Pertanyaan:
PERKENALKAN, nama saya Tamara. Saya adalah staf di salah satu perusahaan penyedia jasa keuangan. Berdasarkan pada Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) sebelumnya, jasa keuangan masuk ke dalam jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Akan tetapi, dari yang saya baca pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), kini jasa keuangan menjadi objek PPN yang dibebaskan.
Pertanyaan saya, apa implikasi dari berubahnya aturan PPN pada penyerahan jasa keuangan yang dilakukan perusahaan saya?
Terima kasih.
Jawaban:
TERIMA kasih Ibu Tamara atas pertanyaan yang telah disampaikan. Sebelum terbitnya UU HPP, merujuk pada Pasal 4A ayat (3) UU PPN s.t.d.t.d UU Cipta Kerja, jasa keuangan masuk ke dalam jenis jasa yang tidak dikenai PPN.
“(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
…
d. jasa keuangan;”
Ketentuan pengecualian ini membawa implikasi tidak adanya PPN yang terutang, sehingga tidak ada pemungutan PPN atas penyerahan jasa keuangan yang dilakukan. Di sisi lain, atas pajak masukan yang telah dibayar pengusaha terkait dengan penyerahan jasa yang dikecualikan dari PPN, tidak dapat dapat dikreditkan pengusaha tersebut.
Oleh sebab itu, pengusaha yang melakukan penyerahan jasa keuangan yang dikecualikan tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) meskipun omzetnya telah melebihi Rp4,8 miliar.
Karena bukan PKP, pengusaha tidak wajib untuk membuat faktur pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN. Namun demikian, perlu dicatat, hal tersebut hanya berlaku apabila seluruh penyerahannya merupakan jasa yang tidak terutang PPN.
Dalam praktiknya, selain menyerahkan jasa keuangan yang dikecualikan, pengusaha (misalnya bank) juga dapat memberikan jasa keuangan yang terutang PPN, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-121/PJ/2010 tentang Penegasan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Usaha Perbankan (SE-121/2010). Dengan demikian, apabila omzetnya sudah melebihi treshhold, tetap ada kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Terlepas dari hal tersebut, dengan adanya UU HPP, jasa keuangan kemudian dihapus dalam kelompok jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN, sebagaimana diatur dalam Pasal 4A ayat (3) UU PPN. Sebagai gantinya, jasa keuangan kini masuk ke dalam kelompok jasa yang terutang PPN tetapi diberikan fasilitas pembebasan sesuai dengan ketentuan Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU HPP.
Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU HPP menyebutkan:
“Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak baik untuk sementara waktu maupun selamanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terbatas untuk tujuan:
…
j. mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional, antara lain:
Lebih lanjut, dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU HPP ditegaskan:
“Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, antara lain:
…
4. jasa keuangan, meliputi:
Selain itu, perlu diketahui, pajak masukan yang terkait dengan penyerahan jasa kena pajak yang dibebaskan tetap tidak dapat dikreditkan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 16B ayat (3) UU HPP.
“(3) Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dikreditkan.”
Berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 4A ayat (3) dan Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU PPN s.t.d.t.d UU HPP, terdapat beberapa poin implikasi yang dapat disimpulkan. Pertama, penyerahan jasa keuangan kini menjadi objek terutang PPN.
Kedua, meskipun menjadi objek terutang PPN, karena diberikan fasilitas pembebasan PPN, tidak ada PPN yang terutang (PPN tetap nihil). Ketiga, bagi pengusaha yang melakukan penyerahan jasa keuangan dan mempunyai peredaran usaha di atas Rp4,8 miliar, wajib dikukuhkan sebagai PKP.
Keempat, PKP wajib membuat faktur pajak dan melaporkannya dalam SPT Masa PPN sebagai penyerahan yang diberikan fasilitas pembebasan PPN. Adapun untuk faktur pajak atas penyerahan jasa kena pajak yang dibebaskan dari pengenaan PPN diisi dengan kode faktur pajak 08. Kelima, pajak masukan yang terkait dengan penyerahan jasa keuangan yang dibebaskan PPN tidak dapat dikreditkan. Faktur pajak yang memuat pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut juga harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN (Formulir 1111 B3).
Dengan demikian, dapat disimpulkan jasa keuangan yang dikecualikan (sebelum UU HPP) atau pun dibebaskan (setelah UU HPP) sebetulnya membawa konsekuensi yang hampir sama, yaitu tidak ada PPN yang dibayarkan (nihil) dari penerima jasa (konsumen) dan pajak masukan terkait dengan penyerahan jasa tersebut tidak dapat dikreditkan.
Namun demikian, dalam mekanisme pembebasan PPN, terdapat implikasi terkait kewajiban administrasi PPN yang harus dipenuhi sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Demikian jawaban kami. Semoga membantu.