MESKI memiliki latar belakang pendidikan teknik sipil, Alphonzus Widjaja justru banyak lebih banyak mendapatkan amanah sebagai pengelola pusat perbelanjaan.
Alphonzus melihat pada masa yang akan datang fungsi pusat perbelanjaan bakal makin penting untuk mendukung aktivitas ekonomi, sosial, edukasi, dan bahkan kebudayaan. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk sosial.
Namun, sosok yang saat ini menjabat Ketua Asosiasi Pusat Belanja Indonesia (APBBI) mengakui tahun ini menjadi tahun yang berat bagi pengelola pusat perbelanjaan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, pusat perbelanjaan harus tutup dalam satu kuartal.
Kali ini, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Alphonzus Widjaja melalui Google Meet. Selain membahas soal industri pusat perbelanjaan, Alphonzus juga memberikan pandangan terkait dengan perpajakan. Berikut petikannya:
Sudah berapa lama Anda menggeluti bisnis pusat perbelanjaan?
Kurang lebih sudah 20 tahun, dulunya saya enggak ada rencana bisnis pusat perbelanjaan, nyasar. Jadi sama sekali dulu tidak terpikir apalagi tercita-citakan sama sekali, dulu saya sekolah teknik sipil dan cita-citanya ya bangun gedung, jembatan, hehe….
Tiba-tiba nyasar ke properti dulu, di properti kan pusat perbelanjaan kebanyakan hampir semua di-develop oleh developer properti. Jadi masuk properti dulu lalu masuk pusat perbelanjaan.
Dulu saya masuk pusat perbelanjaan itu males, apaan ini mal buang-buang waktu hehe…, tapi ternyata akhirnya di mal setiap hari. Awalnya di properti kemudian dapat tugas untuk mengelola mal dan keterusan sampai sekarang.
Apa yang mendorong Anda fokus ke pusat perbelanjaan?
Prinsip saya kan kalau sudah bekerja ya harus disukai dan dicintai. Kalau sudah suka maka semua permasalahan akan mudah. Kalau tidak berusaha mencintai dan menyukai pekerjaan kita maka persoalan kecil pun jadi susah. Awalnya enggak suka tapi lama kelamaan jatuh cinta.
Akhirnya saya all out dan saya berusaha menguasai dari A sampai Z masalah pusat perbelanjaan dan akhirnya seperti ini. Kan ada istilah, kalau mau jadi ahli ya ahli sekalian jangan separuh-separuh. Ini dasar mengapa saya bisa di posisi sekarang ini.
Bisa diceritakan transisi dari developer ke pusat perbelanjaan?
Sama sekali itu yang saya pelajari di sekolah tidak saya pakai, tidak pernah saya gunakan hehe.... Jadi saya masuk properti itu awalnya ada LJ Hooker, LJ Hooker kan broker properti Australia.
Awal mereka masuk ke Indonesia itu saya bergabung, mereka lagi cari pegawai karena mereka baru mau mengembangkan franchise di Indonesia jadi saya gabung di situ.
Waktu itu saya bertugas jualan franchise, menjual franchise itu. Dari properti saya mengenal dunia properti, mengenal banyak developer dan kemudian saya pindah ke Sumarecon dan pegang mal.
Saya sekarang di Sinarmas Land, awalnya di Sumarecon lalu pindah ke Pakuwon Group dan pindah ke Agung Sedayu, lalu akhirnya ke Sinarmas Land ini. saya di Sinarmas Land sejak 2013 sampai sekarang.
Seperti apa situasi bisnis pusat perbelanjaan sekarang?
Mal sebetulnya kalau kita bicara pandemi ini kan masuk sejak 2 Maret, saya inget banget Pak Jokowi umumkan ada Covid-19 masuk di Indonesia 2 Maret. Sejak itu tingkat kunjungan mal langsung turun karena memang ada imbauan diam di rumah, social distancing, dan sebagainya.
