INDUSTRI asuransi jiwa bisa dibilang cukup tangguh. Dua tahun lebih pandemi berlangsung, sektor ini terbukti bisa terus melayani nasabah dan bahkan berkembang. Padahal, angka klaim asuransi sedang tinggi-tingginya.
Tak cuma itu, pelaku industri asuransi juga tengah dilibatkan pemerintah serta parlemen dalam penggodokan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Di dalamnya, ada wacana pemberian insentif pajak bagi pemegang polis. Bagian tertentu dari premi yang dibayarkan, diusulkan bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak.
Bagaimana konsepnya? Seperti apa resep yang dijalankan pelaku industri ini untuk bertahan selama pandemi? DDTCNews berkesempatan berbincang dengan Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu tentang beragam isu industri ini. Berikut adalah petikan lengkap wawancaranya:
Bagaimana kinerja bisnis pada sektor asuransi jiwa di tengah pandemi Covid-19?
Covid-19 di Indonesia kan [mulai] Maret 2020 ya. Saat itu indeks harga saham gabungan [IHSG] crash dan pulihnya baru akhir Desember 2021. Namun, ada komitmen dari pelaku asuransi jiwa. Sebetulnya Covid-19 ini masuk kategori pandemi. Dalam perjanjian polis, itu tertulis jelas bahwa pandemi dikecualikan, tidak ditanggung.
Namun, teman-teman tetap commit. Jadi walau masuk kategori pandemi, karena kami memahami bahwa pemerintah pengeluarannya besar, teman-teman tetap meng-cover. Khusus Covid-19, sejak Maret 2020 sampai kuartal I/2022 itu [klaim kematian] in total sekitar Rp9 triliunan. Yang paling mahal dari covid itu yang long covid itu.
Kemudian, industri ini mulai bangkit pada kuartal III/2021. Situasi mulai lebih enak karena pada saat itu hampir 70% masyarakat sudah vaksin kedua. Pabrik juga mulai muter mesinnya.
Sisi positif dari pandemi, pada kuartal I/2022 itu ada pertambahan jumlah pemegang polis sampai 3 juta. Ini fenomena unik, tidak pernah terjadi sebelumnya dalam 3 bulan sampai 3 juta pemegang polis baru. Walau sebenarnya preminya tidak besar, di bawah 500.000 per orang. Artinya masyarakat kalangan bawah sudah mulai melihat.
Pandemi Covid juga membuat klaim naik. Angka klaim pada kuartal I/2020 itu Rp40 triliun, kuartal I/2021 itu Rp51 triliun, dan kuartal I/2022 itu Rp43 triliun. Jadi jumlah pemegang polis bertambah signifikan, yang klaim juga naik signifikan.
Nah, yang Rp43 triliun pada kuartal I/2022 itu, yang meninggal klaimnya Rp3,07 triliun, untuk sekitar 230.000 orang. Angka itu berbicara yang artinya ada 230.000 rumah tangga memperoleh uang untuk melanjutkan hidupnya. Keluarganya bisa menata hidupnya, mereka masih tinggal di rumah yang sama, anak-anak masih sekolah.
Bagaimana implikasi kenaikan klaim dan komitmen menanggung Covid-19 terhadap profitabilitas industri asuransi?
Itu memang berpengaruh. Namun, kita ada peraturan tentang cadangan teknis. Contohnya, dari 1 juta premi baru maka 20%-nya harus masuk cadangan teknis. Itu yang berakumulasi. Jadi waktu peristiwa Covid-19 itu dampaknya tidak besar karena cadangan teknis di industri ini cukup besar. Apalagi kalau perusahaannya sudah cukup lama sehingga cadangan teknisnya cukup meng-cover.
Namunn, masalahnya bukan soal bayar klaim saja. [Masalah lainnya], bisnis tidak ada, ketemu orang tidak bisa. Jadi overhead-nya cukup tinggi. Jadi mereka bisa survive sampai saat ini dan bahkan kuartal I/2022 terlihat aktivitas cukup normal karena ada beberapa angka lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum covid. Dan yang di Covid-19 pada tahun 2020-2021 itu kan yang paling parah investasi, tapi sekarang sudah berbalik.
Apakah kenaikan suku bunga The Fed dan bank sentral berbagai negara sudah memiliki pengaruh ke portofolio industri asuransi?
Sekarang inflasi cukup tinggi, orang pasti mencari safe haven. Kenaikan suku bunga The Fed, kalau tidak salah direncanakan 4 kali, itu kan pulang kampung semua duitnya. Ini yang terdampak pasti negara berkembang seperti negara kita. Dampaknya paling terasa adalah pasar modal dan SBN. Di industri asuransi jiwa pasar modal dan SBN sangat berpengaruh karena penempatan investasi asuransi jiwa itu umumnya pasar modal dan SBN.
