TAN MALAKA:

'Pajak dalam Teori atau Praktik, Semuanya Pencurian'

Redaksi DDTCNews
Kamis, 13 Juni 2019 | 16.22 WIB
'Pajak dalam Teori atau Praktik, Semuanya Pencurian'

Tan Malaka

MUNGKIN tak banyak yang tahu, Sutan Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka, atau lebih dikenal dengan Tan Malaka (1897-1949) juga menyoroti masalah pajak dan kebijakan fiskal kolonial dalam sejumlah risalahnya, termasuk dalam satu yang fenomenal, Naar de Republiek Indonesia (1925).

Itu buku yang ditulisnya dari Kanton (Guangzhou), Tiongkok, saat masih dalam pelarian. Itulah buku pertama yang menulis secara terang benderang, bagaimana seharusnya kemerdekaan Indonesia, dan apa saja yang harus dilakukan untuk mempersiapkannya—jauh sebelum Indonesia benar merdeka.

Pada buku yang sama pula, ia mengkritik keras kebijakan fiskal pemerintah kolonial yang semena-mena. Ia mengkritik tarif pajak yang tinggi yang dibebankan kepada rakyat Indonesia, yang bahkan tertinggi di dunia, hingga warga tidak lagi memiliki apapun kecuali udara untuk dihirup.

“Masa depan ekonomi kita lebih gelap dari Prancis sebelum 1789. Setiap Gubernur Jenderal yang dikirim ke Bogor, seperti Dirk Fock, tak mampu menciptakan hal baru kecuali pajak baru. Tidak akan ada gubernur yang mampu menghapus defisit Hindia Belanda, saat Belanda terus mencari dividen.”

Tan Malaka memang sosok yang fenomenal. Pada zaman itu, pengembaraan intelektualnya sudah melanglang jauh ke banyak tempat. Tidak hanya Marx, Engels, atau Nietzsche yang dibacanya. Tapi juga risalah Georges Padoux, yang menunjukkan bahwa tarif pajak di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia.

Pengembaraan itu tidak hanya dilakukannya secara intelektual. Seperti burung rantau, Tan Malaka juga berkelana melintasi batas-batas negara. Setelah lulus dari sekolah guru (Kweekschool) di Fort de Kock (Bukittinggi), ia lalu belajar ke sekolah guru (Rijkskweekschool) di Haarlem, Belanda.

Waktu itu usianya baru 16 tahun. Saat Revolusi Rusia berhasil menumbangkan Tsar Nicholas II pada 1917, pemuda belia ini sudah aktif mengikuti diskusi yang digelar Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) dan HJFM Sneevliet, pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging di Amsterdam.

Tan Malaka kembali ke Indonesia pada November 1919 setelah menggenggam ijazah diplomanya, hulp acte. Di Indonesia, selain mengajar di wilayah perkebunan Deli, Sumatra Utara, ia mulai menulis banyak artikel di berkala Het Vrije Woord atau Sumatera Post dan aktif dalam kegiatan politik.

Pada 1920, ia masuk Volksraad mewakili kaum kiri, tetapi mundur pada 1921, lalu membuka sekolah rakyat di Semarang. Pada tahun yang sama, Tan Malaka terpilih memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, setahun berikutnya, ia ditangkap karena terlibat aksi pemogokan buruh perkebunan.

Pemerintah kolonial hendak membuangnya ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, tetapi ia meminta diasingkan ke Belanda, dan dikabulkan. Setelah di Belanda, Tan Malaka bergerak ke Berlin, lantas merapat ke Moskow untuk menghadiri Kongres Comintern sebagai perwakilan Indonesia.

Waktu itu, kegemilangan Revolusi Rusia memang telah mempercepat paham nasionalisme, anti-kolonialisme dan komunisme diterima antusias oleh para aktivis dan intelektual di negara-negara jajahan di Asia Tenggara dan Asia Timur. Mereka semua ingin membebaskan negerinya.

Uni Soviet yang menyadari potensi gerakan tersebut lalu mendirikan Comintern (Communist International) pada 1919. Organisasi yang bermarkas di Moskow ini meliputi seluruh dunia, dan dipersiapkan untuk menjadi basis gerakan revolusioner seluruh dunia untuk berkumpul.

Kongres Comintern lalu menunjuk Tan Malaka sebagai wakil Comintern Asia Tenggara, membawahi Filipina, Burma, Thailand, Laos, Vietnam, dan Indonesia. Dengan tugas barunya itu, ia mulai berkeliling, dengan berbagai nama, dari Kanton, Tokyo, Manila, Shanghai, Hong Kong, hingga Singapura.

Melalui jaringan yang dibentuk Comintern untuk menyatukan pergerakan komunis dan gerakan anti-kolonialisme di dunia inilah Tan Malaka lalu bergerak aktif membangun jaringan dengan tokoh-tokoh anti-imperialis Asia seperti Sun Yat Sen (Tiongkok), dan Ho Chi Minh (Vietnam).

Setelah Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942, Tan Malaka pun pulang ke Tanah Air—dari 20 tahun hidup sebagai pelarian politik di berbagai negara . Lalu ia bertemu Sjahrir, Achmad Soebardjo, Soekarno, dan Hatta—sebelum akhirnya dipenjara, dan tewas di ujung senapan seorang tentara.

“Kesimpulannya, peraturan yang menguasai kita di Indonesia dibuat sesuka hati mereka sendiri, dan pembayaran pajak dalam teori atau praktik, semuanya adalah pencurian,” kata pejuang revolusioner yang kesepian ini, Bapak Republik Indonesia ini, dalam Massa Actie yang terbit di Singapura, 1926. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.