INDONESIA adalah salah satu negara yang masyarakatnya kental dengan nilai-nilai agama. Di sisi lain, jumlah tokoh agama di Indonesia sangat banyak, dan setiap tokoh agama terus menyebarkan nilai-nilai agamanya masing-masing.
Sementara itu, sistem perpajakan di Indonesia telah memiliki sistem adminstrasi pajak dan peraturan pajak yang memadai. Pemerintah juga telah menyediakan berbagai layanan elektronik bagi wajib pajak yang ingin menjalankan kepatuhannya.
Lalu apa hubungan agama dan sistem perpajakan? Dengan lingkungan yang kental nilai agama, otoritas pajak dapat melakukan berbagai pendekatan dengan inspirasi nilai agama dalam rangka meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan.
Pertama, pemerintah harus mengenalkan pajak sejak bangku sekolah dasar atau madrasah. Ada penambahan materi perpajakan dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Seperti pengertian pajak, manfaat pajak dan juga bahayanya jika tidak ada pajak bagi masyarakat.
Kedua, sebaiknya otoritas pajak menjalin kerja sama dengan komponen agama seperti Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan organisasi masyarakat agama lain. Dengan kerja sama itu, akan ada ceramah atau khotbah Jumat yang mensyiarkan pentingnya pajak bagi masyarakat.
Sejalan dengan itu, kesadaran pajak masyarakat akan tumbuh, sekaligus sebagai wujud atau bentuk patriotisme dan cinta tanah air—seperti satu lagu popular di Nahdlatul Ulama yang bertema hubbul wathan minal iman karya KH. Wahab Hasbullah.
Ketiga, mengadakan acara rutin di stasiun televisi nasional yang membahas kondisi pajak dan penggunaan uang pajak untuk pembangunan. Harapan yang diinginkan, masyarakat ikut berinteraksi mengelola APBN, juga sebagai peringatan bagi warga yang telah memenuhi syarat wajib pajak.
Seringnya frekuensi menginformasikan dan memperingatkan itu akan membuat masyarakat sadar akan pentingnya membayar pajak. Pada gilirannya, kesadaran dan kepatuhan masyarakat akan patuh, sehingga target penerimaan pajak dapat tercapai.
Kepercayaan Warga
KEEMPAT, mempertahankan kepercayaan warga dengan mengelola keuangan dengan baik dan memberantas korupsi yang menyebabkan berkurangnya kas negara. Untuk itu, diperlukan skema pengawasan yang lebih ketat pada aparat pajak.
Kepercayaan masyarakat itu tentu tidak bisa dibeli. Sekali otoritas pajak menyalahi kepercayaan itu, akan sulit mengembalikannya. Karena itu, otoritas pajak harus mempertahankan apa yang masyarakat amanahkan untuk menghimpun dana negara, yang akan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Kelima, memberikan apresiasi dalam bentuk label di dalam kemasan barang yang dihasilkan oleh wajib pajak badan yang jujur dalam pelaporan pajak dan tepat waktu membayar pajak. Seperti halnya MUI yang memberikan label halal di dalam kemasan makanan, meski tidak sepenuhnya sama.
Label pajak sendiri hanya bisa digunakan dalam satu tahun pajak. Periode selanjutnya tergantung kepatuhan wajib pajak sendiri, karena label itu hanya diberikan kepada wajib pajak yang jujur dalam pelaporan dan tepat waktu dalam membayar pajak pada setiap periodenya.
Adanya pemberian label dalam kemasan itu diharapkan jadi ajang perlombaan agar wajib pajak tetap amanah dan jujur melaporkan pajak. Label itu merupakan kebanggaan atas kepatuhan pajak. Dengan label itu, diharapkan penjualan wajib pajak naik, sehingga setoran pajaknya pun meningkat.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.