Ini sangat memengaruhi, jadi turun terus sejak itu sampai April kan mal ditutup, ya otomatis mal bermasalah. Baru sekali ini sejarahnya mal tutup hampir 3 bulan April Mei Juni, khususnya Jakarta ya.
Itu sejarah baru dalam pusat perbelanjaan. Kalau tutup ya otomatis tidak ada penghasilan tapi kita harus mempertahankan pegawai, itu tidak mudah karena tidak ada pendapatan tapi di satu sisi banyak biaya yang harus tetap dikeluarkan. Itu kondisinya.
Sekarang kan mal sudah diperbolehkan buka..
PSBB transisi ini mal boleh buka dengan batas maksimal 50%, itu kuota 50% tidak pernah tercapai, hanya tercapai 30-40%. meskipun buka, anggap saja kalau bisa 50% itu tetap defisit karena tidak bisa menutup operasional. Jadi kita bertahan dengan 30-40%.
Masalahnya dua, pertama adalah kekhawatiran Covid-19, takut terpapar dan sebagainya. Kedua masalah daya beli, itu turun dan mempengaruhi pusat perbelanjaan.
Meskipun orang datang, terutama kelas menengah bawah, itu persoalan paling besar adalah daya beli. Banyak di antara mereka kan kena potong gaji, PHK, dan sebagainya itu daya belinya turun.
Kalau di kelas atas yang bermasalah adalah tingkat kunjungan. Kelas atas ini relatif awareness-nya terhadap Covid-19 lebih tinggi dibandingkan menengah bawah. Karena awareness lebih tinggi maka mereka lebih berhati-hati.
Jadi meskipun daya beli mereka masih ada tetapi mereka berhati-hati. Jadi akhirnya kelas menengah bawah bermasalah karena daya beli, yang kelas atas bermasalah karena tingkat kunjungan yang rendah.
Jadi semua kelas bermasalah ini, masalahnya beda-beda. Jadi mal berusaha bertahan tapi sudah sangat sulit karena dana cadangan sudah habis. Pusat perbelanjaan ini kan kelasnya beda-beda dan kemampuannya beda.
Ada yang dana cadangannya banyak, ada yang dana cadangannya sedikit. Ini membuat banyak mal yang telah melakukan PHK dan sebagainya karena daya tahannya beda-beda. Ini kan kita enggak tahu kapan pandemi selesai. Kalau bisa diprediksi kapan selesai kita bisa buat perencanaan.
Masalahnya kan enggak ada yang tahu kapan ini selesai. Ini tantangan yang paling berat, tetapi kita tidak bisa membuat prediksi karena situasinya tidak menentu. Meski sudah ada PSBB transisi tapi kemarin kan diperketat lagi, ini cukup menyulitkan.
Lantas apa yang dilakukan pengelola mal saat ini?
Saya kira sangat sulit, mal tidak banyak bisa melakukan apa-apa karena mal kan tergantung pada tingkat kunjungan dan bagaimana customer datang dan bagaimana dia berbelanja. Itu dua hal yang penting.
Bagaimana mendatangkan pengunjung dan bagaimana pengunjung yang datang ini berbelanja, dua-duanya sekarang kena masalah. Seperti tadi, kelas atas tidak ada jalan lain selain menunjukkan keseriusan dan konsistensi dalam menjalankan protokol kesehatan.
Kelas menengah atas ini awareness Covid-19-nya lebih tinggi. Untuk mengatasi ini cuma ada satu, pusat perbelanjaan harus menunjukkan komitmen dalam menjalankan protokol agar customer mereka pelan-pelan bertambah yakin bahwa mal aman dan sehat. Cuma ini yang bisa dilakukan.
Kalau yang menengah bawah ini daya beli. Daya beli yang drop cukup drastis, jadi tidak ada jalan lain selain toko-toko atau penyewa harus bisa menciptakan produk yang lebih murah.
