KONSULTASI PAJAK

Kewajiban Anak Perusahaan BUMN yang Ditunjuk Sebagai Pemungut PPN

Rabu, 10 Februari 2021 | 15:07 WIB
Kewajiban Anak Perusahaan BUMN yang Ditunjuk Sebagai Pemungut PPN

Awwaliatul Mukarromah,
DDTC Fiscal Research

Pertanyaan:
PERKENALKAN, nama saya Daniel. Saya adalah staf pajak salah satu anak perusahaan BUMN yang bergerak di bidang konstruksi. Saya ingin bertanya, bagaimanakah kewajiban pemungutan PPN bagi anak perusahaan BUMN yang ditunjuk sebagai pemungut PPN?

Daniel, Jakarta.

Jawaban:
TERIMA kasih Bapak Daniel atas pertanyaannya. Aturan tentang penunjukan anak perusahaan BUMN sebagai pemungut PPN saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 8/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Badan Usaha Milik Negara dan Perusahaan Tertentu yang Dimiliki Secara Langsung oleh Badan Usaha Milik Negara sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PMK 8/2021).

Sesuai dengan ketentuan pada PMK 8/2021 yang berlaku mulai 1 Februari 2021, anak perusahaan BUMN dapat ditunjuk menjadi pemungut PPN dengan kriteria tertentu. Kriteria tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (2) PMK 8/2021, yaitu dimiliki secara langsung oleh BUMN dengan kepemilikan saham di atas 25%.

Berdasarkan pada Pasal 3 ayat (3) PMK 8/2021, anak perusahaan BUMN yang ditunjuk sebagai pemungut PPN ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan. Dengan demikian, suatu perusahaan sekalipun dimiliki secara langsung oleh BUMN dengan kepemilikan saham di atas 25% tidak otomatis menjadi pemungut PPN.

Sebagai informasi, sampai dengan saat ini terdapat 28 anak perusahaan BUMN yang ditunjuk sebagai pemungut PPN berdasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan No. 30/KMK.03/2021 tentang Penetapan Perusahaan Tertentu yang Dimiliki Secara Langsung oleh Badan Usaha Milik Negara Sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (KMK 30/2021).

Adapun kewajiban anak perusahaan BUMN yang ditunjuk sebagai pemungut PPN dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) PMK 8/2021, yaitu melakukan pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh rekanan. Adapun jumlah PPN yang dipungut oleh pemungut PPN yaitu sebesar 10% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak (DPP).

Perlu diketahui, tidak seluruh PPN yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh rekanan dipungut oleh pemungut PPN. Dalam Pasal 5 ayat (1) PMK 8/2021, PPN tidak dipungut oleh pemungut PPN dalam hal:

  1. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10 juta termasuk jumlah PPN dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp10 juta;
  2. pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut ketentuan mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN;
  3. pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero);
  4. pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
  5. pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
  6. pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan tidak dikenai PPN.

Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) PMK 8/2021, pemungutan dilakukan pada saat:

  1. penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP;
  2. penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP; atau
  3. penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

Setelah dipungut, berdasarkan pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) PMK 8/2021, pemungut PPN wajib menyetorkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP paling lama tanggal 15 bulan berikutnya. SSP dibuat dengan mencantumkan:

  1. NPWP, nama, dan alamat rekanan pada kolom NPWP, kolom nama, dan kolom alamat; dan
  2. kode dan nomor seri Faktur Pajak pada kolom uraian.

Kemudian, pemungut PPN harus menyampaikan cetakan, salinan, atau fotokopi SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP kepada rekanan sesuai Pasal 7 ayat (4) PMK 8/2021.

Terakhir, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) PMK 8/2021, pemungut PPN wajib melaporkan PPN yang telah dipungut dan disetor dengan menggunakan SPT Masa PPN bagi pemungut PPN, paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah masa pajak dilakukannya pemungutan.

SPT Masa PPN bagi pemungut PPN wajib dilampiri dengan daftar nominatif faktur pajak dan SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP, yang dibuat menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran PMK 8/ 2021.

Demikian jawaban kami. Semoga membantu.*

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 26 April 2024 | 14:00 WIB KANWIL DJP DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Korporasi Lakukan Tindak Pidana Pajak, Uang Rp 12 Miliar Disita Negara

Jumat, 26 April 2024 | 13:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Tinggal 4 Hari, DJP: WP Badan Jangan Sampai Telat Lapor SPT Tahunan

Jumat, 26 April 2024 | 11:47 WIB KONSULTASI PAJAK

Ada NITKU, NPWP Cabang Tidak Berlaku Lagi?

Jumat, 26 April 2024 | 11:13 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Status PKP Dicabut, Tak Bisa Lapor SPT Masa PPN Normal dan Pembetulan

BERITA PILIHAN