GENAP 10 tahun berturut-turut, mulai 2009 hingga 2018, realisasi penerimaan pajak tidak pernah mencapai target. Pada tahun lalu, DDTC Fiscal Research pun telah memproyeksi realisasi penerimaan pajak akan berkisar antara Rp1.291,7 triliun (pesimis) hingga Rp1.322,5 triliun (optimis). Nyatanya benar, hasil akhir per 31 Desember 2018, penerimaan pajak hanya mencapai Rp1.315,9 triliun atau 92,4% dari target Rp1.424 triliun.
Gagalnya pencapaian target pajak ini tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Namun, penulis tertarik dengan pendapat Gusfahmi dalam bukunya yang berjudul Pajak Menurut Syariah. Menurutnya, pajak belum diterima sebagai kewajiban keagamaan. Tentunya ini menjadi pembahasan yang menarik karena mayoritas penduduk Indonesia merupakan muslim. Hal tersebut diindikasikan dengan beberapa aspek.
Pertama, minimnya wajib pajak (WP) muslim yang mau secara sukarela mendaftarkan diri untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kecuali terpaksa. Mereka terpaksa karena pemerintah mengaitkan NPWP dengan dunia usaha, seperti kredit bank, kredit mobil, fiskal luar negeri, dan lain-lain.
Akibatnya, walaupun sudah ber-NPWP, ada kecendrungan tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan. Jika melaporkan SPT, terkadang mereka tidak mengisinya dengan benar, sebagai bentuk penolakan atas pajak.
Kedua, minimnya WP muslim yang masuk dalam daftar pembayar pajak terbesar di Indonesia. Ketiga, rendahnya tax ratio negara-negara yang memiliki penduduk mayoritas muslim. Pajak lebih diterima keberadaannya di negara-negara nonmuslim dibandingkan dengan negara-negara muslim.
Hal ini dibuktikan dengan tingginya tax ratio di negara nonmuslim seperti Amerika Serikat di level 26%, Inggris 34,4%, Jerman 44,5%, Belgia 47,9%, Swedia 49,8%, dan Italia 43,5%. Sementara, di negara muslim seperti Kuwait di level 1,5%, Qatar 2,2%, Uni Emirat Arab 1,4%, Saudi Arabia 5,3%, Mesir 15,8%, dan Yaman 7,1%.
Padahal, pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan, yang bersifat memaksa berdasarkan Undang–Undang. Tidak ada imbalan secara langsung dan pajak digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar–besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak merupakan bukti kecintaan warga negara terhadapat negaranya. Oleh karena itu, warga negara yang baik adalah mereka yang membayar pajak karena sadar akan kewajibannya. Pajak bersifat memaksa disebabkan karena pajak berkontribusi besar terhadap pembangunan di Indonesia. Ini menandakan pentingnya pencapaian target pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah guna menutupi defisit anggaran serta memenuhi anggaran belanja negara.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah – dalam hal ini melalui Kementerian Keuangan – mencanangkan reformasi perpajakan. Sebagaimana yang dilansir dari majalah InsideTax edisi ke-40, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, “Perlu perbaikan menyeluruh untuk memperbaiki perpajakan kita. Ini sangat urgent, reformasi perpajakan kita harus ambisius.”
Reformasi perpajakan ini dilakukan dengan maksud diantaranya untuk meningkatkan kepercayaan WP terhadap institusi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan WP. Oleh karena itu, pemerintah memunculkan 5 pilar untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak. Kelima pilar tersebut adalah organisasi, sumber daya manusia (SDM), sistem informasi dan basis data, proses bisnis, peraturan perundang-undangan, dan sinergi dengan pihak lain.
Reformasi pajak telah dilakukan sebanyak 7 kali mulai dari tahun 1983. Priode ke 7 dimulai dari 2017 sampai 2020 disebut dengan reformasi pajak ketiga yang memiliki 4 target pencapaian yakni (1) Ditjen pajak yang kuat, kredibel dan bertangung jawab, (2) Sinergi optimal antara Ditjen pajak dan pihak ketiga, (3) Kepatuhan pajak yang tinggi, dan (4) Tax Ratio 15%.
