Arrozaq Ave,
INDONESIA telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca seperti tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) kelanjutan Paris Agreement. NDC ini menyebut target emisi Indonesia hingga 2030 adalah 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.
Target itu akan mendorong political will dan dukungan finansial yang besar untuk menerapkan langkah-langkah mitigasi dan pengurangan emisi. Kurangnya pembiayaan untuk mendukung aktivitas ini dengan sendirinya membuka opsi lain, yaitu pengenaan pajak karbon.
Pajak karbon adalah salah satu bentuk pigouvian tax untuk mengompensasi eksternalitas negatif yang dihasilkan aktivitas emisi karbon. Kompensasi ini akan mengenakan pajak pada aktivitas pengemisi CO2 dan mendistribusikannya untuk kegiatan yang lebih bersih berupa insentif/stimulus/subsidi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun konsep pajak karbon dalam peraturan presiden tentang nilai ekonomi larbon (NEK). NEK ini meliputi penggunaan hak hak ekonomi atas karbon seperti definisi, ruang lingkup, pengukuran, penjualan dan implementasi.
Termasuk penerapan MRV (monitoring, reporting and verification) untuk memastikan transparansi, permanency dan akuntabilitas emisi karbon yang dipajaki. Penghitungan dasar pajak karbon, selain memerlukan MRV, membutuhkan laporan footprint karbon atau basis data emisi.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporannya menyebutkan kombinasi penerapan pajak karbon dan mekanisme pasar karbon lainnya akan menghasilkan usaha mitigasi yang efektif, atau biasa disebut dengan effective carbon rate.
Penerapan pajak karbon juga dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan negara, terutama pada sektor penghasil emisi yang belum masuk radar potensi penerimaan pajak. Pajak karbon juga dapat digunakan sebagai instrumen untuk memengaruhi pola ekonomi dan perilaku di Indonesia.
Saat ini, puluhan negara sudah menerapkan pajak karbon antara US$1-US$130/ton CO2 ekuivalen. Indonesia memiliki potensi karbon sangat besar. Jaringan listrik di Indonesia masih didominasi pembangkit listrik batu bara. Penggunaan transportasi berbahan bakar fosil juga terus meningkat.
Ada 4 usulan penerapan pajak karbon di Indonesia. Pertama, kendaraan baru dikenakan pajak per konsumsi bahan bakar minyak (BBM) per tahun dan dialokasikan ke transportasi umum dan jalan. Kedua, setiap liter BBM dikenakan pajak dan dialokasikan ke pengembangan energi terbarukan.
Ketiga, pembangkit listrik tenaga batu bara dikenakan pajak untuk setiap listrik yang dihasilkan dan dialokasikan sebagai feed in tariff bagi energi terbarukan. Keempat, pajak karbon oil boiler di atas 100 ton/jam dan dialokasikan kembali untuk subsidi boiler berefisiensi tinggi dan boiler biomassa.
Dengan berbagai manfaat dan skenario yang dapat diraih dari pengenaan pajak karbon ini, timbul pertanyaan bagaimana Indonesia bisa memastikan akuntabilitas pajak karbon yang sudah dipajaki ini tepat sasaran baik dalam alokasi maupun distribusinya.
Reformasi Pajak
BERDASARKAN data Ditjen Pajak (DJP), sejak reformasi pajak 2002 pemerintah sudah melaksanakan berbagai terobosan elemen perpajakan. Misalnya, pelayanan satu atap sampai pada reformasi proses bisnis dan teknologi informasi.
Saat ini, agenda tersebut terus berlanjut dengan membenahi 5 pilar utama seperti organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi, basis data, proses bisnis dan peraturan kebijakan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan rasio pajak dan kepatuhan wajib pajak.
Pelaksanaan reformasi perpajakan ini dapat dijadikan momentum untuk meningkatkan akuntabilitas dan tanggung jawab pelaksanaan pajak karbon. Terlebih, KLHK juga telah merilis Indonesia Certified Emission Reduction (ICER) sebagai salah satu cikal bakal pasar karbon domestik di Indonesia.
Implementasi pajak karbon yang baik akan menghasilkan manfaat ganda, yaitu manfaat pajak dan penyelamatan lingkungan. Momentum ini juga dapat dijadikan ajang permodelan pengaturan base tax rate, compliance, telaah dampak dan expost impacy sebagai referensi reformasi perpajakan.
Tantangan implementasi pajak karbon tentu beraneka ragam dan membutuhkan kolaborasi para pemangku kepentingan. Memang, implementasi pajak baru pada masa pandemi dan resesi tidak bijaksana mengingat hampir semua pelaku ekonomi kerepotan menjaga keberlanjutan usahanya.
Namun akan lebih baik, jika persiapan transformasi ini yang bertepatan dengan agenda reformasi perpajakan dan persiapan rebound economy post-pandemy dapat dimanfaatkan dan dioptimalkan sebesar-besarnya demi kelangsungan hidup anak cucu kita.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.