Tax Expert, CEO Office DDTC Atika Ritmelina Marhani dalam kuliah umum perpajakan bertajuk The International Tax Landscape: Challanges and Impact on Indonesian Business yang digelar oleh Prodi Akuntansi Universitas Bunda Mulia (UBM), Jumat (6/12/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Mahasiswa yang mempelajari ilmu akuntansi perpajakan perlu meng-update dirinya dengan informasi dan pemahaman mengenai isu perpajakan internasional. Imbauan itu bukan tanpa alasan. Kebijakan pajak global saat ini bergulir secara dinamis dengan mengikuti pola perilaku bisnis di tataran internasional yang terus-menerus berubah.
Pesan tersebut disampaikan oleh Tax Expert, CEO Office DDTC Atika Ritmelina Marhani dalam kuliah umum perpajakan bertajuk The International Tax Landscape: Challenges and Impact on Indonesian Business yang digelar oleh Prodi Akuntansi Universitas Bunda Mulia (UBM), Jumat (6/12/2024).
Menurut Atika, siapa pun yang berkecimpung di dunia pajak perlu memiliki konsistensi untuk memperbarui pemahaman diri mengenai kebijakan pajak terkini, baik di level domestik atau global.
Apalagi, imbuhnya, era digital kini turut mengubah dan menggeser praktik administratif perpajakan di seluruh dunia. Tanpa ada pemahaman yang memadai mengenai sistem pajak internasional, praktisi pajak tidak akan punya pandangan luas dalam mengatasi sebuah masalah yang dihadapi.
"Standar, hukum, dan panduan pajak internasional akan terus berubah. Sebagai mahasiswa akuntansi perpajakan, mahasiswa harus dapat beradaptasi dengan perubahan rezim yang signifikan tersebut," kata Atika.
Dalam paparannya, Atika turut menjabarkan perkembangan kebijakan pajak internasional yang begitu dinamis dalam 1 abad terakhir. Dia mengungkapkan, ketentuan pajak internasional yang saat ini berlaku disusun berdasarkan kesepakatan pada 1920-an.
Berkaitan dengan pembagian alokasi hak pemajakan dalam tax treaty, mengacu pada ketentuan yang berlaku berpuluh-puluh tahun, negara sumber tidak dapat mengenakan pajak atas suatu penghasilan tanpa adanya kehadiran fisik.
"Padahal, dalam era ekonomi digital saat ini, digitalisasi membuat perusahaan multinasional dapat beroperasi pada suatu negara tanpa kehadiran fisik. Kelemahan ketentuan dalam tax treaty tersebut memunculkan celah penghindaran pajak," kata Atika.
Celah penghindaran pajak, ungkapnya, di antaranya timbul karena ketentuan hak pemajakan yang mensyaratkan kehadiran fisik. Apabila mengacu pada prinsip dalam tax treaty yang dibentuk 100 tahun lalu, negara sumber sebagai lokasi perusahaan multinasional memperoleh laba usaha dari proses bisnis yang terdigitalisasi tidak akan mendapatkan hak pemajakan.
"Artinya, globalisasi dan digitalisasi membuat ketentuan yang telah dibentuk sejak 100 tahun lalu tersebut tidak dapat lagi mengakomodasi pemajakan internasional atas kegiatan ekonomi lintas yurisdiksi yang semakin terintegrasi," ujar Atika.
Lebih lanjut Atika menjelaskan ketentuan yang mensyaratkan adanya kehadiran fisik di suatu negara sumber agar negara sumber memperoleh hak pemajak sudah tidak lagi relevan, utamanya di rezim ekonomi digital saat ini.
Kesadaran mengenai relevansi ketentuan pemajakan digital dalam Rencana Aksi 1 BEPS Project yang dirilis oleh OECD bersama negara-negara G20 pada akhirnya melahirkan suatu rezim baru dalam sistem pajak internasional, yang dikenal dengan Two-Pillar Solution atau Solusi 2 Pilar pada Oktober 2021.
Secara terperinci, Solusi 2 Pilar terdiri atas Pilar 1 dan Pilar 2.
Pilar 1 bertujuan untuk meredistribusi hak pemajakan yang lebih adil bagi negara-negara pasar/negara sumber penghasilan. Sementara Pilar 2, mencakup ketentuan Global Anti-Base Erosion (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR) yang menjadi solusi untuk mengurangi kompetisi pajak, sekaligus melindungi basis pajak melalui penerapan tarif minimum PPh badan secara global.
"Jelas ya ada perubahan rezim pajak internasional yang tengah berlangsung saat ini, atau kita sebut reformasi pajak global. Bukan hanya di satu atau beberapa negara saja yang terdampak. Namun, ini adalah fenomena sejarah yang dampaknya itu dirasakan oleh seluruh dunia," tutup Atika.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Program Studi Akuntansi UBM Devica Pratiwi menilai mahasiswa perlu mempelajari pajak internasional yang bergerak sangat dinamis. UBM pun berupaya memfasilitasi mahasiswa mempelajari pajak internasional dengan mendatangkan praktisi pajak, bahkan dari luar negeri.
Dia berharap kuliah umum tentang pajak internasional ini dapat menambah wawasan dan motivasi mahasiswa untuk berkarier di bidang pajak.
"Semoga kegiatan ini bisa memberikan wawasan, ilmu, dan tambahan motivasi. Siapa tahu nanti ada peserta di sini yang menjadi konsultan pajak," katanya.
DDTC Bagikan Buku Gratis!
Bagi peserta kuliah umum hari ini, jangan lewatkan kesempatan untuk mendapatkan buku terbitan DDTC. DDTC akan membagikan buku Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional secara gratis kepada 5 peserta acara. Kelima penerima buku akan dipilih berdasarkan komentar terbaik dalam artikel berita yang dibagikan oleh moderator saat acara berlangsung.
Caranya, scroll ke bagian bawah berita ini. Temukan kolom komentar yang terletak tepat di bawah badan berita. Kemudian, isikan komentar terbaik Anda mengenai berjalannya acara, khususnya yang berkaitan dengan topik pembahasan dalam kuliah umum ini.
Sebagai informasi, buku yang dibagikan hari ini merupakan cetakan kedua. Sebanyak 1.000 buku cetakan pertama April 2024 telah diterima banyak pihak, termasuk pemerintah, anggota DPR, pelaku usaha, karyawan swasta, konsultan pajak, akademisi, hingga mahasiswa.
Buku ini ditulis oleh Founder DDTC Darussalam dan Danny Septriadi bersama dengan Tax Expert, CEO Office DDTC Atika Ritmelina Marhani. Buku ini sangat penting sebagai bekal awal setiap orang yang ingin berkecimpung atau mendalami dunia pajak. (sap)