Grace Perez-Navarro.
NYARIS 30 tahun lalu lalu, pada masa yang sama ketika Brazil mengalahkan Italia di laga final Piala Dunia 1994, Jeffrey Owens, Kepala OECD Fiscal Affairs Division, melempar tanya kepada seorang 'diplomat' yang diperbantukan di kantornya.
"Apa hal paling mendesak yang perlu diselesaikan OECD saat ini?" pertanyaan itu mengambang di ruangan separuh kosong seorang perempuan berusia 37 tahun yang sedang mengemas berkas dan peralatan kantornya, bersiap untuk kembali ke Amerika Serikat setelah penugasan 1 tahunnya di Paris, Prancis.
Gamang, Owens sebenarnya enggan melepas pegawai otoritas pajak Amerika Serikat, IRS, itu untuk kembali ke negaranya. Kerjanya bagus, begitu pikirnya. Pertanyaannya hanya jurus basa-basi untuk mengulur waktu.
"Akses data perbankan." Jawaban itu ternyata meluncur terlalu cepat dari mulut sang diplomat yang membelokkan karirnya untuk mengurusi hukum perpajakan internasional di IRS. Raut mukanya mendadak serius, mengalihkan pandangan dari setumpuk dokumen di depannya ke wajah lawan bicaranya, Owens.
Setahun terakhir, medio 1993 ke 1994, pekerjaan sang diplomat di kantor pusat OECD tak jauh-jauh dari revisi pedoman penetapan harga transfer (transfer pricing). Amerika Serikat (AS) dianggap punya resep yang bisa diterapkan ke dalam penyusunan pedoman skala global. Namun, ada ganjalan yang besar yang membuat pekerjaannya dalam memodifikasi pedoman OECD menjadi tidak mudah: isu tentang kerahasiaan perbankan.
Apa yang disampaikan 'pegawai tamu' Owens itu bukan tanpa argumen. Berjalan hampir selama 5 dekade, saat itu, banyak yurisdiksi di seluruh dunia seolah menutup mata dengan praktik pencucian uang. Kendati The Financial Action Task Force (FATF) sudah didirikan, upaya melawan pencucian uang diadang oleh kegigihan sejumlah negara dalam menutupi data perbankannya.
Padahal, bagi perempuan yang sudah bekerja di IRS sejak 1990 tersebut, keterbukaan data dan informasi keuangan merupakan agenda mendasar dalam menyusun sistem pajak internasional yang adil.
Pakar pajak internasional itu kemudian kembali ke Amerika Serikat pada pengujung musim gugur 1994, meninggalkan setumpuk pekerjaan rumah bagi OECD. Tugasnya di OECD memang sudah rampung, tetapi langkah lanjutan perlu diambil agar modifikasi pedoman OECD mengenai harga transfer dan upaya melawan kompetisi pajak yang berbahaya bisa berkelanjutan.
Akhirnya, berselang 3 tahun setelahnya, pada 1997, Owens menawari sang diplomat untuk menetap di Paris. OECD merasa memerlukan sosok seorang pakar pajak internasional yang punya pemikiran visioner tentang desain sistem pertukaran informasi keuangan di tataran global.
Dia lah, Grace Perez-Navarro, seorang sarjana studi internasional Cornell University, AS yang memilih fokus di bidang pajak. IRS menjadi arena pertamanya untuk mengasah kepekaan dalam menyusun kebijakan pajak internaional.
Pada 1997, tepat setahun sebelum Piala Dunia Prancis digelar, Perez-Navarro resmi memboyong kembali semua peralatan kantornya ke Paris. IRS ditinggalkannya setelah 7 tahun pengabdian.
OECD dan Perez-Navarro barangkali sudah bertalian dengan takdir. Siapa sangka, keputusannya untuk kembali ke OECD membuka jalan yang lebih lebar dalam penyusunan sistem perpajakan internasional yang lebih adil.
Begitu kembali ke OECD, kepakarannya langsung ditagih. Perez-Navarro dihadapkan pada kenyataan bahwa sistem pajak global tengah melalui turunan cukup curam. Negara-negara G-7, memasuki 1998, mulai menyadari terjadinya fenomena yang mulai dirasakan cukup berbahaya: perang tarif pajak.
