LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Quo Vadis PPN Digital Indonesia?

Redaksi DDTCNews
Kamis, 29 Oktober 2020 | 14.01 WIB
ddtc-loaderQuo Vadis PPN Digital Indonesia?

Muhammad Wiryo Susilo,

Tangerang Selatan, Banten

PANDEMI Covid-19 telah menurunkan penerimaan negara, sehingga Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2021 menyatakan kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi dan pendapatan negara.

Untuk meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, pemerintah melakukan perluasan basis pemajakan. Hal itu ditandai dengan terbitnya kebijakan pajak terhadap Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Transaksi digital berkembang begitu cepat. Pada 2017 saja, transaksi digital telah mencapai Rp104 triliun, dengan potensi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) Rp10,4 triliun. Pemajakan PMSE diharapkan menjadi sumber penting pendapatan mengingat nilai transaksinya yang besar.

Awalnya, rencana pemajakan PMSE masuk ke dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Namun, timbulnya pandemi Covid-19 membuat Indonesia memanfaatkan momentum tersebut dengan mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 untuk mengamankan stabilitas ekonomi.

Pasal 6 Perpu 1/2020 menerapkan kewajiban pajak penghasilan (PPh) bagi subjek pajak luar negeri (SPLN) yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dan PPN kepada penjual asing, penyedia layanan dan e-commerce asing yang memperoleh pendapatan PMSE dari Indonesia.

Dalam Perpu 1/2020 tersebut, kewajiban PPh akan berlaku bagi pemain digital asing atau SPLN yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan di Indonesia, sehingga ia akan diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap (BUT).

Namun. jika perlakuan sebagai BUT tidak dapat dilakukan karena perjanjian pajak, ia akan dikenakan pajak transaksi elektronik yang dibebankan pada pembeli atau pengguna di Indonesia. Pemain digital asing dapat menunjuk perwakilan di Indonesia untuk memenuhi kewajiban itu.

PPN atas PMSE diatur Peraturan Menteri Keuangan No. 48 Tahun 2020 dan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-12/PJ/2020. Tarifnya ditetapkan 10%, dan disetorkan berdasarkan nilai transaksi lebih dari Rp600 juta dan jumlah traffic atau pengakses di Indonesia lebih dari 12.000 dalam satu tahun.

Pro-Kontra
KEBIJAKAN pajak atas PMSE ini tentu menimbulkan permasalahan bagi perusahaan digital luar negeri yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan akan dihadapkan pada kenaikan biaya pajak yang signifikan jika dianggap telah memenuhi persyaratan BUT.

Selain itu, omzet perusahaan juga bisa menurun karena pelanggan yang sensitif harga dapat berpaling dengan adanya PPN tersebut. Namun, PPN PMSE ini merupakan upaya memperluas ruang fiskal dan untuk menyetarakan perlakuan antara pelaku usaha digital dalam dan luar negeri.

Pengenaan PPN PMSE sepihak akan menimbulkan permasalahan kompleks karena potensi gangguannya terhadap perdagangan internasional. Perlu analisis mendalam terhadap kemungkinan negatif dari efek pengenaan PPN PMSE terhadap hubungannya dengan negara lain.

Indonesia dapat melihat pengalaman pajak digital di negara lain, seperti Inggris dengan tarif PPh 2% atau Prancis dengan tarif PPh 3%. Di Indonesia, PPh memang tidak dikenakan terutama karena alasan sensitivitas pemajakan tersebut, tetapi dikenakan PPN 10%.

Agar target penerimaan PPN PMSE optimal, tentu diperlukan penguatan dalam kebijakan pajak itu sendiri. Maksudnya, kebijakan PPN PMSE harus dibuat sedemikian kompleks agar meminimalisasi adanya grey area yang dapat berujung pada sengketa.

Selanjutnya diperlukan implementasi yang jelas dan penerapan sanksi tegas agar wajib pajak PMSE patuh. Hal ini untuk melengkapi kesepakatan kebijakan global yang digagas OECD. Dengan demikian, PPN PMSE Indonesia tetap harus menyesuaikan dengan kesepakatan global.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.