Suhut Tumpal Sinaga,
PEMERINTAH sedang menyusun regulasi perpajakan untuk peer to peer lending alias pinjaman online (pinjol) yang kini masih berlaku umum. Rencana ini keniscayaan mengingat pertumbuhan bisnis pinjol yang sangat pesat sekaligus karena keunikan transaksi bisnis itu sendiri.
Untuk itu, terlebih dahulu harus dipahami bagaimana proses bisnis dalam transaksi pinjol. Platform sebagai penyelenggara menyediakan aplikasi dalam jaringan sebagai tempat bertemu bagi calon peminjam dengan calon pemberi pinjaman. Aplikasi tersedia di gawai dan komputer.
Calon peminjam mengajukan proposal pinjaman kepada penyelenggara. Kemudian penyelenggara menilai kelayakan proposal tersebut. Bunga pinjaman ditentukan dalam proses ini. Jika layak, proposal ditampilkan di marketplace dalam aplikasi.
Calon pemberi pinjaman akan melihat proposal pinjaman di marketplace yang berisi besarnya pinjaman, imbal bunga, dan tenor. Apabila tertarik, calon pemberi pinjaman dapat memberikan pinjaman modal setelah menyetorkan uang sejumlah pokok pinjaman.
Tenor bisa 1 tahun, 6 bulan, atau 3 bulan. Namun, peminjam harus membayar angsuran setiap bulan atau pekan. Angsurannya terdiri atas pokok pinjaman, bunga pinjaman, dan imbalan jasa untuk penyelenggara. Bunga pinjaman kadang diberi nama berbeda, tetapi substansinya sama saja.
Bagi pemberi pinjaman, terdapat 2 aspek pajak yang relevan, PPh dan PPN. Penghasilan yang diterima pemberi pinjaman dalam bentuk imbal bunga merupakan objek PPh. Lalu menentukan mekanisme perhitungan. Untuk itu perlu mengategorikan penghasilan sebagai penghasilan aktif atau pasif.
Secara substansi, penghasilan dari imbalan bunga merupakan penghasilan pasif. Alasannya karena penghasilan diperoleh tanpa usaha aktif pemberi pinjaman. Penghasilan diperoleh karena ada aset modal milik pemberi pinjaman yang dipinjamkan. Usaha pemberi pinjaman lebih bersifat pasif.
Dengan demikian, peminjam, apabila sebagai subjek pajak badan dalam negeri, wajib memotong PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari imbalan bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman. Apabila pemberi pinjaman tidak mempunyai NPWP dikenakan tarif lebih tinggi 100% menjadi 30%.
Sedangkan apabila peminjam sebagai subjek pajak orang pribadi dalam negeri, tidak wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23. Dengan demikian, perhitungan pajak atas penghasilan pemberi pinjaman dari transaksi pinjol dapat menggunakan NPPN atau dikembalikan ke mekanisme umum.
Pemberi pinjaman harus menghitung sendiri penghasilan kena pajak dari laba rugi alias penghasilan setelah dikurangi biaya yang diperkenankan. Mekanisme ini sama dengan perhitungan pajak yang dikenakan atas penghasilan aktif dengan omzet lebih dari Rp4,8 miliar per tahun.
Dalam praktik, peminjam tidak pernah melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman, baik dalam hal peminjam sebagai subjek pajak badan dalam negeri maupun sebagai subjek pajak orang pribadi dalam negeri.
Karena itu, pemberi pinjaman jarang melaporkan penghasilan yang diperoleh dari transaksi pinjol dalam laporan SPT tahunannya. Sementara itu, Ditjen Pajak (DJP) kesulitan melakukan pengawasan karena transaksi yang sangat banyak dan tidak mempunyai akses terhadap data transaksi.
