LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Membangun Hubungan Jangka Panjang dengan Wajib Pajak

Redaksi DDTCNews
Rabu, 21 Oktober 2020 | 14.35 WIB
ddtc-loaderMembangun Hubungan Jangka Panjang dengan Wajib Pajak

Charoline Cheisviyanny,

Padang, Sumatra Barat

MEMBACA berita DDTCNews beberapa waktu lalu bahwa Ditjen Pajak (DJP) lebih sering kalah dari wajib pajak di pengadilan pajak, mengusik saya membuat artikel ini. Memang benar lebih dari 60% perkara di pengadilan pajak dimenangkan wajib pajak. (Lihat tabel)

Hal pertama yang singgah di benak saya adalah berapa banyak biaya yang dikeluarkan wajib pajak untuk memenangkan perkara tersebut. Proses dari terbitnya Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) sampai Surat Keputusan Banding (SKB) bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Biaya yang muncul antara lain biaya konsultan pajak/kuasa hukum, biaya transportasi ke kantor pelayanan pajak (KPP) untuk pemeriksaan, ke kanwil untuk keberatan, dan ke pengadilan pajak di Jakarta untuk banding, serta biaya administrasi lainnya.

Perkara di Pengadilan Pajak 2019

NoJenis PutusanJumlah Berkas%
1Pencabutan berkas perkara2402,4
2Berkas perkara tidak dapat diterima6216,1
3Menolak2.33823,1
4Menambah pajak yang harus dibayar10,0
5Mengabulkan sebagian1.90318,8
6Mengabulkan sepenuhnya4.93748,8
7Membatalkan760,8
Jumlah berkas perkara yang sudah selesai diproses10.116100,0
Jumlah berkas perkara yang sedang diproses4.932 
Total berkas perkara tahun 201915.048 

Sumber: Pengadilan Pajak, 2020

Dari sisi negara, biayanya antara lain biaya melaksanakan pemeriksaan, keberatan, dan banding. Sementara itu, potensi uang masuk jadi hilang apabila Pengadilan Pajak memenangkan wajib pajak. Artinya, Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan KPP memiliki banyak kelemahan.

Kemungkinan pemeriksa tidak memahami aturan secara menyeluruh hingga temuannya lemah. Atau pemeriksa memanfaatkan ketidaktahuan wajib pajak akan aturan yang berlaku. Apapun itu, yang dirugikan adalah wajib pajak dan negara, dan yang diuntungkan konsultan pajak.

Lalu apa solusi untuk menyelesaikan persoalan ini? Saya menawarkan satu solusi, yaitu agar DJP membangun hubungan jangka panjang (long term relationship) dengan wajib pajak. Satu solusi namun dengan banyak tantangan dan butuh waktu yang lama.

Cara paling efektif untuk membangun hubungan jangka panjang itu adalah mengubah pola pikir (mindset) pegawai pajak dari yang sebelumnya berorientasi target. Mindset-nya ingin menerbitkan SKP dalam jumlah besar agar target dapat tercapai.

Tentu itu tidak salah jika dijalankan dengan niat baik. Nyatanya dalam banyak kasus, pemeriksa pajak mengabaikan prinsip substance over form. Contoh, ada wajib pajak tidak melaporkan upah buruh di Surat Pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, dan kesalahan itu diakui.

Namun, pemeriksa pajak mengoreksi biaya upah buruh daripada mengoreksi SPT PPh 21, sehingga laba fiskalnya menjadi lebih besar. Secara substansi, biaya itu terjadi dan dibuktikan. Akan tetapi, pemeriksa menganggapnya tidak bisa dibiayakan karena tidak dilaporkan di SPT PPh 21.

Jika dianalogikan, negara membutuhkan wajib pajak seperti perbankan butuh nasabahnya. Seharusnya pegawai pajak memandang wajib pajak seperti perbankan memandang nasabahnya. Lihat betapa luar biasanya layanan yang diberikan perbankan untuk mempertahankan nasabahnya.

