RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai jasa persewaan pesawat udara yang dianggap sebagai jasa kena pajak (JKP) yang seharusnya dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN).
Otoritas pajak menilai usaha yang dilakukan wajib pajak ialah penyerahan jasa persewaan pesawat udara. Adapun jasa persewaan pesawat tersebut termasuk persewaan barang bergerak yang seharusnya dikenakan PPN.
Sebaliknya, wajib pajak menyatakan tidak setuju dengan dalil otoritas pajak. Wajib pajak menegaskan bidang usaha yang digelutinya ialah jasa angkutan udara luar negeri, bukan jasa persewaan pesawat. Menurutnya, penyerahan jasa angkutan udara luar negeri seharusnya tidak dikenakan PPN.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Berdasarkan pada pemeriksaan dan penelitian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat kegiatan usaha yang dijalankan wajib pajak ialah jasa persewaan pesawat udara. Adapun jasa persewaan pesawat termasuk jasa persewaan barang bergerak yang atas penyerahannya terutang PPN.
Selain itu, selama proses persidangan, wajib pajak hanya dapat menyampaikan bukti berupa invoice saja. Dalam konteks ini, pengajuan bukti berupa invoice tidak dapat meyakinkan Majelis Hakim Pengadilan Pajak untuk mengabulkan permohonan banding.
Terhadap uraian di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan menolak permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put.57121/PP/M.XIVB/16/2014 tanggal 12 November 2014, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 27 Februari 2015.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPN masa pajak Oktober 2008 senilai Rp1.133.764.901 yang dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Adapun pokok sengketa dalam perkara ini adalah transaksi jasa persewaan pesawat udara oleh Termohon PK yang belum dipungut PPN.
Dalam persidangan, Pemohon PK menegaskan pihaknya merupakan wajib pajak yang memiliki usaha di bidang jasa angkutan udara luar negeri dan bukan perusahan yang bergerak di bidang persewaan pesawat terbang.
Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang jasa angkutan udara luar negeri, nilai penyerahan diperhitungkan apabila pesawat diterbangkan dan penerbangannya bersifat tidak terjadwal atau borongan.
Kemudian, jangka waktu pengoperasian pesawat dilakukan sepanjang waktu selama perusahaan masih melakukan kegiatan usaha jasa angkutan udara. Pernyataan ini didukung dengan bukti berupa izin usaha dan air operator certificate (AOC) No. AOC/135-038.
Lebih lanjut, dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000, penyerahan atas jasa angkutan udara di luar daerah pabean tidak dikenakan PPN. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Termohon PK tidak dapat dipertahankan.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Sebagaimana diatur dalam KEP-05/PJ/1994, salah satu jenis jasa persewaan barang bergerak ialah persewaan pesawat udara.
Adapun atas penyerahan jasa persewaan barang bergerak berupa pesawat tersebut seharusnya dikenakan PPN. Pernyataan Termohon PK tersebut sesuai dengan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-3480/PJ.531/1997 yang menyatakan penyerahan jasa persewaan barang bergerak terutang PPN. Selain itu, Termohon PK menilai bukti yang diajukan Pemohon PK berupa invoice masih belum bisa membuktikan dalil-dalilnya.
Merujuk pada uraian di atas, Termohon PK menilai penyerahan jasa persewaan pesawat udara yang dilakukan Pemohon PK termasuk jenis jasa persewaan barang bergerak yang dikenakan PPN. Oleh karena itu, koreksi yang dilakukan Termohon PK sudah benar dan dapat dipertahankan.
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding secara nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Adapun terhadap perkara ini, terdapat 2 pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, koreksi positif atas DPP PPN yang harus dipungut sendiri senilai Rp1.133.764.901 dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan para pihak yang bersengketa, pendapat Pemohon PK dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak.
Kedua, dalam perkara a quo, Mahkamah Agung berpendapat jasa persewaan pesawat udara termasuk jasa angkutan udara sehingga tidak dikenakan PPN. Dengan begitu, koreksi yang dilakukan Termohon PK tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK cukup berdasar sehingga dinyatakan dikabulkan. Dengan demikian, Termohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. Putusan Mahkamah Agung ini diucapkan oleh Hakim Ketua dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 7 Desember 2016. (vallen/kaw)