Namun, apabila penghasilan pemberi pinjaman dikategorikan sebagai penghasilan aktif, mekanisme khusus dalam perhitungan pajaknya dapat diterapkan. Dari 3 jenis sumber penghasilan, penghasilan pemberi pinjaman dari transaksi pinjol paling tepat dikategorikan sebagai kegiatan usaha.
Penghasilan ini tidak dapat dikategorikan sebagai pekerjaan bebas atau pekerjaan karena penghasilan yang diperoleh bukan merupakan imbalan dari suatu pekerjaan dengan atau tanpa ikatan kerja. Untuk omzet yang kurang dari Rp4,8 miliar per tahun dikenakan PPh final dengan tarif 0,5%.
Pemberi pinjaman harus menyetor sendiri pajak yang terutang sebesar 0,5% dari imbalan bunga yang diterima setiap bulan. Karena bersifat final, pajak ini tidak perlu lagi diperhitungkan dalam laporan SPT tahunan. Namun, penghasilannya sendiri tetap harus dilaporkan.
Begitu juga dengan saldo akhir tahun jumlah pinjaman yang diberikan tetap harus dilaporkan di dalam daftar harta. Kebetulan PPh final ini sedang diberikan insentif PPh ditanggung pemerintah sampai masa pajak Juni 2021 berdasarkan PMK Nomor 9/PMK.03/2021.
Kemudian aspek pajak PPN bagi pemberi pinjaman adalah tidak dikenakan PPN karena imbalan bunga termasuk jenis jasa yang tidak dikenakan PPN (negative list) berdasarkan Pasal 4A ayat (3) huruf d UU PPN.
Bagi penyelenggara, penghasilan yang diperoleh dari peminjam dalam bentuk imbalan jasa adalah objek penghasilan. Peminjam wajib memotong pajak berdasarkan Pasal 23 UU PPh. Tarifnya 2% dari imbalan jasa. Namun, pemotongan hanya dilakukan apabila peminjam berbentuk badan usaha.
Imbalan jasa sebagai perantara pinjam-meminjam tidak tercantum sebagai jenis jasa lain yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 seperti diatur PMK Nomor 141/PMK.03/2015. Kenyataan ini dapat saja digunakan oleh peminjam sebagai argumen untuk tidak melakukan pemotongan PPh.
Karena itu, tidak heran peminjam nyaris tidak ada yang melakukan pemotongan PPh Pasal 23 ini. Memang, penyelenggara tetap berkewajiban melaporkan imbalan jasa ini sebagai penghasilan. Namun, tanpa pemotongan PPh Pasal 23, sulit bagi DJP mengawasi kebenaran laporan tersebut.
Dari aspek PPN nya, jasa yang diserahkan oleh penyelenggara ini merupakan jasa kena pajak sehingga wajib untuk dipungut PPN. Penyelenggara wajib menerbitkan faktur pajak PPN setiap kali transaksi. Dalam praktik, tampaknya kewajiban ini belum dilakukan oleh penyelenggara pinjol.
Rencana Regulasi
DARI uraian di atas jelas terlihat tanpa regulasi tersendiri pun transaksi dari pinjol dapat dikenakan pajak dengan mengikuti mekanisme umum. Namun, keunikan transaksi ini membuat mekanisme umum tersebut sulit diterapkan. Karena itu, transaksi pinjol luput dari pengawasan perpajakan.
Beberapa prinsip pengenaan pajak yang harus diperhatikan adalah netralitas, kesederhanaan, dan kepastian. Prinsip efisiensi dan efektivitas juga harus diperhatikan. Prinsip netralitas mengharuskan perlakuan sama antara transaksi pinjol dan transaksi lain yang mempunyai substansi sama.
Ketentuan umum pengenaan pajak harus berlaku sama juga bagi pinjol dengan atau tanpa regulasi khusus. Prinsip kesederhanaan dan kepastian mengharuskan kemudahan sehingga tidak muncul beda persepsi. Penggunaan teknologi akan sangat membantu mencapai prinsip tersebut.
