Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung dalam webinar bertajuk Penerapan Ekonomi Digital: Penguatan dan Peran Konsultan Pajak dalam Praktik Saat ini, Kamis (13/10/2022).
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) memandang pajak pertambahan nilai (PPN) akan menjadi salah satu jenis pajak yang makin diandalkan di tengah perekonomian yang makin terdigitalisasi.
Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung mengatakan prinsip PPN menganut destination principle. Artinya, Indonesia memiliki kewenangan untuk memungut pajak di dalam negeri tanpa melihat dari mana barang dan jasa berasal.
"Kalau kita mengandalkan PPh susah. Sebab, pemain-pemain besar dunia berkepentingan soal itu. Ketika bicara PPN, mereka tidak berhak mencampuri. Itu adalah konsumsi barang dan jasa yang ada di sini, hak kita untuk bisa memajakinya," katanya, Kamis (13/10/2022).
Dalam webinar bertajuk Penerapan Ekonomi Digital: Penguatan dan Peran Konsultan Pajak dalam Praktik Saat ini, Bonarsius menilai solusi kebijakan PPh untuk merespons perkembangan ekonomi digital masih terhambat akibat belum tercapainya konsensus.
Sementara itu, lanjutnya, PPN dapat dikenakan atas pemanfaatan produk digital tanpa menunggu adanya konsensus. Alhasil, kebijakan pemungutan pajak atas sektor ekonomi digital akan difokuskan pada PPN.
"Makanya aturan-aturan turunan dari UU HPP itu, aspek PPN yang selalu kami kejar," ujar Bonarsius.
Sejak diundangkannya UU HPP, sudah terdapat 2 pelaku ekonomi digital yang telah ditunjuk sebagai pemungut pajak, yaitu exchanger aset kripto melalui PMK 68/2022 dan penyelenggara P2P lending melalui PMK 69/2022.
Exchanger aset kripto memiliki kewajiban untuk memungut PPN sebesar 0,11% dan PPh Pasal 22 final sebesar 0,1%. Lalu, penyelenggara P2P lending wajib memungut PPh Pasal 23 sebesar 15% atau PPh Pasal 26 sebesar 20% atas bunga pinjaman.
Sebagai informasi, solusi pengenaan PPh atas sektor ekonomi digital saat ini sedang dirumuskan oleh negara-negara Inclusive Framework melalui proposal Pillar 1: Unified Approach. Simak juga, Dampak Pilar 1 Tak Signifikan pada Penerimaan Pajak Negara Berkembang.
Melalui pilar tersebut, negara sumber akan mendapatkan realokasi hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh perusahaan multinasional meski perusahaan tersebut tidak memiliki kehadiran fisik di negara sumber.
Dalam perkembangannya, Pilar 1 batal diimplementasikan pada tahun depan karena masih terdapat beberapa aspek teknis dari pilar tersebut yang belum disepakati.
Rencananya, multilateral convention (MLC) akan diselesaikan dan disepakati pada pertengahan 2023. MLC ditargetkan berlaku efektif (entry into force) pada 2024. (rig)