LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Menimbang Signifikansi Belanja Perpajakan

Redaksi DDTCNews | Kamis, 02 Januari 2020 | 19:30 WIB
Menimbang Signifikansi Belanja Perpajakan
Suhut Tumpal Sinaga, Jakarta Selatan

UNTUK kali kedua, Indonesia mencantumkan ringkasan Laporan Belanja Perpajakan di dalam Nota Keuangan RAPBN tahun 2020. Ringkasan tersebut disarikan dari Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) tahun 2018 yang disusun Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.

Menteri Keuangan pernah mengatakan laporan belanja perpajakan sangat penting sebagai bagian dari akuntabilitas publik. Laporan ini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan transparansi fiskal, sesuai dengan standar internasional yang tercantum pada IMF’s Fiscal Transparancy Code.

Laporan belanja perpajakan berusaha menghitung berapa penerimaan pajak yang hilang (potensial loss) karena digunakan untuk berbagai jenis insentif pajak. Ini bukan pekerjaan mudah, mengingat berbagai kendala yang dihadapi seperti ketersediaan data dan metode perhitungan yang rumit.

Karena itu, laporan ini merupakan perkiraan terbaik mengingat berbagai kendala tersebut. Akurasi perhitungan yang didapat pun bervariasi, mulai dari rendah, menengah, dan tinggi. Menurut laporan ini, estimasi belanja perpajakan Indonesia tahun 2018 adalah Rp221,1 triliun atau 1,5% dari PDB.

Hal ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 sebesar Rp196,8 triliun. Jika dibandingkan dengan total penerimaan pajak, maka belanja perpajakan ini mencapai sekitar 14,56% pada tahun 2018 dan 14,65% pada tahun 2017.

Insentif perpajakan ini perlu diberikan sebagai bagian dari kebijakan fiskal pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau untuk tujuan yang lainnya. BKF misalnya membagi tujuan belanja perpajakan menjadi 4 (empat) kategori utama.

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan yang mendapat belanja perpajakan paling besar. Tiga tujuan yang lain adalah untuk mengembangkan UMKM, meningkatkan iklim investasi, dan mendukung dunia bisnis.

Belanja perpajakan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat ini diberikan dalam bentuk, antara lain, tidak dikenakan PPN untuk barang kebutuhan pokok, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keagamaan, jasa pendidikan, dan jasa angkutan umum.

Mengurangi Efisiensi Ekonomi
BKF mendefinisikan tax expenditure sebagai ‘penerimaan perpajakan yang hilang atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan yang umum yang diberlakukan kepada hanya sebagian subjek dan objek pajak dengan persyaratan tertentu’.

Sesungguhnya setiap perlakuan yang berbeda dari benchmark tax system bersifat distortif sehingga akan menurunkan efisiensi. Artinya bahwa secara keseluruhan, kesejahteraan masyarakat akan menjadi lebih rendah.

Karena itu, menurut teori ekonomi, hanya ada dua kondisi yang dapat dijadikan alasan pemberian perlakuan yang berbeda ini, yaitu jika terdapat efek eksternal yang positif atau jika dimaksudkan untuk redistribusi pendapatan.

Misalnya empat tujuan belanja perpajakan menurut BKF di atas dapat kita klasifikasikan ke dalam dua tujuan menurut ilmu ekonomi ini. Mengembangkan UMKM misalnya merupakan contoh dari tujuan redistribusi pendapatan.

Karena itu, UMKM sebagai kelompok masyarakat dengan penghasilan rendah mendapat insentif pajak. Sedangkan tiga tujuan lain, jika tidak bertujuan untuk redisitribusi pendapatan, maka harus lah mempunyai efek eksternal yang positif.

PPN tidak dikenakan kepada jasa kesehatan medis dan jasa pendidikan misalnya. Dalam literatur ekonomi, kedua jenis jasa ini sering dijadikan contoh dari konsumsi yang mempunyai efek eksternal yang positif.