Ada beberapa catatan dalam meregulasi pajak untuk pinjol. Pertama, regulasi baru itu harus tegas mengategorikan imbalan bunga yang diterima pemberi pinjaman sebagai penghasilan aktif atau penghasilan pasif. Secara substansi, imbalan bunga ini memang merupakan penghasilan pasif.
Namun, kalau mau dikategorikan sebagai penghasilan aktif juga tidak salah. Kenyataan pemberi pinjaman masih harus melakukan pemilahan proposal yang akan dipilih untuk diberi pembiayaan dapat dijadikan argumen. Yang penting, harus tegas dinyatakan supaya tidak ada keraguan.
Para pihak yang terlibat dalam transaksi pinjol tentu akan lebih senang jika imbalan bunga ini dikategorikan sebagai penghasilan aktif. Hal ini karena tarifnya akan lebih kecil yakni 0,5% final sebagaimana diatur dalam PP 23/2018.
Hal baru yang sebaiknya diatur dalam regulasi ini adalah menunjuk penyelenggara sebagai pemotong PPh, bukan peminjam sebagai pemberi penghasilan. Hal ini dimungkinkan karena platform sudah mempunyai sumberdaya teknologi untuk melakukannya dengan mudah dan murah.
Masalahnya, pengenaan PP-23 bersifat sementara. Paling lama berlaku 7 tahun. Apabila waktunya habis, pemajakannya dapat menggunakan NPPN atau mekanisme umum. Kalau teguh memegang prinsip netralitas, konsekuensi ini harus diterima meski tarif pajaknya menjadi lebih tinggi.
Namun, bila mau sedikit fleksibel, jika masa berlaku PP 23 berakhir, dapat saja penghasilan imbalan bunga ini direkategorisasi lagi menjadi penghasilan pasif. Untuk menjaga prinsip netralitas, perlakuan pajaknya harus dipersamakan dengan transaksi lain yang mempunyai substansi sama.
Dalam hal ini imbalan bunga atas tabungan di bank. Atau, kalau mau tarif lebih rendah, setidaknya dipersamakan dengan bunga simpanan anggota koperasi. Tarifnya 0% untuk bunga sampai dengan Rp240 ribu per bulan atau 10% kalau lebih.
Ketentuan ini diatur di dalam PP Nomor 15 Tahun 2009. Tentu tidak tepat jika perlakuan pajaknya mau dipersamakan dengan transaksi penjualan saham di bursa efek di mana tarifnya cuma 0,1% dari harga jual, sebab substansinya jelas berbeda.
Kemudian untuk PPh bagi platform tidak perlu dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 oleh peminjam. Biarlah platform menghitung dan melaporkan sendiri PPh-nya dalam SPT tahunan. Sedangkan aspek PPN platform tetap saja mengikuti ketentuan umum.
Platform menjadi PKP dan wajib memungut PPN serta membuat faktur pajak atas imbalan jasa yang diterima dari peminjam. Perlu ditegaskan jasa yang diserahkan platform tidak dapat dikategorikan sebagai jasa keuangan yang tidak dikenakan PPN.
Kunci dari semua ini adalah penggunaan teknologi. Berhubung platform sudah mempunyai teknologi, DJP cukup menumpang. Dengan menempatkan suatu protokkol komunikasi dalam aplikasi milik platform, DJP sudah dapat menjalankan dan mengawasi sistem pemajakan ini secara otomatis.
Protokol komunikasi ini sering juga disebut sebagai application programming interface (API). Seluruh data transaksi otomatis masuk ke server DJP dan juga akan tampil di SPT para pihak yang terlibat. Dengan demikian kondisi cooperative compliance yang dicita-citakan dapat tercapai.
Pemerintah harus memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk memajaki transaksi bisnis yang sarat teknologi. Mekanisme pemajakan yang konvensional tidak akan sanggup melakukannya. Transaksi daring harus dipajaki secara daring pula. Jangan memajaki transaksi daring secara luring.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.