Hasilnya, banyak nasabah yang rela uang Rp500 juta di tabungannya tidak ditarik, agar dia tetap jadi nasabah prioritas. Dalam manajemen, ini disebut customer relationship management (CRM). Relasi jangka panjang hanya bisa dibangun jika ada kepercayaan, dan ini butuh waktu lama.

Dari AR
MEMBANGUN hubungan jangka panjang dengan wajib pajak dimulai dari front liner, dalam hal ini petugas Account Representative (AR). Mindset AR itu seharusnya melayani wajib pajak. Namun, pada rezim target saat ini, AR ikut-ikutan menekan wajib pajak agar targetnya bisa tercapai.

Jika AR memiliki mindset seperti konsultan pajak, ia akan memberi pelayanan yang terbaik kepada wajib pajak. Dengan demikian, kata ‘pelayanan’ pada ‘kantor pelayanan pajak’ betul-betul dapat dirasakan wajib pajak. Nyatanya, saat ini AR ikut-ikutan arogan seperti halnya pemeriksa pajak.

Contoh, wajib pajak mendapat surat untuk mengikuti sosialisasi e-faktur 3.0. Apa salahnya AR mengirimkan pesan whatsapp dan mengimbau wajib pajak mengikuti sosialisasi itu. Namun, justru wajib pajak yang bertanya ke AR lalu AR meneruskan sosialisasi tersebut tanpa penjelasan apapun.

Jika AR memiliki mindset melayani, ia akan memberikan edukasi kepada wajib pajak terkait dengan pemenuhan kewajiban perpajakannya. Jumlah pemeriksaan dengan tujuan menguji kepatuhan dapat dikurangi karena sudah ditangani dengan baik oleh AR.

Wajib pajak didorong untuk melakukan self-correction, seperti yang diharapkan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP (Cheisviyanny, 2020). Untuk itu, AR harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan pengetahuan pajak yang mumpuni.

Kalaupun wajib pajak salah, bagian pemeriksaan wajib mengedukasi wajib pajak agar tidak melakukan kesalahan lagi. Jika wajib pajak menyadari kesalahannya, dia akan dengan sukarela menyetujui Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) dan membayar SKP kurang bayar (SKPKB).

Ada wajib pajak yang mendapatkan SKPKB lebih dari Rp1 miliar, lalu berdiskusi dengan konsultan pajak untuk mengajukan keberatan. Setelah meneliti SKPKB tersebut, konsultan menemukan banyak kelemahan dan menyampaikan hal ini kepada wajib pajak.

Wajib pajak merasa tertipu karena pemeriksa pajak sengaja memanfaatkan ketidaktahuannya tentang aturan . Bayangkan jika AR yang menemukan kasus ini saat ia meneliti SPT, lalu memberikan penjelasan aturan pajak yang benar, besar kemungkinan wajib pajak melakukan pembetulan SPT.

Untuk mengubah mindset, DJP perlu mengubah kebijakan target. Pencapaian target seharusnya bukan satu-satunya indikator kinerja. Jika AR tidak mencapai target, tetapi ia mampu membangun hubungan baik dengan wajib pajak, hal itu harus diapresiasi. Ini bisa diukur dengan survei wajib pajak.

Jadi, ada tiga hal penting yang harus dilakukan DJP untuk membangun hubungan jangka panjang dengan wajib pajak. Pertama, mengubah kebijakan tentang target. Kedua, mengubah mindset pegawai pajak. Ketiga, meningkatkan kemampuan komunikasi dan pengetahuan pajak pegawai pajak.

Jika hubungan itu bisa dijaga dalam jangka panjang, kepercayaan wajib pajak akan meningkat, dan ia akan sukarela membayar pajak hingga penerimaan meningkat. Tidak ada lagi potensi uang hilang atau pindah ke konsultan pajak. Yang lebih penting, itu harus dimulai sekarang.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.