KEBERGANTUNGAN negara berkembang terhadap penerimaan pajak tidak terbendung. Dengan karakterisasi aktivitas ekonomi yang terus tumbuh dan peningkatan populasi, negara berkembang harus sedini mungkin menyaring kedua hal tersebut ke dalam sistem pajak.
Sayangnya, hal tersebut tidak mudah. Minimnya kapasitas administrasi otoritas pajak, rendahnya literasi pajak masyarakat, serta meningkatnya kebutuhan sistem pajak untuk mengakomodasi fungsi regulerend – untuk menstimulus perekonomian – juga menjadi ciri khas lanskap pajak negara berkembang.
Lantas, bagaimana caranya agar optimalisasi penerimaan pajak dapat segera dilakukan? Studi teoretis dan praktis di berbagai negara ditelaah oleh World Bank untuk kemudian disajikan ke dalam publikasinya yang berjudul “Strengthening Domestic Resource Mobilization: Moving from Theory to Practice in Low-and Middle-Income Countries”.
Ada tiga pilar utama yang melandasi strategi yang ditawarkan oleh Raul Feliz Junquera-Varela cs, praktisi World Bank yang menjadi tim penulis buku tersebut.
Pertama, peningkatan kualitas sistem pajak dari segi kualitas pemungutan yang bersifat minim distorsi ekonomi dan pro pemerataan pendapatan. Kedua, penguatan kapasitas otoritas pajak baik dari segi penyelenggaraan administrasi maupun perumusan kebijakan. Ketiga, pembinaan masyarakat wajib pajak untuk dapat menerima legitimasi dari sistem pajak yang berlaku.
Meskipun tampak ideal, ketiga pilar yang ditawarkan terdengar normatif dan umum sehingga membutuhkan kontekstualisasi dan penyesuaian lebih lanjut untuk setiap negara.
Adapun langkah-langkah yang representatif dari ketiga pilar yang ditawarkan antara lain penyederhanaan sistem pajak, penguatan administrasi pajak, serta penguatan peran dan keterlibatan pemerintah daerah.
Dari sisi administrasi, strategi yang paling ditonjolkan adalah upaya pendekatan pemeriksaan berbasis risiko (risk-based approach). Dalam buku tersebut, pendekatan ini sebenarnya serupa dengan metode compliance risk management (CRM) yang ditawarkan oleh OECD jauh sebelumnya. Dengan demikian, tidak banyak informasi baru yang dapat diperoleh pembaca yang sudah katam dengan publikasi OECD.
Hal menarik yang ditawarkan dalam publikasi terbitan 2017 tersebut adalah cara agar setiap aspek sistem pajak saling berkaitan dan membutuhkan satu sama lain. Misalnya, kebijakan yang terbaik dan merupakan international best practice tidak akan berguna jika negara yang menerapkan tidak memiliki kapasitas administrasi yang mumpuni.
Lebih lanjut, administrasi pajak yang kuat tidak akan memberikan dampak yang signifikan jika tidak didukung oleh komitmen politik yang tinggi dari pemerintah. Sebab, kebijakan-kebijakan yang dirancang dengan baik dapat berisiko disetir oleh kelompok tertentu atau bahkan pengesahannya tertunda oleh karena dianggap bukan prioritas.
Kemudian, komitmen politik yang kuat dari pemerintah juga ternyata tidak cukup. Dibutuhkan kesadaran pajak yang tinggi dari masyarakat yang mengakui legitimasi dari sistem pajak yang berlaku. Dalam hal ini, peran pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang patuh pajak secara sukarela juga akan sangat bergantung pada komponen semula, yaitu tataran administrasi dan kebijakan pajak.
Pada intinya, pendekatan secara holistik menjadi prasyarat yang tidak dapat ditawar untuk mengoptimakan mobilisasi penerimaan pajak. Sayangnya, tidak banyak informasi atau analisis yang bersifat inovatif atau memberikan gebrakan baru.
Setiap strategi yang ditawarkan cenderung mudah ditemukan di banyak literatur dan kurang spesifik. Buku ini lebih cocok untuk disimak bagi penikmat perpajakan pemula yang baru mulai memburu literatur. Jika ingin tahu lebih lanjut, silakan kunjungi DDTC Library.*