OPINI PAJAK

Menelisik Jejak Penghindaran Pajak ‘Para Raksasa’

Redaksi DDTCNews
Rabu, 19 Januari 2022 | 14.15 WIB
ddtc-loaderMenelisik Jejak Penghindaran Pajak ‘Para Raksasa’

T Qivi Hady Daholi,

Pegawai Ditjen Pajak

PADA 2021, setidaknya terdapat 2 laporan yang mengungkap perilaku pembayaran pajak dari grup perusahaan besar dan orang-orang terkaya di dunia.

Pertama, Pandora Papers. Produk jurnalisme investigasi ini berhasil merebut perhatian publik. Laporan ini mengungkap keberadaan jutaan dokumen mengenai teknik dan skema yang dipakai orang-orang terkaya menyembunyikan kekayaan dari jangkauan pengawasan otoritas pajak.

Modus mereka secara umum sama, yaitu menempatkan sejumlah aset di perusahaan cangkang yang terdaftar di negara-negara tax haven atau yang saat ini juga dikenal dengan istilah negara investment hubs.

Istilah itu diberikan pada yurisdiksi yang memberikan fasilitas perantara atau persinggahan investasi karena lingkungan bisnis dan rezim perpajakan lebih menguntungkan. Singapura, Mauritius, Belanda dan Luxembourg merupakan contoh yurisdiksi yang termasuk kategori investment hubs tersebut.

Kedua, Corporate Tax Statistic. Laporan tahunan ini dirilis OECD. Publikasi yang relatif sepi dari perbincangan publik, tetapi berisi banyak informasi berharga terkait dengan perpajakan secara global.

Laporan ini setidaknya memuat statistik penerimaan pajak di berbagai negara, perbandingan tarif PPh badan di lebih dari 100 yurisdiksi, serta perbandingan kebijakan insentif pajak untuk aktivitas riset dan penelitian.

Salah satu data yang menarik dalam laporan itu adalah publikasi statistik Laporan per Negara alias Country-by-Country Report (CbCR). Laporan ini mengandung data agregat dan anonim terkait dengan grup perusahaan dengan omzet konsolidasi lebih dari Rp11 triliun. Laporan tersebut akan diulas pada tulisan ini.

Pergeseran Laba

CbCR sejatinya berisi ringkasan informasi keuangan, aktivitas bisnis, dan perusahaan anggota suatu grup usaha. Dokumen ini memberikan helicopter view cara perusahaan multinasional menempatkan kegiatan usaha dan aset serta menampilkan total pembayaran pajak di tiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi.

Corporate Tax Statistic edisi terakhir mencakup 6.045 CbCR dari 38 yurisdiksi, termasuk Indonesia. Ada beberapa temuan yang didapatkan dari laporan tersebut.

Pertama, adanya bukti ketidakselarasan antara tempat profit dilaporkan dengan lokasi terjadinya aktivitas bisnis secara substantif. Sebagai contoh, para raksasa multinasional menempatkan rata-rata 13% dari total profit, 38% pegawai, dan 16% total tangible asset di kelompok negara berpenghasilan menengah (middle income countries), termasuk Indonesia. Dokumen OECD tersebut juga menunjukkan aktivitas bisnis yang dominan di negara-negara tersebut adalah manufaktur dan distribusi.

Namun demikian, pada negara investment hubs – yang hanya memiliki porsi 26% pegawai, 14% tangible asset, dan didominasi aktivitas holding serta distribusi – alokasi profitnya mencapai 2 kali lipat lebih tinggi, yaitu sebesar 26% dari profit grup.

Kedua, rasio omzet per pegawai relatif lebih tinggi di yurisdiksi dengan tipikal investment hubs. Sebagai contoh, satu orang pegawai di kelompok negara berpenghasilan menengah secara rata-rata berkontribusi sebesar US$190.000 ke pendapatan grup.