Misalkan produk dijual dengan packaging yang lebih kecil, kalau misal beli sampo satu botol sekarang dijual lebih kecil agar bisa menjangkau masyarakat yang penghasilannya terganggu. Lalu juga membuat produk-produk alternatif dengan bahan baku yang lebih murah.
Masing-masing punya strategi yang berbeda, situasinya sulit. Jadi kita harus membuat program yang menyeluruh. Menengah atas punya masalah tingkat kunjungan sedangkan menengah bawah punya masalah daya beli. Itu mengatasi masalahnya punya treatment yang berbeda.
Kita harus menunjukkan konsistensi karena protokol kesehatan kalau di Indonesia ini kan awalnya saja serius tapi lama-lama lalai dan abai. Ini harus konsisten, komitmennya harus kuat, dan disiplin. Itu terbukti mal sudah berhasil menunjukkan itu.
Makanya kenapa saat PSBB transisi mal boleh buka karena mal menunjukkan komitmen dan keseriusan dalam menjalankan protokol. Lama-lama pengunjung akan melihat ini konsisten. Kalau konsisten berarti pusat perbelanjaan relatif aman. Ini yang bisa membangkitkan keyakinan konsumen.
Menurut Anda, seperti apa arah bisnis pusat perbelanjaan ke depan?
Saya bagi dua, pertama adalah cara beli. Sekarang di masa pandemi sangat marak online e-commerce. Kalau kita lihat e-commerce bukan hal baru, sebelum pandemi pun sudah ada.
Cuma bedanya kalau dulu online sukarela, jadi ada yang suka online ya beli di e-commerce kalau enggak suka ya ke mal. Sekarang penetrasi begitu masif dalam artian semua orang dipaksa untuk online, tua muda, laki perempuan, kelas atas bawah, semua dipaksa online karena situasi Covid-19.
Jadi sebetulnya bedanya itu saja. Artinya online buat pusat perbelanjaan bukan hal baru. Mal sudah cukup akrab dengan online sebelum Covid-19. Tidak ada masalah.
Kedua, customer itu manusia, mereka makhluk sosial, punya naluri untuk berinteraksi langsung dengan sesamanya. Kita lihat saja banyak sekali pelanggaran protokol, ini karena apa? Karena nalurinya sebagai makhluk sosial tidak bisa menyendiri terus.
Mereka ingin berinteraksi sehingga banyak pelanggaran, ini instinct. Jadi maksud saya apa, manusia tidak akan melakukan online terus menerus. Saya rasa sekarang banyak yang bosan online terus, dunia maya terus, ini membosankan sebagai manusia.
Nah, artinya saya percaya mal tidak akan hilang. Masalahnya adalah mal apa yang bisa bertahan. Menurut saya mal yang bisa memberikan fasilitas bagi konsumen atau manusia untuk berinteraksi secara langsung karena kalau hanya sekedar tempat belanja, ini semua bisa diambil oleh online tadi.
Jadi kita jangan bertarung dengan online, DNA mal itu offline. Mal dibangun bukan untuk online. Mal DNA-nya itu bukan online, tapi offline. Jadi mal jangan bertarung di situ. Mal harus memperkuat fungsi offline-nya. Mal harus bisa menjadi fasilitas bagi makhluk sosial untuk berinteraksi.
Misal, mau kumpul-kumpul keluarga kemana? Ke mal. Itu fungsinya diperkuat. Kan banyak itu ayo ngobrol di mal, bukan belanja di mal. Ketemu di mal setelah itu baru belanjanya. Itu yang harus diterapkan setelah Covid-19.
Kalau hanya sebagai tempat belanja ini riskan karena fungsi belanja bisa digantikan online yang penetrasinya begitu kuat. Mal masih bisa eksis hanya saja jangan hanya mengandalkan fungsi belanja, harus ada fungsi lain.