Manfaat dari konsumsi jasa kesehatan medis dan jasa pendidikan tidak hanya dirasakan oleh konsumennya saja. Tetapi juga dirasakan orang lain yang berinteraksi dengannya, seperti saudara, tetangga, atau rekan kerjanya.

Karena itu, tanpa intervensi pemerintah, konsumsi kedua jenis jasa ini belum optimal secara sosial. Pemerintah perlu memberikan insentif pajak supaya jumlah konsumsi nya bisa meningkat hingga mencapai titik yang optimal bagi sosial.

Namun harus diingat, bahwa kesejahteraan masyarakat akibat pemberian insentif pajak ini biasanya berbentuk kurva parabola terbalik. Setelah melewati titik optimal, kurvanya akan kembali menurun. Artinya bahwa pemberian insentif pajak tidak boleh berlebihan.

Inilah yang menjadi perhatian Stanley Surrey, profesor hukum pajak University of California at Berkeley, ketika pertama kali mengenalkan konsep tax expenditure pada tahun 1967. Pemberian insentif sendiri sudah bersifat distortif, apalagi kalau sampai berlebihan hingga melewati titik optimal.

Karena itu, Surrey menyarankan agar setiap pemberian insentif pajak, harus dibandingkan dengan biaya anggaran negara seandainya untuk mencapai tujuan yang sama, pemerintah memilih mencapainya dengan program pengeluaran langsung.

Butuh Kehati-hatian
TAX expenditure hanyalah bentuk lain dari belanja pemerintah. Bedanya adalah bahwa belanja pemerintah diambil dari penerimaan pajak yang sudah masuk anggaran negara, sedangkan tax expenditure sudah dibelanjakan sebelum penerimaan pajak masuk ke anggaran negara.

Inilah yang menjadi dasar berpikir kenapa Surrey menggunakan istilah tax expenditure (belanja perpajakan), karena sejatinya berbagai bentuk insentif pajak adalah bentuk lain dari belanja pemerintah.

Jika pemerintah bisa mencapai tujuan yang diinginkan dengan belanja sebesar satu miliar rupiah misalnya, maka menjadi tidak masuk akal memberikan insentif pajak senilai lebih dari satu miliar rupiah untuk mencapai tujuan yang sama.

Stanley Surrey percaya bahwa setiap pemberian tax expenditure harus diperlakukan sama dengan anggaran belanja negara. Setiap mata anggaran di APBN pasti mendapat penelitian, pengawasan, dan evaluasi dari legislatif untuk memastikan efektifitas, efisiensi, dan kemanfaatannya.

Biasanya suatu batas atas diberikan untuk menjaga agar belanja pada mata anggaran tidak berlebihan. Selain itu, pelaksanaan dari anggaran belanja pemerintah akan mendapat pemeriksaan dari auditor internal dan auditor negara.

Apabila evaluasi menunjukkan tujuan yang diinginkan ternyata tidak tercapai, atau manfaat yang diperoleh tidak lebih besar dari biayanya, belanja dapat dikurangi atau dihapuskan. Mengingat tax expenditure hakikatnya sama dengan belanja, idealnya mereka pun mendapat perlakuan yang sama.

Kementerian Keuangan sudah berkomitmen menerbitkan laporan belanja perpajakan setiap tahun. Diharapkan kualitasnya makin baik, mulai dari ketersediaan data, metode perhitungan, hingga identifikasi tax expenditure. Dukungan semua pihak diperlukan supaya komitmen itu terlaksana.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 11 September 2023 | 09:45 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Lomba Menulis Artikel Pajak dan Politik, DDTCNews Terima 214 Karya

Sabtu, 09 September 2023 | 14:30 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Tinggal Malam Ini! Deadline Lomba Menulis DDTCNews Berhadiah Rp57 Juta

Jumat, 08 September 2023 | 14:00 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Tinggal Besok! Deadline Lomba Menulis DDTCNews Berhadiah Rp57 Juta

Rabu, 06 September 2023 | 14:00 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Tinggal 3 Hari! Deadline Lomba Menulis DDTCNews Berhadiah Rp57 Juta

BERITA PILIHAN