Arief Hidayat,
YOU are what you eat. Sebuah gagasan yang kemudian dijadikan judul buku populer oleh Victor H. Lindlahr, penulis dan penyiar radio 1930-an asal Amerika Serikat. Gagasan itu juga sering diulang dan dibahas saat Victor siaran. Alhasil, gagasan itu sangat terkenal sehingga membuat masyarakat sadar tentang pentingnya pemilihan makanan yang berdampak langsung pada kesehatan.
Akhir-akhir ini, salah satu bahan makanan dan minuman yang cukup disorot adalah gula. Diskusi publik menyangkut gula cukup hangat, tak terkecuali di Indonesia. Apalagi, pada 2022, salah satu warganet di media sosial X (Twitter) mengkritik minuman es teh chizu red velvet yang terlalu manis. Perusahaan penjual minuman itu langsung melancarkan somasi. Diskusi publik makin riuh.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyampaikan Indonesia adalah negara dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tertinggi di Asia Pasifik. Kandungan gula pada MBDK di Indonesia rata-rata sebanyak 22,8 gram per 250 ml. Kandungan gula ini sangat dekat dengan anjuran batas harian yang disampaikan Kemenkes, yaitu 50 gram.
Lebih lanjut, berdasarkan pada hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2022, sebanyak 47,5% masyarakat Indonesia mengonsumsi minuman manis setiap harinya. Artinya, apabila konsumen mengonsumsi MBDK lebih dari satu botol dan makanan bergula lainnya, konsumsi gula harian dipastikan berlebih.
Berdasarkan pada hasil studi (Wicaksari, 2022), MBDK yang banyak dikonsumsi oleh anak dengan rentang umur 1-6 tahun berupa minuman berbasis susu. Masyarakat berumur 21-31 biasa mengonsumsi gula sejumlah 23,4 gram dari minuman berkarbonasi, elektrolit, minuman sport, minuman berperasa, kopi manis, dan teh manis.
Sekali lagi, angka tersebut hampir memenuhi batas konsumsi gula yang dianjurkan Kemenkes. Konsumsi gula tentu saja memberikan dampak terhadap kesehatan masyarakat. Masyarakat bisa lebih mudah mengalami beberapa gangguan ataupun penyakit, seperti obesitas, diabetes melitus, kanker, penyakit jantung, hati berlemak, asam urat, dan masalah gigi.
SEJALAN dengan program kerja Asta Cita Prabowo-Gibran, presiden dan wakil presiden terpilih, kesehatan menjadi prioritas utama untuk membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas agar tercapai Indonesia Emas 2045. Hal ini salah satunya akan diwujudkan dengan rencana program makan bergizi gratis.
Namun, melihat data-data yang disampaikan di awal, pemerintah baru juga harus menjalankan aksi nyata mengatasi risiko berlebihnya konsumsi gula. Apalagi, menurut International Diabetes Federation (IDF), Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan jumlah diabetes terbanyak. Jumlahnya 19,5 juta penderita pada 2021. Jumlah ini diprediksi akan menjadi 28,6 juta pada 2045.
Dalam konteks tersebut, pengenaan cukai gula bisa menjadi instrumen kebijakan yang solutif. Sejatinya, rencana pengenaan cukai gula (cukai MBDK) sejatinya telah disampaikan pemerintah kepada DPR pada awal 2020. Pemerintah dan DPR juga telah mematok target penerimaan cukai MBDK untuk pertama kalinya pada APBN 2022 senilai Rp1,5 triliun (DDTCNews, 2024)
Pada 2024, target penerimaan cukai MBDK ditetapkan senilai Rp4,38 triliun. Namun, hingga saat ini, pengenaan cukai MBDK tidak kunjung dieksekusi. Salah satu alasan pemerintah masih menunda pengenaan cukai MBDK adalah perekonomian Indonesia masih dalam masa pemulihan setelah terjadinya pandemi Covid-19.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) justru berpandangan bahwa kondisi ekonomi yang belum pulih tidak relevan dengan pengenaan cukai MBDK. Pengenaan cukai MBDK hanya dikenakan pada minuman berpemanis, bukan pada kebutuhan pokok masyarakat. Menurutnya, cukai MBDK ini tidak akan mempersulit masyarakat memenuhi kebutuhan pokoknya.
Global Food Research Program (2022) menyatakan sebanyak 49 negara sudah menerapkan cukai gula. Misal, Meksiko sudah menerapkan cukai sejak 2014 dengan tarif 10%. Konsumsi gula di negara ini terbukti berkurang 37%. Perubahan tersebut juga diikuti dengan kenaikan konsumsi minuman minim gula dan tidak bergula.
Tidak hanya dari sisi konsumen, penerapan cukai gula juga terbukti mendorong produsen untuk mengurangi kadar gula dalam produknya agar tidak terkena cukai. Kondisi ini bisa memberikan variasi pilihan minuman rendah gula bagi masyarakat. Di Asia tenggara, ada empat negara yang sudah menerapkan cukai gula, yaitu Thailand (2017), Brunei (2017), Filipina (2018), dan Malaysia (2019).
Pertanyaannya, apakah benar penurunan konsumsi akan berdampak baik pula untuk kesehatan? Fernandez M. (2019), peneliti asal Kanada, mengatakan jika penurunan tren konsumsi minuman gula bertahan akibat cukai, akan ada penurunan kasus obesitas dalam jangka 25 tahun ke depan. Proyeksinya, 700.000 kasus obesitas dan lebih dari 200.000 kasus diabetes tipe 2 dapat dicegah. Pencegahan ini menghemat CAD11,5 miliar dan menghasilkan CAD1,7 miliar.
Dengan demikian, apabila menerapkan cukai gula (MBDK), negara bisa mengoptimalkan penerimaan dari sisi cukai dan penghematan anggaran belanja biaya kesehatan. Potensi penerimaan dan penghematan anggaran itu bisa digunakan untuk pos lain dalam Asta Cita yang diusung Prabowo-Gibran.
Sejatinya, dalam dokumen Buku II Nota Keuangan 2025, sudah ada rencana ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) dalam mendukung implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ekstensifikasi BKC akan dilaksanakan secara terbatas pada MBDK untuk menjaga kesehatan masyarakat (DDTCNews, 2024).
Seperti diketahui, UU HPP telah membuat proses ekstensifikasi BKC makin sederhana. Pasalnya, penambahan atau pengurangan objek cukai cukup diatur dalam peraturan pemerintah (PP) setelah dibahas dan disepakati dengan DPR dalam penyusunan APBN. Pertanyaannya, apakah rencana cukai MBDK akan dieksekusi pada era pemerintahan Prabowo-Gibran? Kita lihat.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.