Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah tengah mencari waktu yang tepat untuk mulai melakukan ekstensifikasi barang kena cukai (BKC), termasuk pada minuman bergula dalam kemasan (MBDK).
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Iyan Rubiyanto mengatakan pengenaan cukai dimaksudkan untuk menekan konsumsi MBDK pada masyarakat. Pasalnya, konsumsi minuman bergula yang tinggi juga berisiko meningkatkan prevalensi penderita diabetes dan obesitas.
"Diabetes ini menjadi salah satu yang cukup mematikan juga," katanya dalam Kuliah Umum Teknis dan Fasilitas Cukai II yang diselenggarakan PKN STAN, Selasa (5/7/2022).
Iyan mengatakan prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia tercatat meningkat 30% dalam rentang waktu 2013-2018. Sementara itu, pertumbuhan tingkat obesitas juga mencapai 33% pada 2010-2014.
Menurutnya, Indonesia menempati peringkat ketiga tertinggi untuk prevalensi obesitas di Asean di bawah Vietnam dan Thailand. Prevalensi obesitas Indonesia hanya sebesar 4,3% pada 2010, tetapi kemudian naik menjadi 5,7% pada 2014.
Iyan menjelaskan pemerintah telah melakukan kajian mengenai cukai pada MBDK. Menurutnya, pemerintah juga mempelajari praktik pungutan cukai atas MBDK di seluruh dunia.
"Ini MBDK best practices-nya saya kira sudah banyak di negara-negara di luar negeri yang bisa menjadi benchmark untuk menetapkan MBDK," ujarnya.
Sejak sebelum pandemi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menyampaikan rencana pemerintah menambah objek cukai, termasuk MBDK. Cukai rencananya dikenakan pada minuman teh kemasan, minuman berkarbonasi atau soda, serta minuman lainnya seperti kopi, minuman berenergi, dan konsentrat.
Tarifnya bervariasi, yakni Rp1.500 per liter pada minuman teh kemasan, Rp2.500 per liter pada minuman soda, serta Rp2.500 per liter pada minuman lainnya.
Pada UU APBN 2022, pemerintah untuk pertama kalinya mematok target penerimaan cukai MBDK senilai Rp1,5 triliun, tetapi kemudian direvisi menjadi Rp1,19 triliun melalui Perpres 98/2022. (sap)