Juwanda Yusuf Gunawan,
“SEAKAN hidup hanya untuk bekerja, mengejar mimpi sampai tak punya rasa, mengejar mimpi sampai lupa keluarga, mengejar mimpi lupa dunia nyata, mengejar mimpi tapi tidak bersama?"
Itulah sepenggal lirik lagu Untuk Apa/Untuk Apa? yang dipopulerkan oleh Hindia. Sejak dirilis pada 2019, lagu ini telah diputar lebih dari 18 juta kali di YouTube. Fakta ini sekaligus menunjukkan tema yang diusung dalam lagu tersebut memiliki kedekatan dengan rutinitas kehidupan sehari-hari yang dialami banyak orang, terutama di Indonesia.
Bagaimanapun, lirik tersebut sangat relevan dengan kehidupan masyarakat kelas menengah, terutama di kota-kota besar Indonesia. Banyak dari kita mungkin telah melihat, bahkan merasakan rutinitas itu. Mulai dari berangkat kerja sejak subuh, terjebak kemacetan, bekerja lembur hingga larut malam, dan akhirnya pulang dengan sedikit energi yang tersisa.
Kehidupan kelas menengah di Indonesia saat ini menjadi perhatian publik, termasuk dalam suasana politik yang tengah menghangat. Contoh nyata bisa dilihat ketika muncul gelombang demonstrasi atas wacana revisi UU Pilkada pada Agustus 2024. Suara dari kelas menengah juga muncul dalam aksi-aksi yang biasanya hanya diidentikkan dengan mahasiswa atau buruh tersebut.
Dalam tulisannya pada akhir 2023, ekonom sekaligus mantan menteri keuangan Chatib Basri, memperingatkan tentang potensi ketidakpuasan kelas menengah di Indonesia, yang ia sebut sebagai ‘Indonesian Paradox’. Istilah ini terinspirasi dari ‘Chilean Paradox’, yakni ketika pertumbuhan ekonomi Cile disertai dengan ketidakpuasan sosial yang meningkat akibat tingginya ketidaksetaraan.
Kelas menengah menganggap kualitas penyediaan kebutuhan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan, tidak sebanding dengan kontribusi mereka bagi negara. Ketidakpuasan ini memicu berbagai gelombang protes sehingga mengganggu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial negara tersebut.
Dalam konteks di Tanah Air, menurut penulis, ‘Indonesian Paradox’ masih sebatas potensi risiko. Pemerintah baru di bawah presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, diharapkan dapat meredamnya. Akan lebih bagus lagi jika potensi risiko itu bisa dihilangkan. Terlebih, Indonesia tengah memasuki momentum bonus demografi.
Pada 30 Agustus 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data mengenai kondisi kelas menengah di Indonesia. Jumlah penduduk kelas menengah mencapai 47,85 juta orang. Sementara itu, penduduk yang termasuk dalam kelompok menuju kelas menengah sebanyak 137,50 juta orang. Jumlah kedua kelompok tercatat sebanyak 66,35% dari jumlah penduduk Indonesia.
Penduduk kelas menengah umumnya tinggal di perkotaan, memiliki pendidikan menengah ke atas, mayoritas berusia muda, bekerja di sektor formal, dan mengalokasikan sebagian besar pengeluaran mereka untuk kebutuhan seperti makanan, perumahan, barang atau jasa, pendidikan, serta kendaraan (BPS, 2024).
Nilai pengeluaran dari kedua kelompok itu mencakup 81,49% dari total konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, kelas menengah memiliki peran krusial sebagai bantalan ekonomi nasional. Apalagi, konsumsi masyarakat masih menjadi penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB). Artinya, kelas menengah berperan penting dalam stabilitas sosial-ekonomi Indonesia.
Chatib Basri menyebutkan bahwa di masa depan, kelas menengah akan menuntut kualitas birokrasi yang lebih baik. Implikasinya, kebijakan fiskal harus makin inklusif dan responsif terhadap kebutuhan kelas ini. Kebijakan fiskal harus mampu menjaga keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan beban yang harus ditanggung masyarakat.
Dalam konteks tersebut, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak dari kebijakan yang berkaitan dengan kenaikan tarif pajak. Misalnya, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang telah masuk dalam UU HPP perlu ditinjau ulang dengan hati-hati. Pemerintah juga perlu mengkaji ulang barang dan jasa yang layak mendapatkan pengecualian atau dikenakan PPN.
Selain itu, pemerintah perlu melakukan kajian secara rutin mengenai efektivitas pemberian insentif pajak. Misalnya, saat ini banyak insentif pajak yang diberikan untuk mobil listrik. Menurut penulis, insentif ini lebih baik dialihkan dalam bentuk subsidi transportasi umum yang lebih langsung mendukung mobilitas kelas menengah sebagai penggerak perekonomian.
Sejalan dengan hal tersebut, perlu ada pembenahan dari sisi internal otoritas. Salah satunya terkait dengan account representative (AR) di kantor pelayanan pajak pratama. Dengan adanya coretax administration system (CTAS), AR seharusnya lebih banyak berfokus pada penggalian potensi pajak. AR seharusnya tidak lagi disibukkan dengan kegiatan edukasi.
Oleh karena itu, penting bagi CTAS - sebagai tulang punggung sistem administrasi perpajakan - untuk lebih dipopulerkan di masyarakat. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah meluncurkan program iklan di televisi atau media sosial yang melibatkan berbagai pihak, sehingga pemahaman masyarakat tentang CTAS dapat meningkat dan mendukung efisiensi kerja AR.
Terkait dengan edukasi, sebagai sumber utama penerimaan negara, pajak sebaiknya dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah sejak tingkat dasar. Dengan cara ini, masyarakat yang sedang belajar akan dapat memahami pentingnya pajak tidak hanya dari sisi teknis, tetapi juga dari perspektif filosofis. Harapannya, mereka menyadari peran pajak dalam pembangunan negara.
Pada akhirnya, lirik dari lagu Untuk Apa/Untuk Apa? yang populer di kalangan kelas menengah mencerminkan dilema yang mereka hadapi, yakni mengejar mimpi hingga melupakan realitas kehidupan sehari-hari, termasuk hubungan keluarga dan tanggung jawab di dunia nyata. Tuntutan kualitas birokrasi yang lebih baik mencerminkan kesadaran terhadap masih adanya ketimpangan.
Oleh karena itu, kebijakan fiskal yang inklusif—yang mempertimbangkan dampak kenaikan pajak dan kebutuhan untuk reformasi administrasi perpajakan—merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati secara adil oleh semua lapisan masyarakat.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dapat dikelola. Harapannya, potensi risiko ‘Indonesian Paradox’ dapat dihindari sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih besar, seperti yang telah dialami oleh negara lain seperti Cile.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.