Saat itu, praktik untuk memberikan tarif pajak serendah mungkin untuk menarik investasi atau menggerakkan ekonomi makin gencar diberikan oleh sejumlah yurisdiksi. Banyak negara terseret dalam fenomena race to the bottom, sebuah perlombaan ke bawah, menawarkan tarif pajak lebih rendah. Efeknya luar biasa, basis pajak global terancam tergerus cepat.
Merespons hal ini, OECD ikut bergerak bersama pimpinan negara G-7 untuk membentuk Forum on Harmful Tax Practices. Kelompok ini kemudian menyusun daftar negara suaka pajak dalam kurun waktu satu tahun. Daftar ini disusun untuk membantu seluruh negara anggota dan mitra dalam menyusun strategi antipenghindaran pajak.
Namun, Perez-Navarro berpikir bahwa urusan tax competition ini perlu ditangani serius agar praktik pajak yang berbahaya tidak sekadar bergeser dari wilayah OECD ke yurisdiksi lain. OECD, menurutnya, perlu menggeser pendekatan dalam menangani negara-negara suaka pajak. Dialog dimulai, termasuk dengan mengesampingkan istilah surga pajak (tax haven), dan mulai memakai pengelompokan yurisdiksi, antara yang kooperatif dan yang tidak.
"Masa-masa itu cukup kritis dan OECD belajar banyak tentang bagaimana melakukan pendekatan dengan beragam yurisdiksi," kata Perez-Navarro, dikutip Tax Notes International.
Kerja-kerja OECD dalam menangani tax competition berlanjut. Melompat ke 2009, di tengah pertemuan negara G-20 di London, OECD mengumumkan pengelompokan negara-negara tax haven ke dalam 3 kategori. White list, negara yang dianggap siap melakukan pertukaran informasi atau telah menerapkan standar perpajakan dan perbanian dengan baik.
Grey list, negara yang sudah memiliki komitmen menerapkan transparansi, tetapi belum sepenuhnya menjalankan standar perpajakan dan perpajakan yang baik. Black list, negara yang belum mau mengimplementasikan asas transparansi dalam praktik perbankan dan perpajakannya.
Pengelompokan ini otomatis membuat praktik tax competition menjadi lebih terang. Dunia mulai menyoroti negara yang masuk dalam daftar hitam, yang rezim pajaknya mengancam ekonomi banyak negara lain.
Krisis keuangan global pada 2009 juga menawarkan alasan kuat bagi seluruh negara di dunia agar serius menangani kerahasiaan perbankan. OECD dan G-20 kemudian berdiri beriringan dan mengeluarkan pernyataan bersama: era kerahasiaan perbankan telah berakhir.
Normal baru untuk mempertebal transparansi data dan informasi keuangan kemudian dituangkan dalam pembentukan the Global Forum on Taxation. Forum Global ini terdiri dari anggota OECD dan yurisdiksi lain yang kooperatif dalam melawan praktik pajak yang berbahaya. Forum ini pun terbuka bagi negara manapun yang mau bergabung, termasuk negara-negara berkembang.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut makin leluasa dikerjakan oleh Perez-Navarro setelah dirinya didapuk duduk di posisi Deputi Direktur untuk Pusat Kebijakan dan Administrasi Pajak (CTPA) OECD sejak 2012 hingga 2022. Melalui pendampingannya, OECD kembali menggandeng FATF untuk merumuskan inklusivitas dalam transapransi pajak global.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Perez-Navarro mulai menyadari adanya sebuah peluang yang sempat terlewat dalam kaitannya dengan melawan penghindaran pajak. OECD mulai melirik fenomena perkembangan ekonomi digital yang terlampau pesat dan aspek pajaknya yang belum lengkap.
Perez-Navarro menilai seluruh negara semestinya bergegas sadar betapa internet dan perdagangan elektronik bisa mengubah lanskap perpajakan internasional. Menindaklanjuti Proyek Anti-Penggerusan Basis Pajak dan Pengalihan Laba (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS Project), OECD mulai merumuskan rekomendasi yang diperlukan.
