pemungutan pajak terhadap perusahaan multinasional.
Kebijakan tersebut juga diyakini akan mengurangi perang tarif (race to the bottom). Ruang gerak perusahaan multinasional untuk mengalihkan labanya (profit shifting) dipersempit. Hal ini memunculkan keuntungan bagi Indonesia karena tarif minimum sudah dipatok.
Pengalihan labaΒ yang selama ini terjadi di Indonesia dapat diminimalisasi, bahkan bisa diberantas bersamaan dengan peraturan teknis yang dibuat Direktorat Jenderal Pajak.
Berdasarkan pada laporan Tax Justice Network, pada 2020, Indonesia menghadapi kerugian senilai US$4,86 miliar per tahun atau setara dengan Rp68,7 triliun akibat penghindaran pajak. Hal tersebut tentu menjadi perhatian pemerintah.
Dengan partisipasi Indonesia dalam konsensus internasional, optimism dalam menarik investor asing akan naik. Alhasil, basis pemajakan negara akan makin luas sehingga besar kemungkinan untuk mendapatkan penerimaan pajak, terutama pada masa pandemi Covid-19.
Meskipun tarif pajak bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia lebih besar dibandingkan tarif global minimum tax, ada peluang perluasan basis pemajakan. Dari sinilah pemerintah dapat menggali potensi yang belum ada sebagai bagian dari kegiatan ekstensifikasi.
Dampak profit shifting makin berkurang sehingga pemerintah dapat menjalankan refocusing terhadap pelaku usaha dalam negeri. Pemerintah dapat memberi stimulus fiskal bagi pelaku usaha dalam negeri. Terlebih, ada potensi perluasan basis pemajakan yang menambah pendanaan APBN.
Celah
BANYAKNYA kelebihan dari kesepakatan global minimum tax Β bisa jadi dapat membuat suatu negara terlena jika hanya mengandalkan skema kebijakan ini. Masih ada aspek yang perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan.
Meskipun tarif pajak minimum global telah ditentukan, tidak berarti 100% negara suaka pajak akan hilang. Bisa kita ilustrasikan, sebuah perusahaan multinasional diberikan dua pilihan. Negara A menggunakan tarif sebesar 15% sesuai tarif pajak minimum global dan Negara B menerapkan tarif 23%.
Dengan kondisi tersebut, perusahaan akan menghitung dengan jeli mengenai posisi yang lebih menguntungkan. Apakah tetap di tempatnya berbisnis (negara B) yang menerapkan tarif 23% atau mengalirkan dananya ke negara A?
Kembali lagi, dampak dari kebijakan pajak minimum global akan tergantung pada tiap negara dalam membuat kebijakan teknis domestik. Namun, bagaimanapun juga, kebijakan global minimum tax memerlukan partisipasi dari semua negara agar tujuan dibentuknya kebijakan ini bisa tercapai.
Global minimum tax benar-benar akan menjadi perubahan dramatis dalam model bisnis. Tidak hanya berpengaruh bagi surga pajak, tetapi juga yurisdiksi lain. Hal ini tidak akan menjadi akhir yang mutlak.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalamΒ lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaanΒ HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 jutaΒ di sini.