DDTC ACADEMY - FREE WEBINAR

Pahami Strategi Penerapan Tax Control Framework Melalui Webinar Ini!

DDTC Academy
Rabu, 20 September 2023 | 10.00 WIB
Pahami Strategi Penerapan Tax Control Framework Melalui Webinar Ini!

DDTC Academy free webinar: Peran TCF dalam Prinsip Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance).

PENGELOLAAN fungsi pajak yang ideal dengan penerapan tax control framework (TCF) dapat mendukung rencana dan perkembangan bisnis perusahaan agar tetap patuh pada ketentuan pajak. Hal ini tidak hanya memberikan nilai tambah (added value) untuk perusahaan, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang dengan mengubah mindset perusahaan atas fungsi pajak.

Fungsi pajak tidak lagi dilihat hanya menjadi tugas-tugas seperti mengisi surat pemberitahuan pajak (SPT) atau mengurusi hal-hal administratif, tetapi akan lebih dilihat sebagai aset strategis perusahaan.

Dalam implementasinya terkait penerapan TCF, saat ini Ditjen Pajak (DJP) belum menerbitkan suatu panduan teknis yang dapat diikuti oleh wajib pajak dalam membangun suatu dokumentasi TCF.

Oleh karena itu, muncul pertanyaan mengenai bagaimana membangun suatu dokumentasi TCF yang dapat dimanfaatkan, baik oleh manajemen wajib pajak sebagai alat kontrol internal maupun oleh para pemangku kepentingan, termasuk DJP selaku otoritas yang berwenang.

OECD dalam laporannya yang berjudul Co-operative Tax Compliance : Building Better Tax Control Frameworks (2016) menyatakan bahwa tidak ada standar TCF yang dapat diterapkan secara seragam untuk semua perusahaan (no one size fits all). Alasannya, sistem pengendalian internal perusahaan merefleksikan kondisi tertentu dari masing-masing kegiatan usaha dan industri. Ini tercermin dalam beragam praktik TCF di berbagai negara yang berbeda satu dengan lainnya dalam menetapkan komponen-komponen apa saja yang perlu dilaporkan di dalam dokumentasi TCF.

Meskipun demikian, terdapat 6 elemen esensial dari suatu dokumentasi TCF (OECD, 2016), yaitu (i) dokumentasi strategi pajak, (ii) TCF telah mencakup seluruh transaksi perusahaan, (iii) TCF menggambarkan pengurus yang bertanggung jawab atas implementasi TCF, (iv) seluruh sistem operasi perusahaan telah terdokumentasi, (v) telah dilakukan pengujian internal atas TCF, dan (vi) kesiapan perusahaan atas risiko pajak yang telah terdokumentasi.

Sementara tidak ada satu kerangka TCF yang berlaku sama untuk semua perusahaan, maka berbagai konsep dan praktik implementasi TCF dapat dijadikan rujukan untuk menyusun suatu dokumentasi TCF. Ronald Hein (2022) menyatakan bahwa merancang dan mendokumentasikan TCF tetap membutuhkan sejumlah langkah dasar yang kurang lebih sama untuk semua organisasi. 

Implementasi langkah-langkah dasar ini akan lebih mudah apabila suatu negara telah mengadopsi kebijakan kepatuhan kooperatif (cooperative compliance) yang di dalamnya memuat ketentuan sebagai panduan dalam penyusunan dokumentasi TCF.

Di Indonesia, meskipun panduan penyusunan dokumentasi TCF di dalam kebijakan kepatuhan kooperatif belum ada, wajib pajak dapat memilih kerangka TCF mana yang paling lengkap dan tepat untuk diimplementasikan. Salah satu yang dapat dijadikan referensi adalah konsep Tax Management Framework (TMF) yang digagas oleh Tony Elgood, Tony Fulton, and Mark Schutzman (2008).