Simpelnya begini, kalau kita lihat Hong Kong dan Singapura, mereka menjalankan fungsi mal tidak hanya sebagai belanja, fungsi mal itu sebagai hub koneksi, ada mal, MRT station, ada apartemen, ada office. Orang dari MRT ke office lewat mal. Orang dari station ke apartemen lewat mal.
Ini semua di-connect dengan mal. Jadi fungsi mal bertambah tidak hanya sebagai tempat belanja tapi hub koneksi. Di Indonesia belum ada, paling hanya Blok M Plaza dengan MRT tapi itu enggak ter-connect secara sempurna.
Setelah Covid-19 harus ada fasilitas yang mendukung masyarakat untuk bertemu, berinteraksi. Sekarang contoh, ketemu teman, masa ketemu di RS? enggak mungkin.
Di pasar? enggak mungkin. Pinggir jalan? enggak mungkin. Jadi di mal. Kalau mal fasilitasnya tidak memadai, tidak nyaman, dan sebagainya, orang males ketemu di mal. Kalau tempat duduk lengkap, nyaman, dan enak, fungsi itu akan ada.
Tapi pemanfaatan ruang secara mixed use masih kurang diakomodasi. Menurut Anda?
Saya kira kalau di kota besar sudah mengarah ke situ. Kota besar sudah menyadari. Kalau kota kecil belum mendesak untuk seperti itu, tapi kalau kota besar yang tanah sudah mahal dan sulit dicari ini sudah mengarah ke mixed use superblock concept.
Untuk ruang bertemu ini kan macam-macam kita lihat Central Park ini kan punya taman. Fasilitas untuk berinteraksi dan ketemuan di taman lalu belanja, atau sebaliknya. Ini contoh yang membuat mall survive dan tetap disukai.
Contoh ekstrem yang sebaliknya, kalau ke Glodok itu kan buat beli elektronik, tapi enggak mungkin buat interaksi, buat hang out, kan enggak bisa. Itu Glodok murni buat belanja, ini agak riskan.
Kalau kita lihat Central Park fungsinya lebih lagi, tidak hanya belanja. Ini yang harus lebih ditonjolkan lagi. Mal harus menyiapkan fasilitas seperti itu untuk customer berinteraksi.
Dalam hal perpajakan, apakah mal dan tenant-nya sudah mendapatkan perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah?
Belum, ini mal belum tersentuh oleh pemda maupun pemerintah pusat. Jadi kalau pajak dan retribusi ada dari pemda, ada yang paling besar itu PBB apalagi di Jakarta. Lalu ada pajak reklame dan pajak parkir.
Selama ini meski tutup tetap ada pembayaran pajak tersebut. PBB harus dibayar, reklame meski malnya tutup tetap bayar reklame pajaknya. Kalau parkir relatif, tergantung pendapatan. Kunjungan kan rendah, ya kalau bisa dibantu pajak ini sangat membantu, terutama paling besar tetap PBB.
Kami pernah mengajukan pembebasan PBB kemudian reklame, tapi sampai saat ini tidak dipenuhi padahal cukup memberatkan. Meskipun mal tutup tapi itu harus dibayar, jadi ini biaya tetap.
Kemudian kita bergeser ke pajak pusat, pusat belanja ini kan dikenai PPh final persewaan. Jadi kita sewakan ke mereka bersifat final pajaknya. Kami sering ajukan pembebasan tapi sampai sekarang belum dikasih. Itu pemerintah sama sekali belum melihat mal.
Padahal menurut saya kita ini kan sudah masuk resesi, resesi ini menurut saya sudah terjadi. Yang perlu adalah bagaimana kita secepatnya keluar dari resesi, bagaimana resesi ini kita bikin sesingkat mungkin.
Salah satu jalan adalah meningkatkan perdagangan dalam negeri. Indonesia kan punya potensi konsumsi dalam negeri dengan penduduk 270 juta ini.
