M. Arief Juliandri,
PENYELENGGARAAN vaksinasi dan pemberian insentif perpajakan menjadi langkah yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat. Bagaimanapun, konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang lebih dari 50% produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Pemerintah menjaga konsumsi bagi masyarakat rentan miskin melalui pemberian bantuan perlindungan sosial. Untuk masyarakat kelas menengah ke atas, ada insentif pajak untuk mendorong konsumsi, terutama barang sekunder hingga tersier seperti kendaraan bermotor dan rumah.
Apa dampaknya bagi indonesia? Untuk menjawabnya, ada beberapa aspek yang mungkin perlu diperhatikan. Pertama, pemulihan ekonomi global timpang. Tentu saja untuk negara yang segera melakukan vaksinasi dan mempunyai ruang pemberian stimulus akan lebih cepat pulih.
Sebaliknya, negara yang memiliki kecepatan vaksinasi lambat dan ruang pemberian stimulus ekonomi terbatas akan terhambat. Proses pemulihan ekonomi bahkan akan makin lambat jika negara tersebut sangat bergantung pada aktivitas pariwisata.
Terkait dengan vaksinasi di Tanah Air, kita pantas memberikan apresiasi meskipun masih ada tantangan. Munculnya gelombang ketiga pandemi, keterbatasan pasokan vaksin, nasionalisme vaksin, serta adanya mutasi virus akan sangat menentukan pemulihan ekonomi global, termasuk Indonesia.
Kedua, pemulihan ekonomi akan tergantung pada kemampuan penanganan pandemi. Peran vaksin dan protokol kesehatan amat penting. Keputusan orang untuk tinggal di rumah berkorelasi negatif dengan beberapa indikator ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan mobilitas seperti penjualan suku cadang mobil, konsumsi bahan bakar minyak BBM, kegiatan rekreasi, dan penjualan motor.
Pemulihan ekonomi akan banyak tergantung pada penyediaan vaksin. Oleh karena itulah, akselerasi pemulihan ekonomi kemungkin akan terjadi pada paruh kedua 2021. Alasannya, kepercayaan diri orang meningkat. Masyarakat juga mulai merasa aman dengan adanya vaksin.
Kondisi tersebut pada gilirannya membuat aktivitas ekonomi mulai beranjak normal. Ini kabar baik. Namun, kita tetap harus berhati-hati. Jika peningkatan mobilitas terjadi tanpa memperhatikan protokol kesehatan, ada risiko jumlah kasus positif kembali naik.
Selain itu, setiap kali liburan terjadi, kasus positif meningkat. Setiap kali pengetatan mobilitas dilakukan, indeks belanja mengalami penurunan. Vaksinasi harus tetap diikuti dengan penerapan protokol kesehatan. Ada baiknya kita ingat pandemi masih jauh dari selesai.
Ketiga, walau ada potensi percepatan pemulihan ekonomi pada paruh kedua 2021, keterlambatan vaksin akan menghambat. Keterlambatan vaksin juga bisa membuat pandemi meluas lagi. Akibatnya, proses pemulihan ekonomi jadi makin berat, terutama pada negara yang memiliki keterbatasan pemberian stimulus.
Keempat, pemulihan yang timpang ini akan membawa dampak pada keseimbangan dan kestabilan ekonomi global. Ada dampak positif dan negatif. Dampak postifnya, pemulihan ekonomi China dan Amerika Serikat (AS) akan mendorong ekspor Indonesia.
Harga komoditas dan energi, seperti batubara, kelapa sawit, dan karet naik. Dampaknya, penerimaan pajak juga akan meningkat. Namun, harapan pada siklus komoditas dan energi bukan kebijakan yang baik. Setelah siklus reda, Indonesia akan kembali terpukul.
Dampak negatifnya, pemulihan ekonomi global yang timpang bisa mendorong ketidakstabilan pasar keuangan. Pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat menimbulkan kekhawatiran keluarnya arus modal dari emerging market.
KELIMA, apa yang harus dilakukan? Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dihadapkan pada pilihan sulit, yakni stabilisasi pasar keuangan atau pemulihan ekonomi?
Stabilisasi pasar keuangan tak mungkin dilakukan secara penuh ketika perekonomian masih lemah. Jika BI dan pemerintah melakukan pengetatan moneter dan fiskal demi stabilisasi, pemulihan ekonomi akan terganggu.
Apabila ruang bagi BI untuk menaikkan bunga sangat terbatas, alternatif yang mungkin dijalankan adalah kombinasi dari langkah membiarkan rupiah bergerak mengikuti pasar—dengan tetap menjaga volatilitasnya—dan menerapkan kebijakan makroprudensial.
Misalnya, jika swasta atau BUMN ingin meminjam utang luar negeri, mereka harus menempatkan persentase tertentu dari utang luar negerinya untuk ditahan di BI. Penempatan dilakukan dalam jangka waktu tertentu, misalnya satu tahun.
Hal ini akan mengurangi utang jangka pendek swasta dan BUMN. Dari sisi pemerintah, undang-undang mengatur defisit anggaran harus kembali maksimal 3% terhadap PDB pada 2023. Artinya, konsolidasi fiskal harus dilakukan.
Karena penerimaan pajak masih rendah, perlu adanya perluasan basis pajak dengan reformasi administrasi. Harapannya, perlakuan terhadap badan usaha jadi lebih seragam sehingga beban pajak tak hanya ditanggung beberapa perusahaan besar. Akibatnya, mereka tetap bisa bertumbuh dan membayar pajak.
Selain itu, perlu adanya evaluasi atas efektivitas insentif pajak yang telah diberikan selama ini. Pengenaan pajak untuk energi tak terbarukan, termasuk pajak karbon, memang perlu dipertimbangkan.
Skema kebijakan pajak tersebut akan mendukung pemulihan lebih ramah lingkungan. Penerimaan dari pajak tersebut bisa alokasikan untuk kesehatan, perluasan bantuan sosial, dukungan UMKM, dan penguatan infrastruktur digital. Perbaikan kualitas belanja juga harus berjalan.
Vaksin memang memberikan optimisme. Mobilitas mulai meningkat, aktivitas ekonomi bergerak. Namun, kita harus tetap waspada. Ketidakpatuhan pada protokol kesehatan dapat memperburuk keadaan. Selain itu, ketersediaan pasokan dan distribusi vaksin bisa memperlambat pemulihan ekonomi.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.