Nasib reformasi pajak ada di tangan presiden. Namun, reformasi pajak ini juga akan bergantung pada pemimpin negara ini. Bagaimanapun, pada 2019, ada pelaksanaan serentak pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu presiden (Pilpres) pada tanggal 17 April 2019.
Menurut penulis, jika yang menang sebagai presiden dan wakil presiden nomer urut 1 yakni Jokowi—Ma’ruf, kemungkinan besar reformasi pajak akan tetap dilanjutkan. Sementara itu, jika yang menang pasangan nomor urut 2 yakni Prabowo—Sandi, potensi reformasi pajak untuk dilanjutkan memang ada. Namun, pasangan nomor urut 2 akan sangat berhati-hati.
Jika diamati, dari beberapa pemaparan pasangan calon nomer urut 2, reformasi pajak akan dilanjutkan. Sandiaga Uno pernah mengungkapkan, “Saya menaruh perhatian yang luar biasa terhadap tax reform.” Artinya, Sandi berani memberikan garansi, bila nanti dirinya terpilih bersama Prabowo, maka reformasi pajak akan dilakukan dengan tuntas.
Sistem Kolaborasi Pajak dengan Wakaf
Berangkat dari masalah yang telah dipaparkan di atas dan pilar reformasi pajak yang kelima – sinergi dengan pihak lain—, maka penulis sempat berpikir bagaimana jika pajak dikolaborasikan dengan wakaf. Mangapa wakaf? Berikut alasannya.
Pertama, wakaf dapat ditujukan kepada semua kalangan, tidak seperti zakat yang selama ini menjadi bahan perdebatan karena membandingkannya dengan pajak. Perdebatan muncul karena zakat hanya boleh diterima oleh 8 golongan saja, sedangkan pajak ditujukan kepada semua golongan.
Kedua, penyaluran dana pajak salah satunya adalah untuk pengadaan infrastuktur umum. Ini dapat dikaitkan dengan wakaf yang memiliki tujuan untuk melayani kebutuhan umat.
Ketiga, sekarang telah ada wakaf uang yakni wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Menurut fatwa MUI pada 11 Mei 2002, wakaf uang ini dibolehkan dengan syarat nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur seperti sekolah, jempatan, masjid, atau bangunan produktif lainnya dapat mengunakan dana wakaf.
WP, ketika membayar pajak melalui aplikasi E-Billing, boleh memilih dana pajak akan dialokasikan ke mana dananya, apakah untuk wakaf atau pajak. Jika memilih wakaf, jenis wakaf bidang apa yang diambil? Misalnya, untuk pembangunan waduk di Kabupaten Lombok Timur dibutuhkan dana Rp100 miliar. WP bisa mengalokasikan pajaknya untuk pembangunan tersebut. Nantinya, WP diberi sertifikat terkait wakaf atas waduk itu.
Di sisi lain, WP dapat membagi dana untuk wakaf dan pajak. Persentase wakaf yang disalurkan tetap mengikuti sistem wakaf sebelumnya. Sementara, dana pajak akan dikelola untuk dana selain yang dipilih.
Dengan demikian, Ditjen Pajak, Badan wakaf Indonesia (BWI), dan Kementrian Pekerjaan Umum harus berkolaborasi. Selain itu, pembaruan pada aplikasi E-Billing juga diperlukan. Kelebihan dari sistem ini diantaranya pertama, WP dapat mengontrol sendiri dana pajak yang mereka digunakan. Kedua, tumbuhnya rasa bangga karena pajak yang merka bayar ada bukti kepemilikannya berupa sertifikat sebagai wakif waduk tersebut.
Ketiga, dapat meningkatkan nama baik dari perusahaan jika pembayaran dilakukan oleh perusahaan. Keempat, menumbuhkan rasa percaya WP kepada Ditjen Pajak. Kelima, memunculkan kepercayaan umat Islam terhadap pajak dan akan berlomba-lomba untuk membayar karena serupa dengan berwakaf.
Keenam, WP orang pribadi dan badan yang bersembunyi dari pajak akan tergerak hatinya untuk membayar karena tidak akan lagi berpikir bahwa pajak mengurangi pendapatannya. Ketujuh, target pajak akan dapat tercapai. Lalu mungkinkah kolaborasi pajak dan wakaf dapat dilaksanakan pada reformasi pajak berikutnya? *