SERINGKALI kita mendengar potensi kekayaan alam Indonesia dikeruk, dikuras, disedot dan bahkan dibawa oleh perusahaan-perusahaan asing ke negara asal investor. Tidak hanya itu, ironisnya, pada saat yang sama segelintir orang Indonesia justru ikut menyedot kekayaan bumi nusantara dan berupaya menghindari kewajiban membayar pajak.
Salah satu praktik nakal yang kerap kali dilakukan oleh investor asing dalam sektor pertambangan adalah melakukan manipulasi pembayaran pajak melalui skema transfer pricing yang biasa dilakukan di lokasi pertambangan. Skema ini dilakukan oleh penambang dengan cara mengecilkan harga jual ekspor mineral agar pembayaran pajak maupun royalti menjadi lebih rendah.
Buku yang berjudul “Fungsikan Surveyor, Jangan Biarakan Asing Kuras Tambang Kita” karya Abdul Jabar Yoesoef ini akan membeberkan bagaimana cara perusahaan lokal dan asing melakukan penghindaran pajak dan royalti hingga miliaran dolar.
Kontribusi hasil pertambangan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia dari sektor pertambangan terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan investor lokal dan asing terhadap pertambangan Indonesia sangat besar.
Kendati demikian, hingga saat ini fakta berbicara bahwa masih banyak terjadi kebocoran penerimaan pajak dari sektor pertambangan. Sejak tahun 1983, Pemerintah Indonesia menganut sistem self assessment dalam pola pemungutan pajak pertambangan. Sistem ini memiliki kelemahan karena totalitas besaran pajak dikendalikan oleh penambang sebagai wajib pajak.
Sementara itu, pegawai pajak dan pemerintah hanya menerima laporan dan jumlah besaran pajak secara sepihak dari wajib pajak. Kebocoran pajak yang terjadi melalui skema transfer pricing yang dilakukan oleh investor tambang membuat potensi kerugian negara yang cukup besar.
Praktik transfer pricing sangatlah kompleks karena dalam banyak kasus bukti dokumen transaksinya ada di luar kekuasaan yurisdiksi Indonesia, sehingga menyulitkan aparat pajak melakukan koreksi. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kelemahan sistem tersebut perlu adanya monitoring dari 'independent surveyor' di lokasi tambang secara langsung.
Independent surveyor merupakan polisi yang mengawasi kekayaan mineral dengan cara menghitung jumlah kuantitas maupun kualitas mineral yang diproduksi dan diekspor dari dalam negeri. Hasil dari monitoring yang dilakukan oleh Independent surveyor akan dilaporkan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk kebutuhan pemungutan pajak pertambangan.
Rumus utama penetapan pajak pertambangan terletak pada jumlah kuantitas mineral yang diproduksi serta diekspor, jenis mineral dan penetapan standar harga. Dalam buku ini, Abdul Jabar merekomendasikan agar pemerintah menetapkan benchmark harga untuk setiap mineral agar penetapan pajak dapat akurat.
Indonesia dapat belajar dari China yang telah menerapkan hal itu, di mana semua produk pertambangan harus diawasi oleh independent surveyor. Pemerintah China menggunakan jasa tersebut untuk mengontrol dan memonitor setiap ekspor dan impor produk tambang ke China.
Sebelum mengizinkan perusahaan asing masuk berinvestasi, pemerintah China telah membuat Undang-Undang pertambangan yang terukur untuk kepentingan pemerintah. Undang-Undang tersebut dijalankan secara konsisten, sehingga negara tidak dirugikan dengan masuknya investor asing.
Negeri tirai bambu ini pun sangat menghindari sistem self-assessment dalam pelaporan pajak, sehingga pelaporan penerimaan dan pajak yang dibayarkan dapat secara transparan diterima oleh kedua belah pihak, baik dari sisi wajib pajak maupun otoritas pajak.
Dalam pembahasan terakhir buku ini, Abdul Jabar memberikan beberapa rekomendasi lainnya yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia untuk dapat menyelamatkan sektor pertambangan Indonesia dan harapan-harapan agar pertambangan Indonesia menjadi lebih maju dan tidak lagi dikuasi penuh oleh investor asing.
Tertarik untuk membaca buku ini? Silahkan datang ke DDTC Library.