Haris Fifta Putra,
“EDUCATION is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Pesan dari tokoh dunia anti-apartheid, Nelson Mandela, ini menekankan pentingnya pendidikan. Dalam konteks Indonesia yang tengah menyambut momentum bonus demografi, pesan tersebut sangat relevan untuk menjadi pegangan pemerintahan baru.
Bappenas (2023) mengungkapkan Indonesia mengalami bonus demografi berupa pesatnya pertumbuhan penduduk usia muda yang dimulai pada 2015 dan akan berakhir pada 2041. Kesempatan yang jarang terjadi sepanjang berdirinya negara ini perlu dimaksimalkan. Terlebih, Indonesia pada lima tahun mendatang akan mempunyai wakil presiden dari generasi muda.
Sayangnya, meskipun terlihat menjanjikan, momentum emas ini sebenarnya dapat menjadi pisau bermata dua. Ada tawaran peluang sekaligus risiko. Kuncinya adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Oleh karena itu, pendidikan memainkan peran sangat krusial sehingga membeludaknya penduduk usia produktif dapat dibarengi dengan kualitas yang baik.
Pemerintah menyatakan belanja pada sektor pendidikan merupakan bagian dari strategi pembangunan jangka menengah. Upaya pemerintah dalam optimalisasi peran pendidikan tersebut dapat dikaitkan dengan pajak, baik dari sisi kebijakan maupun distribusi pendapatan.
Pertama, pemberian insentif keringanan pajak pada kendaraan mobil antar-jemput siswa sekolah. Kebijakan ini mampu memberikan multiplier effect yang besar seperti mengurangi kemacetan, memenuhi kebutuhan transportasi siswa, dan menghemat biaya ekonomi.
Kebijakan yang diberikan dapat berupa insentif keringanan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk setiap pembelian kendaraan antar-jemput sekolah. Adapun aturan terkait dengan hal ini belum tertuang dalam ketentuan PPN terbaru pascaberlakunya Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Kemudian, pemberian insentif keringanan pajak kendaraan bermotor (PKB) yang merupakan kewenangan pemerintah daerah berdasarkan pada UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Insentif ini menyasar kendaraan sekolah khusus antar-jemput siswa yang selama ini masih dibebani PKB layaknya kendaraan masyarakat umum.
Kombinasi peraturan pusat dan daerah terkait insentif keringanan pajak kendaraan tersebut diharapkan mampu menghemat anggaran sekolah secara signifikan. Penghematan anggaran dapat digunakan untuk urusan lain pada bidang pendidikan.
Kedua, pemberian opsi pengurangan pajak terutang bagi masyarakat yang memberikan donasi terkait dengan pendidikan. Penelitian Glaeser (2001) mengungkapkan bahwa masyarakat cenderung lebih suka memberikan sumbangan karena faktor personal seperti rasa kemanusiaan dan dampak yang langsung terlihat.
Hal tersebut seharusnya dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk memberikan opsi kepada masyarakat pemberi donasi pendidikan untuk mengurangkan sumbangan mereka terhadap jumlah kewajiban pajak terutang.
Skema ini diharapkan membuat dana pembangunan pada sektor pendidikan dapat bertambah secara signifikan. Artinya, ada alternatif pendanaan bidang pendidikan yang bersumber dari sumbangan masyarakat secara sukarela.
Ketiga, penambahan alokasi belanja yang bersumber dari APBN. Saat ini, alokasi belanja pendidikan berkisar 20% dari APBN. Meskipun cukup besar terhadap total anggaran, alokasinya hanya sekitar 3% dari produk domestik bruto (PDB). Hal ini juga pengaruh keseluruhan anggaran terhadap PDB juga tidak terlalu tinggi.
Tempo (2020) melaporkan persentase anggaran pendidikan Indonesia terhadap PDB masih di bawah negara-negara maju, seperti Inggris (6,3%), Amerika Serikat (6,1%), Kanada (5,9%), dan Prancis (5,2%). Oleh karena itu, ada urgensi peningkatan anggaran pendidikan lewat penambahan size fiskal.
Dalam konteks ini, pajak memainkan peran penting. Kemenkeu (2023) mencatat kontribusi penerimaan pajak terhadap total pendapatan negara cukup dominan. Porsinya hampir 70%. Data ini menunjukkan pajak sebagai sumber utama pendanaan, termasuk bidang pendidikan. Oleh karena itu, upaya peningkatan tax ratio tetap perlu untuk terus diupayakan.
Pada akhirnya, optimalisasi kebijakan pada sektor pendidikan juga bisa dilakukan dengan melibatkan aspek pajak. Nyatanya, masih banyak ruang perbaikan yang bisa ditempuh. Tujuannya tidak lain adalah agar Indonesia tidak menyia-nyiakan momentum bonus demografi sehingga visi Indonesia Emas 2045 dapat tercapai.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.