Mohammad Nurrokim,
OTORITAS pajak di banyak negara terus berupaya memperkuat pemungutan pajak dan meminimalkan penggelapan pajak. Pada masa pandemi ini, pajak menjadi instrumen untuk memitigasi dampak Covid-19. Berbagai regulasi dikeluarkan untuk mengoptimalkan basis pajak lama maupun baru.
Di Indonesia, Ditjen Pajak (DJP) juga terus mencari basis pajak baru. Salah satu yang ingin dioptimalkan adalah pajak perekonomian digital. Namun, tantangan utama basis pajak baru ini adalah banyaknya aktivitas ekonomi digital yang tidak tercatat secara formal (shadow economy).
Sejumlah negara seperti India, Amerika Serikat, dan Inggris mengatasi tantangan shadow economy ini dengan mengimplementasikan big data analytics. Pemerintah Inggris misalnya, telah mengembalikan pendapatan pengembalian pajaknya sebesar US$ 5,4 miliar.
Implementasi big data analytics guna mengoptimalkan transaksi digital ini memang menjanjikan. Transaksi digital pada 2017 diperkirakan Rp102,67 triliun. Potensi pajak pertambahan nilainya (PPN) Rp10,26 triliun. Potensi ini bisa naik mengingat transaksi digital menjadi alternatif paling aman.
Tingginya volume transaksi digital melalui multie-commerce dan multichannel pembayaran dapat diurai big data analytics. Ditambah dengan artificial intelligence, big data analytics akan membantu regulator menelusuri, melengkapi database, dan menganalisis wajib pajak yang terlapor atau tidak.
Big data analytics dapat mengoptimalkan potensi pajak digital melalui 2 mekanisme, yaitu analisis prediktif dan kedua melalui pemeringkatan kredit pajak. Analisis prediktif bisa diimplementasikan untuk memprediksi potensi penggelapan pajak (fraud) dan estimasi penerimaan pajak.
Permodelan
ALGORITMA machine learning dalam big data analytics akan mempelajari tren dan pola seluruh wajib pajak. Ditopang oleh tersedianya data yang melimpah, permodelan machine learning tentu akan lebih mudah dilakukan.
Big data analytics akan membantu memprediksi pola wajib pajak yang berpotensi menggelapkan pajak dan yang taat membayar pajak (classification modelling). Regulator akan dimudahkan untuk melakukan memitigasi risiko penggelapan pajak sebelum terjadi.
Selain itu, prediksi estimasi penerimaan pajak (regression modelling) lebih mudah ditempuh melalui big data analytics. Estimasi ini membantu pemerintah menyusun target penerimaan pajak di masa pandemi. Penyusunan key performance index petugas pajak juga lebih mudah disusun.
Big data analytics juga dapat diimplementasikan untuk pemberian peringkat pajak pada perusahaan, hingga individu (clustering modelling). Peringkat ini dapat dihasilkan algoritma analitis yang kompleks berdasarkan data historis dan real-time perusahaan, industri, tarif, dan indikator lainnya.
Peringkat pajak menunjukkan kepatuhan membayar pajak. Pemeringkatan ini bermanfaat besar bagi perusahaan. Mendapatkan peringkat A atau B secara otomatis berdampak positif pada kepercayaan pemegang saham dan karyawan sebuah perusahaan.
Sasaran prioritas penerima keringanan pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga lebih mudah ditemukan. Prioritas bisa diberikan kepada UMKM berperingkat A, tetapi diprediksi estimasi kemampuan membayar pajaknya rendah dapat diberikan diskon pajak dari pemerintah.
Begitu pula implementasi pada tingkat individu. Pekerja yang diprediksi kemampuan bayar pajaknya rendah juga bisa diberi diskon pajak penghasilan (PPh). Bahkan, jika estimasi pendapatannya sangat terdampak Covid-19, maka perlu diberikan bantuan pemerintah.
Secara infrastruktur, DJP saat ini sudah memiliki Dawet (Data Warehouse Terintegrasi). Dari sisi regulasi, Kementerian Keuangan juga telah mengeluarkan regulasi untuk menarik PPN dari perusahaan penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPSME).
Kesiapan regulasi ini perlu diimplementasikan seoptimal mungkin melalui big data analytics. Pemerintah akan dimudahkan membuat estimasi dan target penerimaan secara terukur. Dengan demikian, program penyelamatan ekonomi mampu diakselerasi dengan risiko yang bisa dimitigasi.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.