Bandingkan dengan pegawai di negara perantara investasi. Tiap pegawai di negara ini mampu menyumbang US$ 1,9 juta. Tentu akan muncul pertanyaan, apakah para pekerja di negara-negara tersebut memang memiliki produktivitas hingga 10 kali lipat?

Atau justru, pendapatan yang diparkir di tempat persinggahan investasi ini sedemikian tinggi, sehingga mengindikasikan adanya transaksi yang tidak memiliki substansi ekonomis dengan tujuan menghindari atau mengurangi beban pajak grup?

Ketiga, porsi pendapatan dari transaksi dengan pihak berelasi 2 kali lipat lebih besar di investment hubs (40% dari total pendapatan) dibandingkan dengan proporsi di negara lainnya (20% dari total pendapatan).

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan transaksi dengan pihak berelasi. Masalah muncul apabila harga yang ditetapkan untuk transaksi ini tidak memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Makin tinggi proporsi transaksi dengan pihak berelasi, makin tinggi pula risiko ketidakwajaran penetapan harga.

Imbasnya, grup usaha dapat dengan mudahnya menggeser laba mereka ke yurisdiksi dengan tarif pajak yang lebih menguntungkan. Strategi ini dikenal dengan nama transfer pricing dan umum terjadi di grup korporasi.

Dari ketiga fenomena tersebut dapat ditarik benang merah mengenai aktivitas ‘para raksasa’. Dapat disimpulkan penghindaran pajak terindikasi masih dilakukan. Selain itu, ‘jejak’ yang tertinggal memperlihatkan strategi menggeser laba ke yurisdiksi dengan tarif pajak yang lebih rendah merupakan modus utama dari perusahaan-perusahaan tersebut.

Antipenghindaran Pajak

AKTIVITAS penghindaran pajak, terutama yang agresif, tentu menggerus basis pemajakan dan mengurangi potensi penerimaan negara. Berbagai riset yang telah dipublikasikan menunjukkan negara berkembang menjadi pihak yang paling dirugikan.

Kondisi tersebut terjadi karena ketergantungan yang tinggi negara berkembang terhadap penerimaan pajak. Oleh sebab itu, dibutuhkan landasan hukum yang baik dan langkah-langkah spesifik dalam mencegah praktik tersebut.

Pada umumnya, penghindaran pajak sah secara legal karena dilakukan dengan memanfaatkan celah dan disharmoni dalam peraturan perpajakan atau informasi asimetris di otoritas pajak antarnegara. Namun, otoritas pajak memiliki wewenang untuk mencegah praktik penghindaran pajak dengan berbagai instrumen aturan yang dikenal dengan anti-avoidance rule.

Terdapat 2 jenis anti-avoidance rule, yaitu Specific Anti-Avoidance Rule (SAAR) dan General Anti-Avoidance Rule (GAAR). SAAR menyasar strategi penghindaran yang spesifik, seperti transfer pricing. GAAR berfungsi sebagai antipenghindaran yang bersifat umum dengan memberikan kewenangan pada otoritas pajak untuk menerapkan prinsip substance over form atau melihat substansi ekonomi atas suatu transaksi ketimbang melihat bentuk formalnya.

Instrumen SAAR sendiri telah lama diadopsi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, bahkan sejak paket Undang-Undang Perpajakan terbit pada 1983. Namun, GAAR belum diimplementasikan pada level peraturan perundang-undangan.

Kendati demikian, prinsip substance over form – yang identik dengan GAAR – telah masuk dalam penjelasan Pasal 18 Pajak Penghasilan pada UU HPP.

Sebagaimana namanya, anti-avoidance rule bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak. Instrumen ini tidak dimaksudkan untuk menarik hak pemajakan yang bukan menjadi porsi Indonesia. Dengan adanya anti-avoidance rule tersebut, basis pemajakan Indonesia diharapkan akan lebih terlindungi, sehingga kemanfaatan penerimaan pajak makin dirasakan rakyat Indonesia.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.