Kalau perdagangan dalam negerinya bisa dipertahankan saya rasa bisa cepat keluar dari resesi. Saya sudah sampaikan ini harus dibantu agar menggerakkan perdagangan dalam negeri dan secepatnya keluar dari resesi.
Dalam PBB ini, seperti apa variasi perlakuannya antara pemda-pemda?
Pemda punya kebijakan yang berbeda-beda. Kalau pemda punya pendapatan lain yang tidak menggantungkan penerimaannya ke PBB, itu biasanya lebih mudah memberikan relaksasi.
Ada beberapa pemda yang memberikan diskon karena dia punya pendapatan lain. Yang masalah ini terutama DKI Jakarta. Ini DKI Jakarta sangat bergantung dengan PBB sedangkan APBD DKI Jakarta sangat merosot tajam.
Jakarta ini NJOP-nya luar biasa tinggi sehingga PBB-nya besar juga. Selebihnya kami sudah usul agar pemerintah pusat membantu pemda dalam hal ini DKI Jakarta untuk menopang APBD. Selanjutnya pemda bisa membantu mal.
Sebetulnya bisa kan ada caranya, ini pernah kami usulkan, tapi kenapa pemerintah pusat tidak bantu Pemda DKI Jakarta untuk menopang APBD? Kalau APBD tertolong maka Pemda DKI Jakarta bisa membantu mal.
Pemprov DKI kan memberikan keringanan pembayaran PBB, cukup membantukah?
Masalah utama sekarang ini arus kas. Kita hampir 8 bulan pendapatannya minim. Hanya Januari Februari saja yang normal, itu pun enggak normal 100%, hanya separuh normal karena Januari kan Jakarta banjir luar biasa, jadi Januari Februari enggak normal sepenuhnya.
Jadi hampir setahun penuh mal terganggu sekali dengan cash flow-nya. Saat PSBB pertama masih lumayan daya tahannya karena ada dana cadangan, tapi makin kesini makin habis. Saya enggak ngerti dengan kebijakan cicilan itu.
Dana cadangan sekarang tidak ada. Sekarang apakah Pemda DKI Jakarta punya rencana besar yang mengakibatkan pergerakan ekonomi besar sehingga mal punya income? Kan enggak juga.
Jadi kebijakan yang diberikan Kepala Badan Pendapatan Daerah tidak akan menyelesaikan masalah karena yang jadi masalah adalah cash flow. Ini disuruh mencicil padahal enggak ada penerimaan, kan tidak selesai masalah.
Meski dicicil kan ya bukan itu masalahnya. Kecuali kalau DKI Jakarta ini punya kebijakan khusus yang bisa membangkitkan ekonomi luar biasa sehingga mal punya uang untuk cicil, kan ini enggak. Yang terjadi masalah adalah kasus jumlah positif naik.
Pengusaha ini sudah babak belur, mal nya ditutup tapi diminta pajak. Harusnya yang membantu adalah pemerintah pusat. Kalau keadaan normal kita sebagai warga negara harus membantu pemerintah lewat pajak, itu jelas dan wajar.
Mendapat keuntungan dan kenikmatan ini harus bantu pemerintah dalam pajak, tapi situasi kita sekarang kan sulit. Sangat sulit untuk kita membantu APBD di tengah situasi ini.
Bagaimana peran keluarga dalam mendukung karier?
Keluarga itu bagian dari badan kita, bagian hidup dan jiwa saya. Saya memperlakukan keluarga itu harus seperti itu. Kalau itu bagian dari hidup saya, jiwa saya. Kalau keluarga saya bermasalah maka saya ikut bermasalah.
Kalau keluarga sakit maka saya ikut sakit. Jadi artinya saya harus memperlakukan keluarga seperti saya memperlakukan diri saya. Saya harus mencintai keluarga saya seperti saya mencintai diri saya.
Keluarga ini terdiri dari beberapa individu, anak dan istri. Belum tentu pemikiran mereka sejalan dengan kita. Manusia kan tidak persis sama meski mereka istri dan anak saya.
