Devi Yanty,
OPTIMALISASI pajak tidak hanya diperoleh dari perluasan basis pajak, tetapi juga dari perbaikan kebijakan dan administrasi. Salah satunya meminimalisasi ketidakpastian pajak, yang merupakan dasar untuk tercapainya model perpajakan yang sesuai untuk usaha (Owens, 2019).
Penyebab utama ketidakpastian pajak adalah kompleksitas peraturan perpajakan, termasuk persyaratan dokumentasi, keputusan otoritas pajak yang tidak konsisten, dan ketidakmampuan untuk mencapai kepastian pajak melalui mekanisme ruling atau semacamnya (IMF & OECD, 2017).
Di sini, cooperative compliance dapat menjadi alat mencapai kepastian pajak. Dari perspektif otoritas pajak, cooperative compliance meningkatkan kepatuhan, kepastian, kapabilitas, menjamin basis pemajakan, penghematan, dan tercapainya compliance risk management (Owens, 2019).
Dari sisi wajib pajak, cooperative compliance dipandang mampu memberikan manfaat berupa peningkatan kepastian pajak, kemudahan tax risk management, penghematan compliance cost, serta mampu menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.
Menurut Colon (2017), cooperative compliance adalah konsep yang digagas OECD sebagai bentuk baru kepatuhan yang bermakna hubungan dengan otoritas pajak berdasarkan kerja sama, kolaborasi dan rasa saling percaya dibandingkan dengan konfrontasi dan penegakan kewajiban.
Cooperative compliance kali pertama dikenal dengan enhanced relationship, untuk membedakannya dengan obligation-based basic relationship (OECD, 2013). Namun, istilah ini memicu pertanyaan yang berkonotasi ketidaksetaraan perlakuan, yaitu hanya fokus pada wajib pajak besar.
Istilah itu lalu diganti menjadi untuk menghindari equality before the law. Cooperative compliance merepresentasikan pergeseran cara berpikir otoritas pajak, dari pendekatan deterrence, wajib pajak dipaksa patuh melalui pemeriksaan dan penalti ke pendekatan kolaboratif dan responsif (OECD, 2019)
Konsep ini didasari oleh 3 prinsip utama, yaitu mutual trust, understanding, dan transparency. Berdasarkan penjelasan ini, OECD (2013) menyebut konsep cooperative compliance ini sangat tepat bila diartikan dengan pernyataan berupa pertukaran antara transparansi dengan kepastian.
Menurut Colon (2017), cooperative compliance diawali penyampaian insight wajib pajak kepada otoritas pajak terkait dengan prosedur dan strategi pajak perusahaan, yang selanjutnya memperoleh feedback dari otoritas pajak berupa pendapat fiskus mengenai struktur pajak perusahaan tersebut.
Dengan adanya mekanisme tersebut, otoritas pajak dapat mengalokasikan sumber daya yang dimiliki untuk berfokus pada wajib pajak berdasarkan risikonya. Bagi wajib pajak, hal ini akan memberikan insight pajak yang aktual sekaligus kepastian pajak.
Multilateral Cooperative Compliance
PEMAHAMAN cooperative compliance telah berkembang sejak kali pertama gagasan ini dikemukakan. Kebanyakan negara menginisiasi model ini melalui pilot project agar dapat sesuai dengan kondisi masing-masing negara dan wajib pajak, tetapi tetap mempertahankan esensinya.
Cooperative compliance telah diterapkan di berbagai negara seperti Australia, Belanda, Irlandia, Inggris, dan Amerika Serikat. Penerapan yang umum dilakukan adalah dengan berdasarkan pada segmentasi atau kriteria tertentu dari wajib pajak seperti kompleksitas dan proporsinya.
Di beberapa negara, wajib pajak berisiko tinggi dikecualikan untuk mengikuti program ini. Yang pasti, dengan semakin bertambahnya negara yang mengadopsi pendekatan cooperative compliance, muncul pula gagasan atas multilateral cooperative compliance.
Gagasan ini merujuk pada perjanjian antara wajib pajak dan 2 atau lebih otoritas pajak untuk menerapkan cooperative compliance atas permasalahan pajak setiap pihak, sehingga dapat diperoleh kepastian serta mengurangi compliance cost atas transaksi internasional wajib pajak.
Menurut OECD (2013), tantangan dalam tahap awal implementasi cooperative compliance ini adalah sumber daya dan komitmen dari kedua belah pihak untuk menciptakan hubungan dan lingkungan yang lebih terbuka dan saling percaya antara wajib pajak dengan otoritas pajak.
Dibutuhkan pula pertimbangan alokasi sumber daya baik dari segi kuantitas maupun kapabilitas otoritas pajak. Untuk menerapkan cooperative compliance di Indonesia, kajian lebih lanjut masih dibutuhkan terutama terkait dengan pengertian dari disclosure dan transparency.
Dari ke-7 pilar cooperative compliance, pilar ini menjadi yang paling sulit karena perlu definisi dan standar yang tepat atas sejauh apa disclosure dan transparency yang diwajibkan, sehingga wajib pajak dapat memenuhinya, tetapi tujuan otoritas pajak tetap dapat terpenuhi (OECD, 2013).
Selain kajian itu, DJP perlu merancang segmentasi wajib pajak berdasar bidang usaha, risiko dan kompleksitasnya. Kemudian pelatihan bagi fiskus atas aspek bisnis wajib pajak yang menjadi pilot project, diiringi dengan penambahan jumlah fiskus agar pelayanan yang diberikan lebih optimal.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.