Perez-Navarro menyampaikan urusan pajak digital perlu segera dibicarakan sebelum dampaknya makin serius menggerus basis pajak di banyak yurisdiksi. Karenanya, urusan pemajakan digital, yang kini tercakup dalam Pilar 1 dan 2, menjadi prioritas utama OECD.
Usai diangkat menjadi Direktur CTPA OECD, bergerak cepat menggandeng seluruh yurisdiksi untuk bisa mengimplementasikan kesepakatan dua pilar tersebut, termasuk Amerika Serikat sebagai pemegang kunci. OECD, ujar Perez-Navarro, juga menyodorkan hasil kajian tentang seberapa besar pendapatan yang diperoleh masing-masing yurisdiksi apabila solusi 2 pilar bisa berjalan nanti.
Di bawah kepemimpinan Perez-Navaro, OECD juga menaruh fokus besarnya terhadap penanganan perubahan iklim, salah satunya dengan meluncurkan forum inklusif tentang pendekatan mitigasi karbon. OECD memilih berjalan beriringan dengan PBB dalam menindaklanjuti Perjanjian Paris dan COP27.
Menajamkan Agenda di Pengujung Karier
Tugas-tugas Perez-Navarro harus rampung sebelum April 2023, saat posisinya sebagai Direktur CTPA OECD juga bertemu ujung. Masih banyak pekerjaan rumah bagi OECD yang akan dikerjakan oleh pimpinan CTPA OECD ke depannya. Namun, pekerjaan-pekerjaan yang sudah dilakukan Perez-Navarro selama lebih dari 25 tahun ini cukup kuat untuk dijadikan sebagai modal dasar upaya mewujudkan inklusi transparansi keuangan dan perpajakan global.
Tak cuma kerja soal pajak saja yang dijalani dan diwariskan oleh Perez-Navarro. Urusan gender juga menjadi isu penting lantaran di bawah kepemimpinannya, OECD juga berhasil mendudukkan beberapa sosok perempuan di pucuk pimpinan lembaga. Ikut mendampingi Perez-Navarro, ada Zayda Manatta merupakan Kepala Sekretariat Forum Global dan Fabrizia Lapecorella serta Marlene Nembhard-Parker sebagai Ketua Bersama Inclusive Framework on BEPS.
Bagi Perez-Navarro, pekerjaan yang dilakukannya di OECD adalah kerja panjang yang target dan capaiannya berjenjang. Dia tidak setuju jika upaya penyusunan sistem pajak global yang berkeadilan selalu dikaitkan dengan istilah revolusi. Baginya, evolusi lebih tepat menggambarkan jalan panjang OECD dalam melawan praktik pajak yang berbahaya serta menunjang ekonomi negara-negara melalui sistem pajak yang lebih baik.
"Kita tidak bisa membentuk Global Forum kalau tidak ada upaya menentang kerahasiaan bank. Tanpa itu, kita juga tidak bisa membangun Inclusive Framework on BEPS. Tanpa itu juga, kita tidak bisa memiliki Pilar 1 dan 2. Semuanya berkaitan, jadi pekerjaan [OECD di bidang pajak] ini sifatnya evolusioner, bukan revolusioner," kata Perez-Navarro.
Lebih dari 25 tahun, sejak 1997 hingga saat 2023, Perez-Navarro berhasil meletakkan aspek fundamental bagi OECD dalam melawan praktik pajak yang berbahaya. Dengan keilmuannya yang mumpuni, Perez-Navarro layaknya sebuah perpustakaan berjalan bagi banyak negara dalam menyusun sebuah kebijakan pajak.
Dengan segala sepak terjangnya, Tax Notes International menganugerahkan titel Person of The Year 2022 kepada Grace Perez-Navarro, dengan julukan A Champion of Transparency and Inclusion, sang pejuang transparansi dan inklusi dalam sistem pajak global.
Maret 2023 nanti adalah bulan terakhir Perez-Navarro bekerja di OECD. Jabatan profesionalnya bisa saja berhenti. Namun, kariernya sebagai pakar pajak internasional akan terus berlanjut. Perez-Navarro sempat ditanya, mau ke mana setelah pensiun nanti?
Sama cepatnya dengan jawaban yang diberikan kepada Owens 30 tahun lalu, Perez-Navarro lantang menjawab, "Tetap di sini". (sap)