Buat saya, saya harus mencintai keluarga saya seperti saya mencintai diri saya sehingga saya me-manage individu yang berbeda-beda. Nah, itu menjadi tantangan sendiri.
Seperti mencintai pekerjaan yang saya sampaikan tadi, kalau tidak dicintai maka masalah kecil bisa menjadi masalah besar. Kalau kita mencintai, persoalan besar bisa menjadi soal yang kecil. Sepanjang kita mencintai, kita pasti bisa menyelesaikan masalah itu.
Kaitannya dengan karier, yang saya lakukan bukan untuk diri saya saja, tetapi untuk keluarga. Keluarga menjadi spirit saya dalam berkarier, dalam menggapai cita-cita. Kalau saya tidak memperhitungkan keluarga, spirit saya hanya separuh.
Kalau bersama keluarga, spirit saya jadi lebih utuh dan mendorong karier saya. Jadi saya lebih semangat dan tekun dalam mengejar cita-cita dan karier karena keluarga ini.
Apa arti kesuksesan menurut Anda?
Kesuksesan adalah tatkala saya berhasil membuat orang lain bahagia. Itu di situ kesuksesan saya. Contohnya membuat bos saya, atasan saya bahagia karena perusahaan berjalan baik dan sukses. Itu kebahagiaan saya.
Penyewa di dalam mal saya bahagia karena pengunjung banyak dan penjualan bagus. Tatkala istri saya dan orang tua saya bahagia, itu kesuksesan menurut saya. Misalkan saya dengan bos, saya punya rencana-rencana dan kegiatan yang sesuai dengan rencana saya, tapi bos tidak happy.
Anggap saja ekstrimnya saya bikin acara sukses dan rame, itu sesuai target saya tapi bos tidak suka karena untuk bikin acara ini saya mengeluarkan uang luar biasa besar. Jadi meski rame ini bos tidak suka, itu menurut saya bukan sukses.
Jadi saya lebih suka saya membuat bos saya bahagia meski tidak sesuai dengan rencana saya. Meski tidak sesuai dengan rencana saya, tapi karena mereka bahagia maka saya bahagia. Itu buat saya sukses.
Anda baru saja dilantik sebagai Ketua APPBI, seperti apa rencana asosiasi ke depan?
Sebetulnya sudah saya sampaikan ketika dilantik 6 Agustus ada 3 target saya. Pertama organisasi APPBI ini bisa lebih berperan dalam pemerintahan, dalam artian asosiasi ini kan counterpart, mitra lah dari pemerintah dalam membuat kebijakan dan peraturan.
Jadi menurut saya memang peran itu masih kurang. Kalaupun sudah berperan itu kebijakan yang diambil masih tidak sesuai. Artinya secara tidak langsung ini perannya masih kurang, jadi saya ingin perkuat organisasi agar bisa menjadi mitra pemerintah agar iklim mal bisa lebih positif dan maju.
Kedua, saya ingin mal bisa semakin profesional karena tantangan ke depan mal, pusat perbelanjaan ini sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Mal adalah fasilitas publik yang cukup penting.
Selama pandemi ini kita lihat selalu mal dijadikan berita padahal ada sektor lain, tapi berita selalu ke mal. Jadi saya ingin teman-teman anggota kita semakin profesional dalam mengelola mal karena pusat belanja sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat.
Fungsi mal semakin bertambah, ada fungsi sosial, ekonomi, edukasi, dan fungsi kebudayaan juga ada. Ini teman-teman pengelola harus lebih profesional dan menguasai seluruh fungsi ini.
Ketiga, harus ada kaderisasi dalam organisasi. Kami ini kan sudah pada tua-tua, ke depan kan jaman milenial jadi saya rasa saya berkewajiban untuk melakukan kaderisasi dan regenerasi kepengurusan yang punya kemampuan sesuai dengan perkembangan dunia yang serba milenial ini. (Rig/Bsi)