SISTEM self-assessment memberikan kepercayaan kepada subjek pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Artinya, negara memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak terutang melalui Surat Pemberitahuan (SPT).
Namun, berdasarkan Laporan Kinerja Kementerian Keuangan 2015-2019, kepatuhan masyarakat dalam menjalankan kewajiban melaporkan SPT setiap tahun dalam 5 tahun terakhir terus meningkat, tetapi tidak pernah mencapai target yang ditetapkan.
Untuk itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu meningkatkan kepatuhan WP, termasuk memenuhi haknya di bidang perpajakan. Hak ini antara lain hak melakukan pembenaran atas kesalahannya dalam SPT atau yang selama ini dikenal dengan pengungkapan ketidakbenaran (voluntary disclosure).
Sejalan dengan semangat self-assessment, voluntary disclosure diharapkan menjadi sarana bagi WP meningkatkan kepatuhannya. Penerapannya dilakukan dalam tiga fase, yaitu sebelum pemeriksaan, setelah pemeriksaan tetapi SKP belum terbit, atau setelah SKP terbit tetapi sebelum penyidikan.
Kalau WP memilih voluntary disclosure sebelum pemeriksaan, maka WP melakukan pembetulan SPT sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (KUP). WP akan dikenai sanksi administrasi bunga 2% per bulan.
Kalau WP memilih voluntary disclosure sesudah pemeriksaan saat Surat Ketetapan Pajak (SKP) belum terbit, sesuai dengan Pasal 8 ayat (4) UU KUP, maka WP dikenai sanksi administrasi denda 50% dari pajak yang kurang dibayar.
Kalau WP memilih voluntary disclosure sesudah SKP terbit tetapi belum dilakukan penyidikan, maka sesuai Pasal 8 ayat (3), maka tidak akan dilakukan penyidikan sesuai dengan Pasal 38 UU KUP, dan WP dikenai sanksi administrasi berupa denda 150% dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Mekanisme voluntary disclosure itu nyatanya belum bisa meningkatkan gairah WP untuk melakukan pengungkapan ketidakbenaran pajak. Pasalnya, WP merasa sanksi yang diberlakukan jika melakukan pengungkapan ketidakbenaran sama saja atau bahkan lebih besar dari menunggu pemeriksaan.
Jika WP melakukan pembetulan SPT sebelum pemeriksaan, sanksinya 2% per bulan, sama dengan jika dilakukan pemeriksaan. Jika WP mengungkap ketidakbenaran, sanksinya 50%, atau lebih besar dari menunggu pemeriksaan yang hanya 2% per bulan maksimal 24 bulan sehingga maksimal 48%.
Hal ini aneh karena jika WP sudah mengakui kesalahannya, hal tersebut merupakan perbuatan baik. Namun, mengapa malah mendapatkan sanksi yang lebih besar? Memang masih ada keuntungan, karena jika WP tidak mengungkap ketidakbenaran, maka akan dilakukan penyidikan.
Sanksinya akan menjadi paling sedikit 1 kali pajak terutang yang kurang dibayar dan paling banyak 2 kali jumlah pajak terutang yang kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 bulan atau paling lama 1 tahun.
Perspektif Pembuat UU
AGAR seimbang dalam memandang mekanisme voluntary disclosure ini, maka harus dianalisis juga perspektif dari kacamata pembuat kebijakan. Para perumus UU KUP memiliki tujuan tersendiri dari dibuatnya mekanisme seperti dalam ketiga ayat tersebut.
Merujuk pada Pasal 8 ayat (1) UU KUP, mengapa dibuat sanksi yang sama dengan jika dilakukan pemeriksaan adalah karena pembuat UU menginginkan wajib pajak patuh sejak awal pelaporan SPT. Dengan demikian, WP tergerak melaporkan SPT dengan benar, jelas dan lengkap sejak awal.
Isi Pasal 8 ayat (4) UU KUP memang tidak dapat ditentukan ideal atau belum, sebab menguntungkan tidaknya pasal ini bagi WP hanya dapat dilihat dari case-by-case. Namun, untuk Pasal 8 ayat (3), ketentuan ini sudah ideal dan dapat menggairahkan semangat WP mengungkap ketidakbenaran.
Di Australia, voluntary disclosure diikuti penurunan sanksi bunga dan denda secara berjenjang. Menurut Australian Taxation Office (ATO), “If you make a voluntary disclosure you can generally expect a reduction in the administrative penalties and interest charges that would normally apply.”
Menurut ATO, jika WP melakukan voluntary disclosure setelah dilakukan pemberitahuan untuk diperiksa, maka akan diberikan pengurangan sanksi 20%. Bahkan jika lebih awal melakukan pengungkapan ketidakbenaran tersebut, pengurangan sanksinya bisa 80%.
Salah satu gebrakan Presiden Joko Widodo adalah dengan direncanakannya Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Perpajakan. Bersyukurnya, di dalam omnibus law perpajakan ini dijelaskan mengenai skema voluntary disclosure yang akan diterapkan di Indonesia.
Untuk pembetulan SPT, sanksinya lebih rendah daripada dilakukan pemeriksaan. Jika melakukan pengungkapan ketidakbenaran setelah pemeriksaan, tidak akan dikenakan sanksi 50%, melainkan bunga yang fluktuatif yang lebih besar dari pembetulan SPT tetapi tidak lebih besar dari SKP.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.