Setiap tahun, ruang publik selalu diramaikan dengan wacana kenaikan tarif cukai hasil tembakau. Dalam penetapan tarif cukai hasil tembakau, pemerintah mempertimbangkan banyak faktor, mulai dari aspek kesehatan, ketenagakerjaan, hingga penerimaan negara.
Di tengah tekanan pandemi Covid-19, industri hasil tembakau termasuk salah satu sektor yang turut terdampak. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) pun meminta pemerintah untuk memberikan relaksasi atas kebijakan cukai rokok.
Mencermati isu tersebut, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Ketua Gappri Henry Najoan. Berikut petikannya.
Bagaimana kegiatan bisnis pada industri hasil tembakau di tengah pandemi Covid-19 ini?
Yang mengalami pertumbuhan adalah pemesanan pita cukai, tetapi bisnisnya belum membaik. Kalau bicara 2019, cukai itu sangat baik. Namun, pada 2020, kami kena 2 hantaman yang sangat terasa, yaitu kenaikan tarif cukai sekitar 23% dan HJE [harga jual eceran] sebesar 35%.
Kenaikan tarif pada 2020 tersebut jauh di atas inflasi dan pertumbuhan ekonomi sehingga produksi industri hasil tembakau terkontraksi hingga -9,7%.
Pada 2021, kami harus mendapatkan lagi beban tambahan karena tarif cukai naik sekitar 12,5%. Ini sangat terasa. Kami harus melaksanakan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat), mematuhi protokol kesehatan, dan menyediakan sarana pencegahan virus Covid-19. Ini berpengaruh bagi kita semua.
Distribusi juga terhambat oleh kebijakan PPKM setempat. Jadi, sangat terasa. Utilisasi produksi anggota kami juga menurun sangat signifikan sampai dengan 50% pada 2020. Pada 2021, belum terlalu membaik, masih sekitar 55%.
Adakah dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja?
Pandemi telah memunculkan beban tambahan untuk pelaksanaan protokol kesehatan di lingkungan kerja. Selain itu, kami juga harus mematuhi kebijakan seperti PPKM sehingga pelaku usaha tidak bisa menjalankan utiliasi terpasang secara penuh.
Kondisi tersebut tentu berdampak terhadap tenaga kerja. Menurut Kementerian Perindustrian, selama 2020, ada 4.000 tenaga kerja industri hasil tembakau yang terdampak akibat pandemi dan kenaikan tarif cukai hasil tembakau. Kami industri, tidak punya pilihan selain merumahkan karyawan.
Ada penelitian yang menunjukkan konsumsi rokok saat pandemi Covid-19 tidak berkurang. Apakah ini berarti angka penjualan produk hasil tembakau tidak menurun?
Ketika tahun 2020 tarif cukai naik 23% dan HJE naik 35%, serta pada 2021 tarif cukai naik 12,5%, itu yang terjadi adalah konsumen shifting dari rokok mahal ke murah. Mengingat situasi yang masih belum membaik, mereka shifting lagi ke rokok ilegal.
Apa yang menjadi tantangan utama bagi industri hasil tembakau dalam menjalankan kegiatan usaha di tengah pandemi Covid-19?
Ada banyak tantangan. Namun, yang paling kuat adalah intervensi terhadap pengambil kebijakan. Politisasi terhadap industri hasil tembakau membuat kami sibuk mengatasi hoax dan proxy. Kami jadi tidak tenang dalam menjalankan usaha.
Pemerintah berkali-kali memberikan fasilitas penundaan pembayaran cukai. Seperti apa dampaknya bagi industri?
Kalau relaksasi, khususnya penundaan pelunasan cukai, itu membantu pada saat-saat tertentu seperti saat membayar THR (tunjangan hari raya) dan menjelang situasi sulit. Itu sekadar membantu cashflow sesaat. Namun, secara riil, bisnisnya tidak terbantu.
Apa yang perlu untuk menjaga stabilitas industri hasil tembakau?
Menurut saya, perlu ada keseimbangan dari pemerintah dalam memandang industri ini. Semestinya, perlakuan yang diberikan atas industri hasil tembakau itu bukan dilarang, melainkan dengan edukasi. Jadi, edukasi ini penting.
Kami di industri hasil tembakau melihat sebenarnya pemerintah masih berpeluang melakukan pengamanan di bidang objek cukai lain. Jenis barang kena cukai hingga saat ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan negara lain.
Selain itu, kami berharap pemerintah terus menindak rokok ilegal secara extraordinary. Pemerintah juga perlu membuat roadmap industri hasil tembakau yang berkeadilan dan komprehensif bagi para pemangku kepentingan. Pemerintah juga tidak perlu merevisi PP 109/2012.
Soal rencana simplifikasi tarif CHT, bagaimana pandangan Anda?
Simplifikasi sesungguhnya sudah berjalan sejak 2011 atau 2012, mulai dari ad volarem menjadi spesifik. Kita tak bisa melupakan industri tembakau, khususnya kretek yang pasarnya terbentuk oleh sosial dan budaya Indonesia.
Masing-masing golongan sudah tepat diatur 10 layer seperti saat ini karena masing-masing ada pangsa pasarnya tersendiri. Untuk itu, Gappri tidak setuju dengan adanya rencana simplifikasi tarif.
Simplifikasi secara langsung akan menaikkan tarif-tarif cukai. Dari golongan bawah menjadi ke golongan atas. Golongan kecil ini akan cepat terdampak dan bisa terjadi penutupan. Ini akan menciptakan pasar yang besar bagi pengedaran rokok ilegal.
Jika simplifikasi golongan cukai diberlakukan, hal tersebut akan mengganggu mekanisme pasar yang terbentuk secara ideal di Tanah Air. Dampak terbesar dari simplifikasi adalah bergugurannya pabrik rokok kecil dan menengah.
Mengenai kinerja pemerintah dalam menindak rokok ilegal, bagaimana menurut Anda?
Peredaran rokok ilegal itu sudah nasional. Kami tentunya sangat mengapresiasi kinerja Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) dalam melakukan Operasi Gempur. Namun, kami harap Operasi Gempur itu tak hanya menyasar ke daerah pemasaran, tetapi daerah produksi juga.
Tahun depan, pemerintah kemungkinan besar akan meningkatkan tarif CHT. Menurut Anda?
Harapan kami, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai pada 2022 karena kondisi industri saat ini masih terpuruk. Dibutuhkan relaksasi sekiranya 3 tahun untuk industri hasil tembakau dalam melakukan pemulihan.
Apa yang akan dilakukan Gappri ke depan untuk kepentingan stakeholder pabrikan rokok?
Kami sebagai asosiasi selalu mengajak dan meyakinkan anggota kami adalah anggota yang taat terhadap aturan dan regulasi. Kami bersinergi dengan pemerintah khususnya DJBC untuk mendukung gerakan melawan rokok ilegal. (rig)