JAKARTA, DDTCNews – Di luar dugaan, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Dengan putusan itu, MK kembali membatalkan usaha privatisasi listrik yang dijalankan pemerintah.
Keputusan MK tersebut diumumkan Rabu, (14/12). “Menyatakan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945,” demikian bunyi salinan putusan MK sebagaimana dikutip DDTCNews dari laman MK, Kamis (15/12).
Pasal 10 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2009 yang dibatalkan itu selengkapnya berbunyi: “Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.”
Pasal 11 (1) berbunyi: “Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.”
Adapun, Pasal 10 ayat (1) yang diacu dalam kedua pasal tersebut berbunyi: “(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a meliputi jenis usaha a) pembangkitan tenaga listrik; b) transmisi tenaga listrik; c) distribusi tenaga listrik; dan/ atau d) penjualan tenaga listrik.”
Uji materi UU Kelistrikan itu sendiri diajukan oleh Adri, pegawai PLN Area Padang yang juga Ketua Serikat Pekerja PLN, dan Eko Sumantri, pegawai PLN Sektor Pembangkitan Keramasan. Keduanya menyampaikan berkas judicial review itu ke MK pada 26 Agustus 2015.
Pemohon menggugat UU Ketenagalistrikan ini karena menilai listrik sebagai kebutuhan hajat hidup masyarakat harus dikuasai oleh negara, tak boleh diswastanisasi. Pasal yang digugat adalah Pasal 10 ayat 2, Pasal 11 ayat 1, Pasal 16 ayat 1, Pasal 33 ayat 1, Pasal 34 ayat 5, Pasal 56 ayat 2.
Menariknya, MK sebelumnya telah membatalkan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan karena dianggap membatasi negara dalam penguasaan listrik yang sekaligus membuka penguasan listrik ke swasta. Putusan ini juga mengukuhkan PLN sebagai pemegang monopoli usaha kelistrikan.
Setelah dibatalkan, pemerintah kemudian menerbitkan UU No. 30 Tahun 2009, yang oleh para penggugat, dianggap masih membawa semangat yang sama dengan UU No. 20 Tahun 2002 yang sudah dibatalkan, yaitu privatisasi usaha listrik.
Sebab dengan UU itu, PLN melakukan unbundling vertikal (pemisahan proses bisnis sesuai region) menuju unbundling horizontal (pemisahan proses bisnis per operasi) yang menyerahkan operasi distribusi dan transmisi PLN ke PT Haleyora Power, dan pekerjaan administrasi ke PT Icon.
Pemohon menduga, hal tersebut akan berdampak pada meningkatnya tarif tenaga listrik dan perubahan status perusahaan. Baik unbundling vertikal maupun unbundling horizontal membuat pemilik modal (pembeli PLN sesuai regionnya) mengintervensi SDM PLN dan melakukan PHK massal.
Oleh karena itu, Pemohon menyampaikan pada MK, bahwa UU No. 30 Tahun 2009 mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh korporasi swasta nasional, multinasional dan perorangan. Bahkan, mengakibatkan negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik. (Amu/Gfa)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.