Bersyukurnya, perusahaan asuransi jiwa itu berinvestasi kita hold forever. Kita bukan yang trading, scalping beli pagi jual sore. Ini pernah diakui oleh BI, Indonesia bersyukur ada asuransi jiwa. Asing keluar semua, sementara asuransi jiwa diem-diem aja, malah nambah. BI sangat apresiasi dengan industri asuransi jiwa, karena kita bukan hit and run. Portofolio kita jangka panjang, polis kita jangka panjang.
Kita selalu mendengungkan di manapun, mau di DPR, di OJK, di manapun, kalian harus mendorongkan asuransi jiwa dan dana pensiun karena mereka mengelola jangka panjang semua. Ini kita sangat berharap ada perhatian pemerintah.
Pemerintah dan DPR saat ini sedang merancang RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Menurut AAJI, apa ketentuan yang perlu dicantumkan dalam RUU tersebut untuk mendukung tumbuh kembang industri asuransi jiwa?
Sekarang dalam drafnya, 80% usulan kami sudah masuk. Misalnya, dewan pengawas OJK, Lembaga Penjamin Polis lebih baik ditempel ke LPS [Lembaga Penjamin Simpanan], itu usulan kami. Kalau khawatir dengan dana perbankan yang selama ini ada di LPS, ya disegregasi saja.
Cuma ada beberapa [usulan] yang belum masuk. Misalnya [usulan pertama], insentif pajak untuk para pemegang polis. Jadi bukan buat perusahaan, tapi masyarakat. Konsepnya, itu berapa persen dari premi yang dibayarkan wajib pajak [bisa dijadikan pengurang penghasilan kena pajak]. Misalnya dari premi Rp1 juta, katakanlah 20%-nya senilai Rp200.000, itu masuk PTKP jadi pengurang.
Kalau itu dilakukan, harapannya pengumpulan premi makin banyak. Kami kan taruh di SBN dan pasar modal, jadi nanti pemerintah akan menerima di situ. Kalau semakin besar maka untuk pembangunan negeri ini juga lebih pas.
Kedua, kepastian hukum dalam hal perlindungan konsumen. Sekarang ada UU Perlindungan Konsumen, tetapi ada juga POJK tentang Perlindungan Konsumen. Sebenarnya industri ini diatur siapa? Sudah ada OJK yang mengatur, ya sudah OJK saja. Kepastian hukum yang kedua adalah, kalau itu perjanjian polis, mestinya perdata jangan pidana.
Ketiga, kita berharap ada yang namanya insurance checking. Kalau BI checking yang selama ini kita kenal kan untuk pinjam meminjam, kalau ini bukan itu. Misal Anda beli asuransi jiwa, ada pertanyaan di dalam form Anda punya polis lain tidak? Biasanya dijawab tidak, jarang yang jawab iya. Padahal Anda punya 10 polis. Itu bagi perusahaan asuransi itu risk exposure Anda tinggi kalau tidak jujur.
Misalnya, gaji Anda Rp1 juta tetapi punya 10 polis yang masing-masing uang pertanggungannya Rp1 miliar, jadi total Rp10 miliar. Itu kan tidak sesuai dengan profile Bapak. Nah insurance checking itu untuk melihat si A ini punya polis di mana saja, berapa pertanggungannya, dan berapa bayar preminya. Lalu kita bandingkan dengan profile-nya sehingga dikemudian hari tidak terjadi fraud. Ini yang belum.
Keempat, di OJK itu ada Satgas Waspada Investasi. Satgas ini urusannya masalah investasi, mestinya ditambah masalah fraud itu tadi. Bukan hanya fraud asuransi, fraud dana pensiun, pembiayaan, modal ventura mungkin. Jadi Satgas Waspada Investasi seharusnya melayani sektor keuangan secara keseluruhan.
Yang juga belum masuk adalah, kami berharap mata pelajaran keuangan di mana ada bank, asuransi, pembiayaan, pasar modal, semuanya itu diajarkan sejak SD hingga universitas. Ini bukan masalah awareness saja, kalau Anda coba studi soal penipuan investasi itu kan sejak jaman baheula dan sampai sekarang masih ada korbannya. Kenapa? Karena kita tidak diajari dari kecil. Kami usulkan jadi mata pelajaran wajib jadi kita harap ke depan tidak ada lagi trading apalah Binomo dan lain-lain yang tidak benar. (sap)