Konsep TMF pada prinsipnya telah memuat seluruh enam elemen esensial yang disarankan oleh OECD yang seharusnya ada di dalam suatu dokumentasi TCF. Pendekatan TMF juga dapat dipersandingkan dengan kerangka TCF lainnya yang diadopsi di negara-negara lain, seperti COSO IC Framework, COSO ERM Framework, maupun kerangka tax governance lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kerangka TMF telah cukup representatif untuk digunakan dalam pendokumentasian TCF atas kontrol terhadap fungsi pajak suatu perusahaan.

TMF dalam implementasi TCF digunakan untuk mengetahui bagaimana fungsi perpajakan seharusnya dijalankan. Perancangan TCF diawali dengan suatu rencana strategis pajak (tax strategic plan). Rencana strategis pajak merupakan rencana tindakan perusahaan untuk mencapai tujuan jangka panjang dalam konteks perpajakan perusahaan (Peter Mason, 2020). Implementasi rencana strategis pajak didukung oleh delapan enablers dan akan menghasilkan empat deliverables yang melambangkan output dari fungsi perpajakan.

Enablers merupakan kualitas operasional dari fungsi perpajakan dan merupakan alat atau kemampuan yang digunakan dalam meraih kesuksesan strategi pajak. Delapan enablers tersebut, yaitu (i) struktur fungsi perpajakan, (ii) sumber daya manusia, (iii) kepemimpinan, (iv) pengawasan dan manajemen risiko, (v) proses, (vi) data, (vii) teknologi, dan (viii) komunikasi. 

Selanjutnya akan dibahas mengenai masing-masing enablers. Pertamaterkait dengan struktur fungsi perpajakan. Setidaknya terdapat 3 kelompok pihak yang terlibat dalam menjalankan urusan pajak dari suatu organisasi, yaitu (i) fungsi pajak internal (in-house tax function) sebagai pihak yang ditunjuk sebagai spesialis pajak dalam organisasi, (ii) fungsi pajak bayangan (shadow tax function) sebagai pihak yang secara formal tidak terdapat dalam fungsi pajak organisasi tetapi memiliki peran dalam mengelola urusan pajak dari organisasi, dan (iii) penasihat eksternal (external advisers) sebagai pihak yang berasal dari eksternal organisasi yang ditunjuk sebagai penasihat dalam permasalahan pajak.

Ketiga pihak ini perlu terdokumentasi peran dan fungsinya secara komprehensif di dalam dokumentasi TCF untuk memberikan gambaran bagaimana fungsi pajak berjalan di dalam organisasi perusahaan wajib pajak.

Enabler kedua adalah sumber daya manusia, yaitu pegawai yang menjalankan peran sebagai eksekutor dalam fungsi pajak perusahaan. Setidaknya ketiga hal berikut harus terdokumentasi untuk menjelaskan bagaimana sumber daya manusia dalam fungsi perpajakan beroperasi, yaitu (i) mengidentifikasi kompetensi yang dibutuhkan, (ii) menganalisis kebutuhan pelatihan bagi sumber daya manusia yang terlibat dalam fungsi pengelolaan pajak, dan (iii) mengembangkan sumber daya manusia dalam fungsi pengelolaan pajak melalui pelatihan dan pengembangan pengetahuan teknologi yang digunakan dalam proses kerja.

Kemudian, enabler ketiga, terkait dengan kepemimpinan yang berkorelasi erat dengan pimpinan suatu fungsi pajak perusahaan. Dalam hal ini, diperlukan kepala fungsi pajak (head of tax function) yang mampu menjalin komunikasi dengan stakeholder, baik eksternal maupun internal.

Setidaknya peran-peran berikut perlu dipastikan tercakup dalam kewenangan seorang kepala fungsi pajak, yaitu pengembangan dan pelaksana rencana strategi perpajakan, menjadi penasihat bisnis bagi manajemen, mengelola hubungan dengan stakeholder, menjaga hubungan dengan pihak eksternal, mengelola manajemen risiko perpajakan, dan mengelola fungsi perpajakan.

