Fajarizki Galuh Syahbana Yunus,
BARU-baru ini, dunia dihebohkan dengan fenomena penjualan cuitan pertama CEO Twitter, Jack Dorsey, senilai US$2,9 juta. Dilansir BBC.com, cuitan pertama CEO Twitter tersebut berhasil dijual kepada Sina Estavi, seorang pengusaha Malaysia.
Seniman Beeple juga tengah menjadi sorotan publik setelah karya seni digitalnya yang berjudul The First 5000 Days laku terjual seharga US$69 juta. Fenomena tersebut menjadi bukti maraknya transaksi produk yang saat ini tengah populer, yaitu non-fungible token (NFT).
NFT merupakan produk unik yang tercipta sebagai imbas dari pesatnya perkembangan teknologi yang terjadi saat ini. Menurut Wood (2014), NFT merupakan jenis cryptocurrency hasil dari pengembangan teknologi smart contract Etherium.
Serupa tetapi tak sama, NFT memiliki sejumlah perbedaan dengan cryptocurrency. Perbedaan itu baik dari segi produk, karakteristik, maupun proses bisnisnya.
Jika wujud utama dari cryptocurrency adalah mata uang virtual, hal tersebut sedikit kontras dengan NFT. Wujud dari NFT adalah sertifikat digital unik yang digunakan sebagai alat pembayaran aset digital, berupa barang koleksi, karya seni, dan karakter dalam sebuah game.
Sifat yang non-fungible pada NFT menjadikan model transaksi tersebut sedikit berbeda dibandingkan dengan cryptocurrency. Dengan sifat tersebut, produk NFT tidak dapat dibarter dengan berbagai produk lain.
Keberadaan teknologi smart contract dalam NFT memungkinkan setiap aset memiliki kode unik yang berbeda sebagai tanda kepemilikan atas aset NFT (Wang, 2017). Hal ini dapat mencegah terjadinya duplikasi atau akuisisi aset secara ilegal oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
NFT sangat populer di kalangan masyarakat menengah ke atas yang melek teknologi. Sejak pertama kali diluncurkan pada Oktober 2017, volume transaksi NFT telah mencapai lebih dari US$800 juta per Mei 2021.
Data market tracker NonFungible.com menunjukkan rata-rata penjualan aset digital dalam setahun terakhir tembus hingga 4.000 penjualan per hari. Jumlah tersebut terbilang fantastis untuk sebuah produk yang baru populer di tengah kalangan pelaku ekonomi dunia.
Tanpa kita sadari, masifnya perkembangan arus transaksi NFT telah menghadirkan problem baru dalam skema perpajakan di dunia. Belum tuntas dengan isu terkait pemajakan atas e-commerce dan cryptocurrency, otoritas perpajakan internasional kembali dihadapkan dengan tantangan model transaksi baru, yakni NFT.
Hingga saat ini, otoritas perpajakan di berbagai negara masih belum meramu rancangan skema yang tepat mengenai pengenaan pajak atas objek tersebut. Publikasi terbaru OECD yang berjudul Taxing Virtual Currencies: An Overview of Tax Treatments and Emerging Tax Policy Issues juga masih berfokus pada rancangan skema pemajakan atas cryptocurrency.
BAGAIMANA potensi pemajakan atas objek NFT di Indonesia? Prospek pemajakan NFT di Indonesia terbilang sangat potensial. Hal ini mengingat Indonesia didominasi penduduk yang melek teknologi hingga beberapa tahun ke depan.
Hasil Sensus Penduduk terbaru menunjukkan persentase penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 70,72% (BPS, 2020). Bonus demografi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu target pasar yang potensial bagi perkembangan NFT pada masa mendatang.
Jika mengacu pada sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang saat ini berlaku, beberapa aspek perpajakan cukup relevan untuk dapat dikenakan pada objek NFT. Objek NFT dapat dikenai pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), ataupun pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Perluasan basis pengenaan PPN dan PPnBM sebagai reaksi atas pesatnya perkembangan transaksi NFT dapat menjadi sebuah strategi ampuh dalam mengatasi shortfall – selisih kurang realisasi dan target – penerimaan pajak pada masa depan.
Selain itu, potensi pengenaan PPh Pasal 23/26 juga dapat dikenakan apabila terdapat perluasan mengenai definisi royalti yang diatur dalam Pasal 4 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Namun, Dijten Pajak juga perlu mengkaji berbagai kemungkinan risiko dan tantangan yang muncul seiring dengan diberlakukannya kebijakan pemajakan atas NFT di masa mendatang. Tantangan tersebut salah satunya adalah kompleksitas dalam melakukan tracing pelaku transaksi NFT. Selain itu, penentuan mengenai teknik dan metode penelusuran bukti adanya transaksi NFT masih abu-abu.
Di sisi lain, titik terang penentuan yurisidiksi terkait dengan hak pemajakan NFT juga masih buram. Masih belum jelasnya ketentuan mengenai batas wilayah dalam pengenaan pajak atas transaksi digital menjadi penyebab utama.
Pembaruan beleid perpajakan oleh Ditjen Pajak sebagai respons atas masifnya perkembangan transaksi digital merupakan langkah yang krusial. Hal tersebut sangat penting agar asas certainty sebagaimana yang digaungkan Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nations dapat tetap terjaga.
Di sisi lain, kebijakan yang fleksibel dan adaptif memang sangat diperlukan. Jika tidak, potensi munculnya celah tax avoidance baru akan menggerus realisasi penerimaan perpajakan Indonesia di masa yang akan datang.
Pemberlakuan pajak atas NFT di Indonesia juga diartikan sebagai perwujudan dari implementasi compensatory theory, yakni menjamin pembangunan ekonomi yang mencerminkan nilai demokrasi, inklusivitas, dan pemerataan (DDTC, 2021). Dengan demikian, gejolak ketimpangan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat dapat diredam.
Meskipun isu mengenai pemajakan atas NFT belum tercantum pada dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2022, pemerintah perlu menyiapkan grand design mengenai rancangan kebijakan khusus terkait perpajakan di bidang ekonomi digital.
Sejauh ini, gagasan pengenaan pajak di bidang ekonomi digital masih terpaku pada transaksi peer to peer lending (P2PL). Tindakan yang responsif atas perkembangan model transaksi pada era ekonomi digital sangat diperlukan mengingat berbagai negara telah bergerak cepat dalam menyikapi berbagai isu tersebut.
Berkembangnya NFT di dunia merupakan peluang besar bagi otoritas perpajakan Indonesia untuk menambal penerimaan APBN yang terperosok cukup dalam, terlebih pada masa pandemi Covid-19 ini. Pembaruan basis perpajakan sesuai dengan perkembangan model transaksi di era ekonomi digital sangat diperlukan.
Pembaruan basis perpajakan tersebut akan menjadi penentu masa depan penerimaan perpajakan di Indonesia. Tantangan lain bagi Ditjen Pajak adalah mengenai kesiapan otoritas perpajakan Indonesia dalam menghadapi era ekonomi digital.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.