Ismail Khozen,
PADA pertengahan Mei lalu, kritik atas subsidi dan insentif mobil listrik yang dilontarkan salah seorang bakal calon presiden menghiasi media massa cetak dan online.
Alih-alih hanya mengasosiasikan sebagai gerakan politik untuk pemilihan umum (pemilu) 2024, gaduh yang terjadi itu semestinya menjadi momentum pembuka cakrawala pemikiran masyarakat tentang iklim, lingkungan, serta kebijakan pajak berbasis lingkungan.
Persoalan yang dihadapi industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Indonesia, sebagaimana permasalahan klasik banyak industri lain, adalah dampaknya terhadap lingkungan. Industri masih dihadapkan pada tantangan kerana EV masih digerakkan batu bara yang tidak ramah lingkungan.
Sebagai gambaran, PT PLN (persero)—selaku penyedia listrik utama di negeri ini—masih sangat bergantung pada energi batu bara hingga 67,21% pada 2022. Pangsa energi terbarukan hanya sebesar 14,11%. Sementara itu, porsi sebesar 18,69% sisanya berasal dari gas dan minyak bumi.
Ketergantungan pada energi berbasis fosil ini menimbulkan tanda tanya di tengah krisis iklim yang meluas. Polusi udara yang menyelimuti Jakarta dan wilayah lain beberapa bulan terakhir juga merupakan imbas dari tak tertanganinya sederet masalah lingkungan.
Jika aspek lingkungan terus diabaikan, dalam jangka panjang, hal tersebut akan berdampak buruk terhadap kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Generasi masa depan yang akan menanggung kelangkaan sumber daya dan kerusakan alam, termasuk kemungkinan gangguan pada kesehatan.
Karena hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan tidak dapat terhindarkan, banyak negara yang menerapkan pajak lingkungan untuk mereduksi kerusakan (Liu et al., 2023). Pajak ini diperlukan sebagai suatu mekanisme dalam menghadapi kegiatan penyumbang kerusakan lingkungan dengan membebankan biaya tertentu kepada para pencemar.
Dalam kasus industri EV, subjek penanggung pajak semestinya adalah para produsen baterai EV dan pembangkit listrik yang mengekstraksi mineral kritis seperti nikel, kobalt, mangan, dan batu bara. Baterai EV yang telah rusak adalah masalah lain karena adanya kandungan bahan kimia berbahaya.
INDONESIA belum memiliki jenis pajak atau pendekatan lain yang secara khusus dialamatkan untuk mengatasi masalah lingkungan dan iklim. Sejak 11 Mei lalu, pemerintah menerapkan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) 0% untuk EV.
Namun demikian, kebijakan tersebut tampaknya belum cukup layak untuk dikelompokkan sebagai pajak lingkungan. Hal ini terutama dikarenakan Indonesia masih butuh keberpihakan ekstra terhadap lingkungan di tengah fakta penggerak industri EV masih berbasis energi 'kotor' yang tidak ramah lingkungan.
Untuk mengurangi emisi pada tahap produksi EV, beberapa ahli mengusulkan penggunaan sumber daya alternatif dalam produksi listrik, misalnya penggunaan listrik tenaga air dan angin (Chinda et al., 2023).
Listrik dari panel surya perumahan juga memberi prospek untuk gerakan ramah lingkungan. Investasi yang besar untuk memiliki dan mengelola teknologi tersebut merupakan hambatan tersendiri. Dengan demikian, diperlukan peran aktif pemerintah dalam membangun iklim investasi pada sektor tersebut.
Keterbatasan tersebut juga dapat diatasi, misalnya dengan memberikan ruang bagi PT PLN untuk menggandeng pelaku industri besar dalam mengadopsi sumber listrik ramah lingkungan. Dengan desain kebijakan yang baik, terutama lewat subsidi dan insentif yang tepat, masyarakat di sekitar industri juga berpeluang menikmati sumber daya ramah lingkungan.
Pendekatan lingkungan memberi insentif kepada bisnis dan individu untuk mengadopsi praktik yang lebih berkelanjutan dan mengurangi dampak negatifnya terhadap lingkungan. Dalam hal ini, biaya kerusakan lingkungan harus dimasukkan ke dalam persamaan ekonomi.
Kebijakan semacam itu akan berkontribusi pada stabilitas ekonomi jangka panjang. Hal ini dikarenakan ada upaya untuk melestarikan sumber daya alam yang penting dan mendorong ekonomi lebih berkelanjutan.
Kehadiran pemerintah, melalui kebijakan dan langkah konkret untuk melindungi lingkungan, adalah suatu keniscayaan. Iklim demokrasi kita memungkinkan formulasi kebijakan yang dimulai dari diskursus publik.
Kontestasi politik tahun pada 2024 sudah semestinya membawa ide-ide yang berdampak besar terhadap masyarakat, termasuk kemungkinan bagi pengenaan pajak lingkungan. Sudah saatnya pemilu menjadi momentum untuk mengedukasi masyarakat tentang hal-hal yang produktif bagi kemajuan bangsa. Hal ini perlu dimulai dari para elit politiknya.
Negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), telah mengisi kampanye politik mereka dengan isu-isu seputar pajak sejak 30 tahun silam (Sigelman & Buell Jr, 2004). Meskipun pada kurun 1990-an belum dibahas secara mendalam, isu lingkungan telah mendapat perhatian besar dari para calon presiden AS saat itu. Satu hal yang menurut Shabecoff (1992) belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam konteks Indonesia, pernyataan yang dilontarkan salah seorang bakal calon presiden beberapa waktu lalu mengenai subsidi dan insentif pajak merupakan preseden bagus dalam perpolitikan di Tanah Air.
Narasi semacam itu perlu dilanjutkan. Hal itu menjadi bagian penting dalam kampanye politik dan program kerja. Nantinya, masyarakat diharapkan dapat menilai kapasitas para calon pemimpin mereka dalam mengelola keuangan negara, baik dari sisi penerimaan maupun penggunaannya.
Dengan sumbangsih penerimaan pajak terhadap pendapatan sebesar lebih dari 70%, justru menjadi aneh bila elit politik kita abai dengan topik seputar pajak. Jika isu pajak dianggap tidak cukup seksi dalam meraup suara pemilih, bukan berarti masyarakat tidak punya hak untuk mengetahui visi calon pemimpin yang akan terkait langsung dengan nasib mereka di masa depan. Hal ini termasuk pajak lingkungan. Bukan begitu?
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
Â