Sementara itu, chief financial officer (CFO) biasanya memberikan masukan-masukan yang bersifat high level terhadap desain strategi pajak. Strategi pajak juga digunakan oleh CFO sebagai kerangka dalam membuat keputusan-keputusan yang berhubungan dengan pajak dan memantau bagaimana fungsi pajak tersebut melakukan kegiatannya (Andreas Staubli, 2006).

Enabler keempat terkait manajemen risiko perpajakan, pada praktiknya mencakup tiga hal. Pertama, (i) strategi dan struktur organisasi di mana memuat strategi pajak, profil risiko, struktur dan budaya yang disajikan guna memberikan gambaran mengenai manajemen pajak dari suatu organisasi.

Kedua, (ii) proses inti (core process) di mana membahas pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, dan menangani risiko, serta pengawasan dan prosedur yang dioperasikan untuk mengelola risiko yang teridentifikasi. Ketiga, (iii) mekanisme kualitas dan jaminan (assurance) untuk memastikan risiko pajak dipantau secara terus menerus dan dikomunikasikan dengan tepat dalam organisasi.

Enabler kelima terkait dengan proses mencakup berbagai tanggung jawab berbeda dari tiap fungsi pajak, khususnya untuk pelaporan dan masalah kepatuhan pajak. Sementara itu, fungsi pajak ini dapat dipetakan berdasarkan deliverables sebagai output dari pengelolaan perpajakan.

Oleh karena itu, proses pajak akan mencakup proses pengelolaan di setiap fungsi perpajakan. Proses ini juga melibatkan risiko dan isu pajak mengenai kesesuaian dari teknik pajak yang diadopsi atau integritas dalam melaksanakan kepatuhan pajak atau sistem dan proses pelaporan pajak.

Enabler keenam terkait dengan manajemen data, yakni proses untuk mengatur, menyusun, dan menyimpan informasi yang dimiliki perusahaan melalui siklus hidup data. Tujuan utama dari manajemen data ini adalah untuk menstandardisasi dan menggunakan kembali data-data akurat, serta memfokuskan pada penyusunan data-data yang telah ditetapkan secara jelas dan tidak mengubah data yang terdapat pada seluruh departemen.

Enabler ketujuh terkait dengan teknologi dapat menjadi enabler utama dari keseluruhan efektivitas fungsi pajak. Dengan adanya kecanggihan teknologi saat ini dapat membuat perbedaan besar bagi kemampuan fungsi pajak untuk menghasilkan deliverables dalam rentang waktu dan parameter risiko  yang tepat. Ketika enablers lainnya memiliki dampak yang cukup besar, teknologi menjadi faktor penentu kesuksesan suatu fungsi pajak.

Dan enabler kedelapan terkait komunikasi adalah berkaitan dengan dua aspek, yaitu identifikasi kriteria dari berbagai macam stakeholder beserta kepentingannya dan rancangan metode penyampaian komunikasi yang tepat bagi setiap kelompok stakeholder. Pada umumnya, fungsi pajak harus dapat menciptakan perencanaan komunikasi yang mengakomodasi segala kondisi yang terdapat dalam organisasi.

Lebih lanjut, delapan enablers tersebut akan menghasilkan 4 deliverables sebagai output. Deliverables merupakan hal yang merepresentasikan output dari fungsi perpajakan yang harus dikerjakan secara berkala agar tujuan dari fungsi perpajakan dapat tercapai. Empat deliverables dimaksud adalah (i) perencanaan pajak, (ii) akuntansi dan pelaporan pajak, (iii) kepatuhan pajak, dan (iv) menghadapi pemeriksaan pajak.

Pertama, terkait dengan perencanaan pajak, perusahaan sebaiknya memberikan informasi kepada otoritas pajak terkait perencanaan pajak yang dilakukan ketika informasi tersebut diminta oleh otoritas pajak. Oleh karena itu, pada tahap awal melakukan perencanaan pajak, perusahaan harus memikirkan bagaimana hasil perencanaan pajak tersebut tercermin dalam SPT organisasi dan dokumen-dokumen apa saja yang dibutuhkan untuk mendukung perencanaan pajak tersebut.

Kedua, berhubungan dengan akuntansi dan pelaporan pajak, fungsi perpajakan yang melakukan proses perhitungan akan mengetahui ada tidaknya risiko yang material pada angka-angka dalam proses perhitungan tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan kontrol yang tepat dalam proses perhitungan tersebut. Kunci pengendalian dalam proses ini terletak pada kemampuan pegawai.

Ketiga, terkait dengan kepatuhan pajak merupakan setiap kegiatan perhitungan, pengisian dan pelaporan kewajiban pajak berdasarkan peraturan perpajakan. Kepatuhan perpajakan memiliki kaitan erat dengan deliverable keempat yaitu menghadapi pemeriksaan pajak. Hal ini karena kualitas dari proses kepatuhan perpajakan akan berpengaruh pada kualitas SPT dan akan berdampak pada kecenderungan otoritas pajak untuk melakukan pemeriksaan.

Proses dokumentasi TCF dengan menggunakan pendekatan atau kerangka TMF yang terdiri dari tax strategic plan, delapan enablers, dan empat deliverables sebagaimana telah diuraikan di atas, pada akhirnya akan memperjelas posisi dan tata kelola pajak dari suatu perusahaan yang diuji. Adapun bagian akhir dari TMF dapat ditutup dengan rekomendasi beserta linimasa mengenai hal-hal apa saja yang masih perlu dilakukan perbaikan ke depannya agar perusahaan memiliki fungsi pajak yang efektif.

Demi menjawab tantangan tersebut, DDTC Academy mengadakan acara free webinar bertajuk “Peran TCF dalam Prinsip Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance)”

Webinar akan diisi oleh Manager of DDTC Consulting Riyhan Juli Asyir. Riyhan merupakan profesional DDTC yang telah mengantongi berbagai sertifikat serta lisensi domestik dan internasional, di antaranya Advanced Diploma in International Taxation (ADIT) dari Chartered Institute of Taxation (CIOT), Inggris. Dia juga telah berizin konsultan pajak.

Tak cuma itu, master thesis yang diperolehnya dari WU, Vienna, juga diterbitkan dalam buku Series on International Tax Law Volume 131 berjudul Justice, Equality, and Tax Law. Riyhan berkontribusi dengan tulisannya bertajuk Improving Justice and Equality through Improved Audit Procedures – The Case of Joint Tax Audits.

Acara ini akan diadakan pada Selasa, 10 Oktober 2023 melalui Zoom Online Meeting pada pukul 09.30-10.30 WIB. 

Beberapa topik yang akan dibahas, meliputi:

  • Selayang Pandang tentang Environmental, Social, and Governance (ESG) dan Penerapannya di Lingkup Perpajakan
  • Mengenal Tax Control Framework (TCF)
  • Implementasi TCF sebagai upaya mencapai Tax Good Corporate Governance (GCG)

Acara seri webinar ini gratis! Semua peserta umum dapat mendaftar.

Pada webinar ini, akan ada hadiah 3 buku terbitan DDTC dan 3 akun Perpajakan DDTC Premium bagi peserta yang hadir.

Karenanya, jangan lewatkan kesempatan berharga ini. Segera daftar pada link berikut:
https://academy.ddtc.co.id/free_event

Pendaftaran akan ditutup pada Senin, 9 Oktober 2023. Semua peserta akan mendapatkan e-sertifikat dan e-materi webinar.

Membutuhkan bantuan mengenai program ini? Hubungi Hotline DDTC Academy +62812-8393-5151 (Vira), email [email protected] (Vira), atau melalui akun Instagram DDTC Academy (@ddtcacademy). (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.